Kita selalu beranggapan, berbicara di depan umum itu sungguh sulit dan
menakutkan sehingga perlu banyak pelatihan dan persiapan. Namun sesungguhnya untuk menjadi pendengar yang baik pun tidak
mudah.
Dalam bahasa Inggris dibedakan
antara listening dan hearing. Mendengar (hearing)
itu berkaitan dengan getaran suara yang bersifat fisik. Suara apa pun
yang terjadi di sekitar kita akan terdengar, kecuali bagi mereka yang
gendang telinganya ada kelainan (tuli). Mendengar (to hear) mirip
dengan melihat (to see). Apa pun objek yang tertangkap mata
akan terlihat, tetapi jika tidak disertai perhatian khusus benda-benda sekitar
yang terlihat akan terus berlalu tanpa makna. Ini mirip kerja telinga,
suara apa pun yang terdengar tidak meninggalkan pesan dan makna jika tidak
disertai kesiapan hati dan pikiran untuk menerima dan menghargainya secara
aktif.
Adapun mendengarkan (to
listen) berkaitan dengan makna dan pesan yang tersimpan di balik suara
atau di antara kata-kata. Ini diperlukan pelatihan dan kesiapan mental
serta ketulusan untuk menerima dan menghargai orang lain. Krishnamurti
lebih jauh mengingatkan, apakah kita sudah menjadi a good listener
ataukah belum? Dia bertanya, apakah Anda terbiasa mendengarkan gemericik air,
embusan angin, suara dedaunan, dan apakah Anda suka mengadakan dialog dengan
semua itu?
Mereka yang tidak biasa
melakukan meditasi akan sulit mendengarkan yang tak terkatakan karena to
listen is to develop an inner silence, katanya. Hanya dalam keheningan hati seseorang bisa mendengarkan dengan baik. Oleh karena itu sangat mungkin sekelompok orang yang kelihatannya
asyik saling berbicara, tetapi sesungguhnya masing-masing tidak mendengarkan
dengan baik karena yang lebih menonjol adalah ego masing-masing untuk berbicara
dan ingin didengarkan.
Untuk menjadi pendengar yang
baik kita tidak mesti berlatih meditasi ke tempat yang sunyi, tetapi yang
penting membiasakan diri membuka ruang hati untuk menerima dan menghargai
pembicaraan orang lain, apa pun isinya. Rasanya jarang
sekali anak-anak kita selama sekolah memperoleh pelatihan khusus bagaimana
mendengarkan. Padahal ini sangat penting, baik dalam pergaulan maupun proses
pembelajaran. Karena tidak terbiasa sejak kecil, hal itu akan terbawa setelah
seseorang menjadi dewasa.Coba saja perhatikan dalam satu majelis atau forum
pertemuan, akan terlihat siapa-siapa saja yang tidak bisa jadi pendengar yang
baik.
Bahkan ada yang ngobrol sendiri di
saat orang lain berbicara di podium. Sungguh ini tindakan yang tidak etis. Saya
pernah menemukan sebuah sekolah yang memiliki program khusus mendidik para
siswanya untuk berlatih mendengarkan. Gurunya berbicara pelan tanpa pengeras
suara, murid-murid diam mendengarkan tanpa pegang catatan. Perhatiannya tertuju
pada mulut guru. Ibu gurunya berbicara pelan dengan gramatika yang benar dan
aksentuasi yang indah. Setelah berbicara sekitar 20 menit, para murid diminta
menulis apa yang didengarkan dan hasilnya semakin meningkat dari pelatihan ke
pelatihan.
Kebiasaan menjadi pendengar yang
baik ini sangat membantu para siswa untuk menangkap pelajaran lebih efektif
ketika mendengarkan penjelasan dari guru. Dalam
Islam sesungguhnya salat merupakan pelatihan menjadi pendengar yang baik. Salat
merupakan aktivitas meditatif. Ketika salat, seseorang mendengarkan suara
dirinya sendiri, terutama ketika bacaannya pelan. Bahkan dalam salat atau
berdoa seseorang diajak menghayati dan meyakini bahwa dia tengah berdialog
dengan Tuhan yang Maha Mendengar dan Maha Berbicara.
Dengan demikian, mereka yang
setiap harinya melakukan salat atau doa mestinya terlatih menjadi pendengar
yang baik.Tapi ternyata tidak selalu demikian. Saya sendiri lebih senang mendengarkan ceramah atau doa dengan bahasa
yang pelan, lembut, singkat sehingga hati yang lebih aktif mendengarkan (to
listen), bukan sekadar telinga (to hear). Tentu saja ceramah yang
lantang sekali-sekali diperlukan dan memang ada orang yang lebih senang
berpidato yang penuh semangat, berapi-api.
Berdasarkan hasil penelitian,
konsentrasi mendengarkan itu paling lama 45 menit, itu pun kalau menarik dan suasananya
nyaman. Kalau tidak,mungkin 15 menit orang bertahan mendengarkan, sisanya hanya
mendengar. Untuk menjadi pendengar terhadap orang lain, kita belajar dengan
mendengarkan terhadap diri sendiri. Ada kalimat sindiran: You know,
I have always prepared myself to speak, but I have never prepared myself to
listen. Saya sendiri kurang tahu asal-usulnya, di DPR itu ada tradisi hearing,
tapi bukan listening
0 komentar:
Posting Komentar