Ada pendulum emosi dalam diri kita
yang selalu bergerak di antara kutub suka dan duka, bahagia dan sengsara, cinta
dan benci, yang menunjukkan adanya pasangan dialektis antara apa yang ingin
selalu kita raih dan apa yang ingin kita hindari.
Orientasi kebutuhan manusia akan dipengaruhi oleh
sifat dan watak dasarnya. Jauh sebelum para psikolog membangun teori
sifat-sifat manusia, Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menciptakan jasad
manusia dari empat unsur, yaitu: udara, air, tanah dan api (HR Baihaqi). Setelah
itu Allah meniupkan roh-Nya ke dalam jasad manusia. Empat unsur itu menjadi
daya dukung kehidupan jasadi, sehingga pemenuhannya juga bersifat jasadi.
Dari sini maka muncul konsep dan pengalaman
kebahagiaan yang juga bersifat jasadi. Dengan demikian, jiwa nabati dan hewani
yang melekat pada diri manusia selalu mengejar kebahagiaan yang bersifat jasadi
atau lebih tepat disebut physical pleasure. Pada tataran ini orang akan
selalu membayangkan dan mengejar kenikmatan fisik, sebagaimana menonjol pada
kehidupan hewani, terutama makan, minum, seks, dan rasa aman.
Lewat puasa seseorang dilatih untuk mengendalikan
orientasi physical pleasure agar tidak terlalu dominan. Pada tataran
jiwa insani yang ikonnya adalah intelektualitas, seseorang akan menemukan
kebahagiaan hidup bukan pada makan, minum dan seks, melainkan lebih abstrak,
yaitu intellectual happiness. Jika kebahagiaan fisik durasinya relatif
sebentar dan cepat terjadi antiklimaks, maka kebahagiaan intelektual lebih
abadi.
Kita semua pasti mengalami dan menyimpan kenangan
abadi, misalnya saja ketika lulus ujian atau memperoleh pengalaman intelektual
lain yang akan menjadi bahan cerita sampai anak cucu. Bahkan ketika melihat
anak atau cucu naik kelas, orang tuanya sangat bahagia, sebuah kebahagiaan yang
tidak sebanding dengan kenikmatan makan minum.
Orang tua yang sudah lanjut usia, yang kebahagiaan
fisiknya sudah sangat menurun, akan tetap bisa meraih kebahagiaan intelektual
dengan kegiatan membaca buku, menulis, atau mengajar. Jadi, kebahagiaan yang
diraih oleh jiwa insani memiliki potensi untuk berkembang terus, meski
kapasitas jiwa nabati dan hewaninya sudah menurun. Karena itu banyak ilmuwan
senior yang tetap sehat dan produktif berkarya karena aktivitas intelektualnya
tidak pernah berhenti.
Saya yakin kebahagiaan orang tua terletak bukan pada
seberapa banyak mewariskan harta, melainkan yang utama adalah seberapa sukses
mendidik anak-anaknya menjadi penerus yang berilmu dan berintegritas. Jadi, di
sini ada lagi dimensi kebahagiaan lain, yaitu moral happiness. Yaitu
seseorang merasa bahagia justru ketika dirinya bisa memberi manfaat pada orang
lain. Semakin banyak memberi dan menolong orang lain, semakin merasa bermakna
dan bahagia seseorang.
Dengan demikian orang akan lebih bahagia dan bermakna
justru ketika memberi, bukan menerima. Orang yang lahiriahnya kaya raya secara
materi,tetapi masih juga korup dan hidup pelit, sesungguhnya orang itu miskin
dan tidak bahagia jiwanya. Konsep moral happiness ini sangat berdekatan
dengan konsep social happiness. Bahwa kebahagiaan moral itu diraih
ketika seseorang berhasil membangun relasi sosial yang baik.
Sebuah penelitian sosial menunjukkan, salah satu pilar
kebahagiaan hidup adalah jika seseorang memiliki teman atau komunitas yang
baik, yang dimulai dari keluarga. Namun, hidup yang dibatasi hanya dalam
jaringan keluarga juga tidak cukup sehingga seseorang senantiasa memerlukan
relasi sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat inilah sesungguhnya kita bisa
mengaktualkan nilai-nilai agung yang menjadi sumber kebahagiaan hidup seperti
menolong atau berbagi pada sesama teman, terutama mereka yang tengah dalam
kesusahan.
Jadi sesungguhnya konsep dan pengalaman bahagia itu
bermacam-macam, dan bisa juga dibuat hierarki. Yang paling dekat adalah
kebahagiaan yang dihajatkan oleh kebutuhan jasadi, lalu berkembang naik dengan
terpenuhinya kebutuhan insani, yaitu intellectual happiness, moral
happiness, social happines dan ada lagi aesthetical happiness. Ialah
rasa senang dan bahagia yang berkaitan dengan apresiasi dan aktivitas seni.
Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kedewasaan jiwa
seseorang tentunya sumber kebahagiaannya juga semakin tinggi dan abstrak, yang
berkaitan dengan nilai-nilai seni dan moral. Dengan hierarki atau tangga-tangga
kebahagiaan di atas kita bisa menilai di mana posisi kita, atau sudah seberapa
jauh capaian kebahagiaan hidup kita. Namun di atas apa yang telah disebutkan di
atas, masih ada satu lagi, yaitu spiritual happiness yang akan dibahas
pada esai berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar