ADA perilaku semasa kanak kanak yang negatif dan
destruktif, tetapi masih terbawa-bawa sampai besar.
Salah satunya berebut layang-layang putus yang pada
akhirnya semua tidak mendapatkan apa-apa lantaran layang layangnya dihancurkan
beramai ramai. Perilaku destruktif ini dalam istilah Jawa dikenal dengan
ungkapan ”barji barbeh, tiji tibeh”, bubar siji bubar kabeh, mati siji mati
kabeh.
Kalau aku tidak kebagian, maka yang lain juga tidak
boleh kebagian. Kalau aku sengsara, yang lain juga harus ikut sengsara. Saya
masih ingat, ketika kecil saya senang sekali melihat orang beradu
layang-layang. Siapa yang benangnya tajam dan kuat kalau beradu pasti akan
menang, dengan cara memotong dan menggesek benang lawan sembari mempermainkan
layang layangnya.
Melihat layang layang yang benangnya putus, kami
berlari-lari mengejar dengan suka cita, semua berebut ingin mendapatkannya.
Singkat cerita, hasil dari berlarian dan saling berebut itu tidak membuahkan
apa-apa, kecuali rasa puas ketika melihat layang layang itu rusak karena tidak
ada yang mau mengalah. Semuanya ingin mendapatkan. Ketika tidak berhasil,
semuanya ramai-ramai merusaknya.
Meminjam ungkapan JJ Rousseau, ketenteraman sosial ini
mulai terganggu ketika orang mulai meneriakkan ”This is mine”, ini milikku,
mengganti kesadaran yang semula berbunyi ”ini milik kita bersama”. Kepemilikan
pribadi itu sehat dan merupakan naluri manusia. Tetapi egoisme pribadi yang
tidak terkontrol akan merusak tatanan dan kesejahteraan sosial.
Tuhan yang Maha Pemurah telah menyediakan seluruh
kebutuhan manusia secara melimpah. Namun bumi langit seisinya selalu saja di-
jiwanya rakus, tamak, tidak mampu bersyukur, serta enggan berbagi dengan
sesama. Mereka sudah terhinggapi virus ”SMS”, senang melihat orang susah dan
susah melihat orang senang. Jika virus ini menghinggapi para politisi atau
penyelenggara negara, akibatnya akan sangat runyam, menyengsarakan bangsa
secara keseluruhan.
Bayangkan, kalau sekadar berebut layang-layang
sebagaimana dilakukan anak-anak, yang rusak hanya sebatas potongan kertas dan
tidak membuat sengsara orang lain. Tetapi para politisi dan mereka yang
memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan berebut fasilitas negara dan harta
rakyat yang dititipkan ke negara, yang rusak adalah sistem birokrasi
pemerintahan dan kehidupan berbangsa.
Kita akan kehilangan trust and respectsatu terhadap
yang lain. Konon, ceritanya, di Nusantara ini pernah muncul puluhan
kerajaan-kerajaan kecil dan ketika Belanda datang naluri untuk saling berebut
dan menghancurkan ini sangat dipahami dan dimanfaatkan Belanda untuk saling
diadu.
Karena itu Belanda bisa bertahan ratusan tahun
menjajah Nusantara, sementara kerajaan-kerajaan di Nusantara umurnya hanya
puluhan tahun saja. Warisan dan kecenderungan destruktif ini mesti kita akhiri
agar Indonesia bisa tegak kokoh dan terhormat. Sayangnya sikap ini masih sering
muncul. Coba ikuti peristiwa-peristiwa setiap menjelang pemilihan umum atau
pemilihan kepala daerah.
Berbagai kampanye hitam bermunculan.Atau coba
perhatikan pemberitaan seputar tertangkapnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang melakukan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika merasa
aman,semuanya diam.Mereka tahu sama tahu,saling melindungi dan menutupi. Tetapi
begitu ada yang tertangkap, maka satu demi satu teman ditarik, namanya
dimunculkan.
Persis seperti anak-anak berebut layanglayang putus,
kalau aku masuk tahanan, mengapa yang lain enak-enak saja, pada hal juga
menerima suap? Kalau aku sengsara,maka yang lain juga harus ikut sengsara.
Jadi,mereka solider tetapi dalam kezaliman, bukannya kebajikan. Sejak dulu yang
menghancurkan bangsa ini sesungguhnya bukan orang lain,tetapi sesama elite
bangsa yang tidak senang melihat temannya sukses.
Tidak rela melihat orang maju.Tega melihat bangsa ini
hancur, yang penting dirinya makmur dan selamat. Ketika masa kampanye tiba,
maka apa yang disebut black campaignselalu saja muncul. Orang merasa hebat dan
unggul bukannya memang hebat dan unggul secara murni, tetapi ketika pesaingnya
berhasil dijatuhkan.
Sikap kekanak-kanakan untuk saling berebut dan merusak
layang-layang meski kita hentikan dalam panggung politik.Politik panjat pinang,
yang menampilkan pemenang setelah saling menginjak dan berebut hadiah setelah
yang lain tak berdaya, tidak boleh menjadi kultur politik kita. Filosofi sepak
bola lebih tepat diterapkan dalam dunia politik. Di situ ada kompetisi secara
sportif, transparan,dan fair.
Ada pelajaran sangat menarik, bagaimana Obama dan
Hillary saling berkompetisi. Demikian ketatnya mereka bersaing menarik simpati
pendukung.Siapa yang melakukan black campaign justru akan jauh di mata publik.
Siapa yang menonjolkan diri dengan cara menjatuhkan pesaingnya, yang
bersangkutan justru akan jatuh. Kemenangan sejati (genuine victory) diraih
dengan membuktikan dirinya lebih baik dibanding yang lain,dan juga mampu
menghargai kebaikan orang lain, siapa pun orangnya.
Rasulullah Muhammad berpesan, kebenaran dan kebajikan
itu milik Allah dan datang dari Allah, maka ambillah mereka di mana pun berada.
Makanya Rasulullah juga pernah berpesan, carilah ilmu sekalipun engkau mesti
pergi ke negeri China. Ini menunjukkan sikap terbuka, inklusif dalam menerima
kebajikan dan kebenaran, serta senantiasa menghargai dan menjaga warisan
peradaban dari mana pun datangnya.
Makanya masyarakat Mesir yang mayoritas muslim itu pun
tetap merawat bangunan keindahan piramida dan Sphinx, sekalipun itu dibangun
oleh dinasti Firaun. Begitu pun Turki tetap merawat bekas bangunan Gereja Aya
Sophia sebagai karya sejarah dan seni. Begitu pun Borobudur, mesti kita rawat
sebagai peninggalan seni dan peradaban yang sangat tinggi nilainya.
Kalau saja dalam kehidupan sosial dan politik kita mampu dan terbiasa saling menghargai keunggulan orang lain, semoga anak-anak kita nanti akan juga memiliki kepribadian yang bisa menghargai sesama, tanpa kehilangan pikiran kritisnya.
Kalau saja dalam kehidupan sosial dan politik kita mampu dan terbiasa saling menghargai keunggulan orang lain, semoga anak-anak kita nanti akan juga memiliki kepribadian yang bisa menghargai sesama, tanpa kehilangan pikiran kritisnya.
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar