Terima Kasih dan Maaf



Mari sejenak kita renungkan, setiap hari berapa banyak kita menerima pertolongan orang lain? Berapa kali pula menyakiti hati orang?
Tentu saja sulit untuk menghitungnya secara persis. Namun, pasti keduanya terjadi pada diri kita. Karena itu, sangat tepat pendidikan orang tua dan guru agar sejak kecil anak-anak diajari membiasakan ucapan terima kasih dan selalu menyampaikan permohonan maaf dalam pergaulan sehari-hari. Meminjam istilah Carol S Pearson tentang teori archetype, dalam diri setiap orang terdapat struktur kejiwaan yang disebut orphan yang secara harfiah berarti yatim-piatu.

Yang dia maksudkan adalah bahwa setiap orang selalu memiliki sifat, kecenderungan, dan perilaku layaknya anak kecil yang selalu mendamba pertolongan orang lain karena banyak kebutuhan hidup yang tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang. Layaknya seorang bayi, perilaku ini akan selalu melekat, bahkan semakin tinggi jabatan seseorang akan semakin banyak memerlukan bantuan orang lain.Jadi, sekalipun seseorang memiliki jabatan menteri atau presiden, dalam dirinya tetap memerankan orphan. Ibarat bangunan rumah, semakin tinggi dan besar, semakin banyak perlu penyangga.
Sadar bahwa setiap orang bagaikan anak yatim yang selalu membutuhkan sandaran dan uluran tangan, maka yang mesti dikembangkan adalah sikap dan kultur gotong-royong, saling bantu, kerja sama, dan membiasakan diri menghargai jasa orang dan menyampaikan terima kasih secara tulus. Karenanya, sungguh sedih dan sungguh tidak tahu diri kalau seorang pejabat tidak bisa menghargai jasa anak buahnya serta sangat pelit mengucapkan terima kasih.Tanpa anak buah dan tanpa bantuan orang lain, mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.Ini juga berlaku dalam kehidupan rumah tangga.
Khususnya terhadap pekerja rumah tangga yang sering disebut pembantu, orang tua mesti memberi contoh yang baik pada anak-anak bagaimana memperlakukan dan menghargai mereka. Biasakanlah mengucapkan terima kasih agar dicontoh oleh anak-anak. Kalau ingin memerintah pun mulailah dengan ungkapan minta tolong. Karena sesungguhnya mereka kita undang untuk dimintai pertolongan dan bantuan sehingga mereka disebut pembantu. Berkat pendidikan, sekarang setiap orang semakin sadar akan hak-hak dan martabat dirinya sehingga bentuk komunikasi dan relasi sosial semakin mengarah pada pola kerja sama horizontal.
Hubungan kontraktual-transaksional yang semata mengandalkan uang sebagai jasa timbal balik tidak akan awet dan kokoh dalam sebuah hubungan sosial.Maka menjadi penting untuk membiasakan saling minta maaf dan saling memaafkan serta membangun relasi dengan cinta yang tulus. Ini konsekuensi logis-empiris sebagai orphan,sang yatim piatu yang selalu kita perankan setiap hari dengan kadar intensitas dan frekuensi yang berbeda-beda pada tiap orang. Dalam hal membuat kesalahan dan menyakiti hati,yang sulit menyadari adalah mereka yang jadi pemimpin.
Bawahan yang kadang terkena marah, meski tidak selalu salah, lebih merasakan bagaimana disakiti hatinya. Ini mirip menyoal keadilan. Mereka yang jadi korban kezaliman lebih paham dan merasakan bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil.Tetapi yang berbuat zalim mungkin saja kurang merasakan apa yang diperbuatnya. Dengan demikian, di samping kita melakukan introspeksi dan sebaiknya seorang pimpinan mengadakan evaluasi secara reguler dan terbuka, lebih baik membiasakan minta maaf dan terima kasih untuk menjaga keharmonisan sosial.
Hal yang mesti kita sadari dan awasi, sisi negatif dari sifat orphan ialah mengondisikan seseorang untuk bermental miskin, senangnya meminta,menerima dan mengambil kepunyaan orang lain.Dia merasa senang ketika menerima, bukannya memberi.Ini menyangkut sikap mental. Jadi, meskipun secara finansial seseorang telah kaya raya,namun masih juga mau melakukan korupsi jika yang dominan pada struktur kejiwaannya adalah or-phan, pribadi yang lemah dan miskin. Ini mirip anak kecil yang senangnya mengambil dan berebut mainan, belum terbiasa berbagi.
Coba saja perhatikan perilaku kita dan orang-orang di sekitar kita.Tak ubahnya perilaku anak kecil atau anak yatim yang selalu mengharapkan pemberian dan pertolongan orang. Jika sampai tua karakter ini yang menonjol, maka akan gagal menjadi pemimpin untuk memajukan sebuah bangsa.Jangan-jangan banyak di antara kita atau pejabat publik yang mentalnya seperti itu, yang selalu merasa lemah dan miskin. Bagaimana memajukan dan memakmurkan bangsa kalau para pejabat publik mentalnya miskin? Demikianlah sekilas tentang orphan, archetype berikutnya yang akan kita bahas adalah apa yang disebut wanderer.

Komaruddin Hidayah

Related Posts:

  • Radikalisme Islam Menyusup ke SMU BEBERAPA hasil penelitian menemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup ke sekolah umum, yaitu SMU. Siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologi… Read More
  • ”Religion Makes Sufferings Sufferable” HIDUP ini indah dan menggairahkan, tetapi sekaligus penuh jebakan dan kejutan tak terduga. Separah apa pun sakit seseorang, dia selalu ingin berdoa dan berusaha sehat agar lebih lama lagi menikmati kehidupan. Ini bukti… Read More
  • Ragam Ekspresi Beragama KEYAKINAN agama itu bersifat abstrak, tidak kelihatan (intangible), tetapi dampak atau bekas sebuah keyakinan beragama sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perilaku individu maupun sosial, bahkan juga dalam ke… Read More
  • Potensi Ekstremis di Mana-Mana SIKAP ekstrem adalah sikap berlebihan, melebihi prinsip proporsionalitas. Semua tindakan ekstrem akan menimbulkan guncangan dan merusak keseimbangan. Keharmonisan hidup terganggu dan setiap ekstremis cenderung menggeser… Read More
  • Religiusitas dan Pembentukan Karakter Ada dua pesan pokok agama. Pertama, memberikan pesan dan ajaran agar seseorang memiliki visi dan makna hidup yang bersumber dari kesadaran iman. Kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan sehingga apa pun y… Read More

0 komentar:

Posting Komentar