Berasal dari bahasa Arab, nasib
artinya bagian, jatah, atau sering juga dipahami sebagai takdir: baik maupun
buruk.Apa yang kita sebut nasib sesungguhnya bukan sesuatu yang terjadi tanpa
sebab, melainkan sebagian adalah produk atau akibat dari apa yang kita lakukan.
Semesta ini,atas kasih Tuhan,
bagaikan sosok ibu yang selalu memberi dan melayani kepada manusia sebagai
penghuninya. Semua keperluan manusia disediakan dan dilayani oleh Bumi,
sampai-sampai Planet Bumi disebut sebagai sosok ibu pertiwi. Dengan bekal
kemerdekaan, nalar,tangan, dan berbagai organ tubuh lain manusia secara sangat
mengesankan telah berhasil menciptakan berbagai peralatan teknis agar hidup
menjadi lebih nyaman.
Mobil, misalnya, sangat membantu
beban kerja kaki untuk membawatubuhke mana-mana. Telepon, misal yang lain,
telah membantu kelemahan telinga untuk mendengarkan suara jarak jauh,dan
seterusnya. Jadi, apa yang terjadi dan kita lakukan dalam hidup ini,di sana
terdapat banyak pihak yang terlibat dan ikut andil, namun peran seseorang ikut
aktif dan memberi andil paling besar di dalamnya.
Karena itu, ketika seseorang
memperoleh nasib kehidupan, entah itu membahagiakan atau menyengsarakan,
sebaiknya direnungkan, seberapa besar andil yang dilakukan dan seberapa besar
yang datang dari pihak lain. Sekadar contoh, ketika seseorang mendapat musibah
akibat bencana alam seperti halnya tsunami atau gunung meletus, ada faktor luar
yang memang di luar dugaan dan kemampuan seseorang untuk mencegahnya.
Kendati demikian, dalam kehidupan
sehari-hari nasib seseorang akan banyak ditentukan oleh pribadi yang
bersangkutan. Sampai-sampai ada ungkapan, dunia selalu membuka seribu pintu
sukses, tapi hanya sedikit orang yang memasukinya. Ini menunjukkan bahwa
seseorang sesungguhnya paling bertanggung jawab menentukan nasibnya sendiri.
Bagi orang yang bermental pemenang dan sukses, berbagai kesulitan dan tantangan
akan dilihatnya sebagai ujian dan tangga untuk naik kelas.
Tak ada kesuksesan diraih tanpa
kerja keras. Contoh paling nyata ada dalam dunia pendidikan. Orang yang tidak
merasakan pahit getirnya mencari ilmu,maka orang itu belum pernah menjadi
pembelajar yang serius. Begitu pun dalam kehidupan, saya yakin orang-orang tua
yang saat ini tergolong sukses, pasti masa lalunya pernah menjalani pertarungan
berat untuk mengalahkan berbagai impitan dan tantangan hidup.
Tapi sangat disayangkan banyak
orang tua yang justru memasung anak-anaknya untuk tumbuh kuat dengan cara
memanjakan mereka.Seakan mereka memberi madu, padahal racun yang selalu
disuapkan pada anak-anaknya. Hanya dengan pengalaman bekerja keras dan mampu
mengatasi kesulitan seorang anak akan tumbuh jadi kuat. Sering kita kagum pada
prestasi orang yang sukses dengan jabatan, kekayaan dan popularitas yang cukup
menonjol dan mengundang decak kagum orang lain,namun kita tidak mau mempelajari
dan menghargai proses dan perjuangan hidupnya ke arah sana.
Proses panjang inilah yang mulai
hilang dalam dunia pendidikan, dunia kerja, dan dunia
politik.Padahal,kebahagiaan dan keotentikan hidup justru diraih dan dirasakan
dalam menjalani proses itu,bukan loncat ke hasil akhir. Ibarat membangun rumah,
meski dari kejauhan terlihat gagah, tinggi dan megah, jika fondasi dan pilarnya
tidak solid dan kokoh pasti mudah roboh ketika ada guncangan angin besar atau
gempa bumi.
Fenomena ini juga terlihat dalam
karier seseorang yang begitu cepat melejit jadi kaya dan populer dengan jabatan
yang dipegangnya, namun karena tidak diraih dan dibangun secara solid dan
otentik, banyak yang terjungkal dan oleng. Tidak bisa jadi tempat sandaran dan
berteduh yang kokoh bagi rakyat yang memerlukan layanan dan perlindungan.
Lagi-lagi ini semua tak lepas dari andil dan akumulasi perilaku yang telah
diinvestasikan sebelumnya.
Dengan kata lain, setiap orang pada
akhirnya akan menerima nasib dari apa yang dia tanam dan perjuangkan.
Karenanya, jika ada musibah dan menuai buruk dalam kehidupannya, semua itu
merupakan panen dan cermin diri dari yang telah dilakukan sebelumnya secara
akumulatif yang mungkin sekali kita abaikan dan lupakan. Nasib itu akan semakin
dirasakan ketika seseorang telah panjang dalam menjalani dan menelusuri
lorong-lorong kehidupan.
Pada satu saat kita mesti menerima
dan berdamai dengan nasib yang merupakan cermin dan anak kandung kita
sendiri.Karenanya, jatah umur dan kecerdasan seseorang bisa saja sama, namun
nasibnya akan berbeda. Di situlah makanya nasib lalu diartikan sebagai takdir,
sebuah garis tangan kehidupan. Siapa yang membuat garis? Kita semua ikut
membuatnya. Hanya saja,mumpung kita masih diberi fasilitas umur, sering-seringlah
membaca rapor nasib kehidupan kita.
Rapor yang nilainya merah
diperbaiki agar menjadi biru. Berdamai dengan nasib berarti kita berdamai dan
menerima diri kita sendiri, bukan hanya sibuk menyalahkan pihak lain, lalu
belajar dan berusaha memperbaiki arah dan kualitas hidup ke depan.
0 komentar:
Posting Komentar