Meski
istilah “syahadat” secara ekslusif milik tradisi Islam, tetapi dalam setiap
agama mungkin terdapat ajaran atau doktrin serupa namun bahasa dan
pengertiannya berbeda. Yaitu sebuah pengakuan, pernyataan dan kesaksian
seseorang akan keyakinan agama yang dipeluknya. Syahadat ini merupakan salah
satu dari lima rukun Islam (doktrin pokok ajaran Islam), yang terjemahannya: Saya
bersaksi tiada ilah melainkan Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah – Asyhadu an la ilaha illa al-Lah, wa asyahdu anna Muhammad Rasulullah.
Syahadat ini merupakan pintu
gerbang atau tangga pertama seseorang dinyatakan sebagai seorang muslim, yang
kemudian diteruskan dengan empat doktrin berikutnya yaitu perintah sholat,
puasa, zakat dan berhaji. Jika ditanya, syahadat yang mana dan kapan diucapkan
sebagai tonggak demarkasi keislaman saya, saya tidak bisa menjawabnya karena
sejak dari kecil sudah diajari mengucapkan syahadat. Sementara seseorang baru
berkewajiban melaksanakan perintah agama setelah usia menginjak dewasa ketika
nalarnya sudah bisa membedakan baik dan buruk, antara salah dan benar (akil
baligh) mungkin usia empat belas tahun.
Kalau saja orang sudah dewasa lalu
melakukan konversi agama, maka batas demarkasinya jelas. Tetapi banyak
sekali warga masyarakat Indonesia yang sejak lahir memang sudah tumbuh dalam
lingkungan tradisi Islam sehingga tidak mengalami pergulatan pikiran dan
sikap, mengapa saya meyakini ajaran Islam dan bukannya yang lain. Namun
situasi spikologis serupa juga dialami komunitas agama lain, yang sejak awal
keberagamaannya lebih bersifat adaptasi dengan tradisi, bukan produk pergulatan
pemikiran mendalam serta kritis.
Bagi seorang muslim yang
taat, kalimat syahadat itu setiap hari diikrarkan dalam adegan sholat
sedikitnya sembilan kali. Kenyataan ini bisa melahirkan bayak hikmah dan
penafsiran. Bahwa syahadat itu setiap hari diulang, diperbarui dan diperdalam,
beda dari ikrar ijab-kabul dalam acara pernikahan yang hanya
diucapkan sekali saja dalam sebuah ikatan suami-isteri. Namun sesungguhnya
syahadat yang ditujukan kepada Tuhan dan ijab-kabul antara suami isteri
memiliki analog yang menarik direnungkan.
Begitu ikrar ijab-kabul yang
mengesahkan pasangan suami-isteri selesai, maka proses pengenalan dan pemahaman
satu terhadap yang lain secara lebih mendalam baru dimulai. Bahkan sesungguhnya
sepasang suami-isteri yang sudah mencapai kakek-nenek pun tidak akan pernah
selesai memahami yang lain. Bagaikan mengejar kaki langit, selalu tersisa
wilayah yang kita tidak mampu menjangkau untuk memahaminya karena setiap orang
memiliki misteri dan juga imajinasi yang selalu berkembang dan berubah.
Terlebih lagi pengetahuan tentang
Tuhan, sebuah ucapan verbal syahadat, kesaksian tentang Tuhan, tanpa dilandasi
pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang otentik, jangan-jangan tidak bermakna
apa-apa. Mirip anak kecil hafal Pancasila, tapi kosong makna dan tak ada
bekasnya pada dirinya. Atau hafal teks proklamasi, tetapi tidak menghayati deru
perjuangan kemerdekaan para pahlawan kemerdekaan.
Syahadat mestinya memang tidak
sekedar diucapkan, melainkan selalu diperdalam dan diperluas makna dan
pengertiannya sehingga apapun yang dipikirkan dan dilakukan seorang muslim
selalu dijiwai oleh perasaan, keyakinan dan pengalaman kehadiran Tuhan di
manapun berada. Kalau kualitas syahadat yang demikian dapat diraih, maka
seorang muslim mestinya akan terhindar dari tindakan korupsi. Syahadat atau
kesaksian seharusnyalah lebih dihayati sebagai kerja aktif sepanjang hayat
seseorang. Bersaksi berarti mencintai, mentaati, dan berkurban berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman beragama. Karena Allah maha Kasih, maka
bersyahadat berarti juga menyebarkan kasih Tuhan untuk diteruskan kepada sesama
hamba dan makhluk-Nya.
Kesaksian akan kebesaran Tuhan
tentu akan semakin mendalam ketika seseorang mempelajari alam semesta,
membaca ayat-ayat Tuhan sejak yang serba besar dan dahsyat sampai ayah-ayat
yang kecil ke level bakteri dan sub-atom. Mempelajari hukum social berupa
sejarah adalah juga bagian dari upaya memperdalam syahadat tentang kekuasaan
Tuhan. Bahkan setiap hari dari bangun tidur sampai tidur lagi kita dihadapkan
ayat-ayat kehidupan yang mempeluas, memperdalam dan memperkokoh syahadat kita
tentang keberadaan Tuhan.
Jadi, syahadat merupakan proses
terus menerus, tidak selesai dan tidak cukup hanya sekali diucapkan, yang bagi
diri saya sendiri tidak tahu persis kapan malaikat mencatat syahadat yang
menandai keislaman saya. Dengan demikian, bersyahadat dan berislam
mengasumsikan sikap rendah hati dan terus selalu belajar sehingga tidak pantas
merasa dirinya paling benar, paling tahu dan paling dekat dengan Tuhan.
Kita semua berusaha mendekat, berusaha di atas jalan-Nya, namun pada
akhirnya hanya Allah Yang Maha Tahu.
0 komentar:
Posting Komentar