Panta rei, kata Heraklitos, filsuf
Yunani yang hidup lima abad sebelum Masehi. Segala
sesuatu tak ada yang diam. Semuanya bergerak. Hidup ini pun selalu bergerak
bagaikan arus air sungai.
Ketika Anda menginjakkan kaki dua
kali di sungai yang sama, kaki Anda akan menemukan air yang berbeda. Pepatah
Arab mengatakan, waktu itu bagaikan pedang yang tajam. Jika Anda tidak
mampu mengendalikannya, Anda yang akan terpenggal. Alquran mengingatkan,
“Demi massa.” Sungguh manusia dibayangi kebangkrutan jika tidak mampu mengisi
modal waktu dengan iman dan amal saleh. Kita semua meniscayakan adanya
ruang dan waktu sehingga hampir setiap hari kita mendengar pertanyaan: di mana,
kapan?
Dua kata yang paling sering
diucapkan oleh manusia di mana pun berada, apa pun bangsa dan agamanya.
Kalau ruang atau tempat bersifat relatif statis, permanen, sedangkan waktu
senantiasa berjalan. Setiap saat waktu berjalan bagaikan arus sungai
atau kendaraan yang melaju ke depan, tak kenal henti atau berputar kembali.
Jika hidup diibaratkan kereta, setiap hari ada penumpang yang naik dan yang
turun. Kelahiran dan kematian selalu hadir berbarengan.
Sebelum naik dan setelah turun,
di manakah dan ke manakah kita berada? Nalar tak dapat menjangkaunya. Nalar
hanya menduga-duga. Kita semua terlahir tanpa pilihan
bebas. Siapakah yang akan menjadi orang tua kita, di manakah akan terlahir, di
sana tak ada tawar-menawar. Absurd, nalar tidak bisa menjelaskan. Tahu-tahu
sudah terjadi. Kita terlahir disambut oleh asuhan budaya, agama, warna kulit,
dan kondisi geografis yang berbeda-beda.
Ada kekuatan absolut yang
mengondisikan kita. Begitu pun ketika ajal menjemput, berakhirlah kereta
kehidupan ditelan terminal kematian. Lagi-lagi, di situ ada kekuatan
absolut yang tidak sanggup kita mengalahkannya. Hidup juga bagaikan sungai.
Ibarat air, kita berjalan menuju samudra.Namun rute perjalanan tidak selalu
mulus. Banyak sekali hambatan dan liku-liku bagi air untuk menggapai
samudra.
Ada yang cepat, mulus, lancar
dan ada yang tersendat serta tersandera di daratan.
Coba tanyakan atau dialog dengan diri sendiri, ke mana arah hidup yang
tak kenal berhenti dan berbalik dari menit ke menit ini? Apakah gerbang
kematian berarti akhir segala-galanya atau merupakan lorong baru untuk
mengantarkan perjalanan lebih lanjut? Nalar tidak sanggup
menjawabnya. Semesta ini selalu bergerak.Hati dan pikiran tak pernah diam.
Dalam ketidaktahuan itu manusia
lalu mencari sumber jawaban, yaitu Tuhan yang diyakini sebagai kekuatan absolut
yang mencipta dan mengontrol sejarah.Tapi siapakah
Tuhan, manusia juga selalu saja sibuk mendiskusikannya, bahkan ada yang
berkelahi atas nama Tuhan yang mereka masingmasing persepsikan dan yakini. Ada sekelompok orang yang merasa tidak memerlukan Tuhan karena yakin
bahwa hidup ini akan berjalan sebagaimana adanya tanpa campur tangan Tuhan.
Mereka yakin usaha dan rekayasa
manusia lebih dominan dalam kehidupan ini.Namun mayoritas manusia yakin
bahwa manusia itu tak ubahnya semut atau belalang yang hinggap di sebuah hutan
semesta yang amat besar yang digerakkan Tuhan.Tuhan berkomunikasi dengan
manusia melalui berbagai medium, terutama melalui para rasul-Nya dan melalui
ayat-ayat semesta. Setiap saat kita bagaikan air yang merembes mencari
jalan yang mengantarkan ke samudra. Entah kapan sampainya, kita tak tahu.
Atau bagaikan hewan laron yang
datang dari kegelapan mendekati sumber cahaya. Ada yang sayapnya terbakar
ketika mendekati sumber cahaya berupa api. Di mata
manusia yang berada di lorong kegelapan, dia begitu terpukau dan terpikat
ketika melihat banyak cahaya dalam perjalanannya mengendarai kereta waktu. Jabatan, kekayaan, popularitas, dan sekian banyak bayangan kenikmatan
lain telah membangkitkan gairah dan antusiasme untuk berpetualang meski hanya
sebatas imajinasi dan keinginan.
Bukankah kebutuhan fisik kita
sangat terbatas dan terukur? Tapi kebesaran manusia memang bukan pada ukuran
fisiknya. Angan-angan dan imajinasinya telah melahirkan eksperimentasi,
kreativitas, dan inovasi untuk merobohkan garis batas guna menguak dan menggali
kemungkinan kemungkinan baru. Panta rei.
Semuanya dalam gerak bagaikan arus
sungai yang deras. Kita berjubel dalam lorong waktu. Satu-satu ikut bergabung
ke dalamnya dan satu-satu hilang tertelan lumpur, menyatu dengan tanah. Manusia
berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Lalu, apa yang kita cari dan akan
kita tinggalkan untuk generasi penumpang di belakang kita? Tanpa intervensi
Tuhan, Cahaya di atas cahaya, kita berjalan menggapai-gapai dalam ruang
absurditas.
0 komentar:
Posting Komentar