Berislam dengan Santun



Judul               : Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner
Penulis             : Ahmad Gaus AF
Penerbit           : Penerbit Buku Kompas, 2010
Tebal               : xlii + 382 halaman
ISBN               : 978-979-709-514-7

Kompas, Rabu, 22 Desember 2010 | 05:50 WIB
Sosok dan pemikiran Nurcholish Madjid (1939-2005) sulit dihapus dari ingatan intelektual Islam Indonesia kontemporer. Bersama Abdurrahman Wahid, keduanya meletakkan fondasi pemikiran keagamaan dan ke-Indonesia-an yang inklusif dan visioner. Mereka mempertegas integrasi Islam, demokrasi, dan negara kebangsaan baik dalam tataran epistemologis maupun dalam praksis-politik.

Yang sering mengemuka, setiap menyebut Cak Nur, demikian dia disapa, selalu dikaitkan dengan gagasan kontroversialnya, baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Sering kali saya mendengarkan kritik dan caci maki terhadap pemikiran Cak Nur tentang keagamaan. Akan tetapi, setelah saya berdialog baik-baik, ternyata pemahamannya sepotong-sepotong. Itu pun disertai prasangka negatif. Kesimpulan saya, Cak Nur memang banyak disalahpahami.

Lewat buku ini, dan sekian banyak buku lainnya yang menghimpun pemikiran Cak Nur, pembaca bisa lebih dingin dan mudah mengapresiasi atau mengkritik karena yang bersangkutan telah tiada. Gagasannya mempunyai kaki dan sayap. Dia akan menjelaskan kepada siapa saja yang dijumpai serta akan membela dirinya sendiri di hadapan penghujatnya.

Paradigma Pemikiran
Dalam pengantarnya, Yudi Latif sangat artikulatif menjelaskan gagasan-gagasan besar Cak Nur, terutama tentang paham ”sekularisme”, ”sekularisasi”, dan ”modernisasi” yang menjadi obyek polemik dan sekaligus mengentakkan pemikiran umat pada dekade 80-an dan bahkan sampai sekarang. Sebagai sesama alumni pesantren Gontor Ponorogo yang kemudian meraih doktor ilmu sosial-politik di Australia, Yudi cukup fasih menjelaskan geneologi pemikiran paradigmatik Cak Nur.

Secara akademis-intelektual, ada empat kualitas yang dimiliki Cak Nur, yang jarang dimiliki teman seangkatannya. Pertama, dia menguasai khazanah klasik pemikiran Islam. Dia memiliki perangkat intelektual yang kuat untuk mempelajari apa yang disebut ’kitab kuning’. Kedua, Cak Nur mempelajari teori-teori sosial dan metodologi riset sehingga kritis dalam memahami teks dan konteks sosial-historis sebuah doktrin agama. Ketiga, dia adalah juga seorang aktivis organisasi sosial sehingga pemikirannya selalu mempertimbangkan dampak strategis bagi perubahan sosial. Keempat, Cak Nur adalah penulis yang baik dan produktif sehingga memudahkan bagi mereka yang pro atau kontra untuk melakukan klarifikasi.

Pada dekade 80-an aktivis-intelektual dan intelektual-aktivis yang datang dari dunia pesantren memang masih langka. Cak Nur tampil menonjol sendirian. Kata teman-teman dekatnya, sungkan membantah Cak Nur karena bacaannya paling lengkap dibanding teman seangkatannya. Orangnya santun dan pribadinya bersih. Untuk konteks hari ini, beberapa topik yang dilontarkan Cak Nur waktu itu tidak lagi dianggap kontroversial. Apa yang dulu membuat terkaget-kaget, sekarang sudah banyak yang memahami, menerima dan mendukungnya secara kritis berkat terjadinya mobilitas intelektual anak-anak santri sehingga mampu mengakses kepustakaan Islam klasik ataupun ilmu-ilmu sosial modern. Konsep semacam inklusifisme, pluralisme, sekularisasi, toleransi, demokrasi sekarang merupakan topik seminar di kalangan akademisi yang didekati secara kritis dan serius.

Buku ini memperlihatkan bahwa kekuatan pemikiran Cak Nur terletak pada kemampuannya menggali spirit Islam lalu memformulasikan ke dalam kaidah-kaidah ilmu sosial kontemporer untuk ikut memecahkan masalah yang muncul pada zamannya. Salah satu terobosan yang historis adalah ketika Cak Nur melemparkan gagasan: ”Islam-Yes, Partai Islam-No” untuk melelehkan kebekuan sakralisasi partai Islam yang membuat Islam terkurung atau terpenjara oleh rumah partai yang sempit dan pengap. Padahal, banyak umat Islam yang merasa tidak nyaman untuk bergabung ke partai Islam yang ada waktu itu.

Meski waktu itu Cak Nur dihujat dan dicaci, ternyata apa yang dia gagas memperoleh pembenaran di kemudian hari. Bahkan, PKS dan PAN yang jelas-jelas semula mengusung ideologi ke-Islam-an, sekarang menyatakan diri sebagai partai terbuka. Jadi, untuk membaca pikiran Cak Nur mesti melihat teks, konteks dan argumentasinya.
Sisi Pribadi
Dalam buku setebal 382 halaman ini Gaus berusaha menggambarkan sosok Cak Nur apa adanya. Kekaguman penulis pada sang tokoh tidak membuatnya terjatuh pada subyektivitas yang berlebihan. Bahkan, dalam beberapa bagian kritik terhadap Cak Nur juga ditampilkan.

Meski masih banyak bagian- bagian penting dari penggalan hidup dan pemikiran Cak Nur yang belum disajikan dalam buku ini, dokumentasi dan narasi sosok Cak Nur yang ditulis oleh Ahmad Gaus ini sangat membantu untuk mengenal lebih dekat siapa Cak Nur.

Buku ini sangat bagus jika diposisikan sebagai pemandu untuk memahami karya-karya tulis Cak Nur lainnya serta untuk memahami dinamika intelektual yang dimotori oleh angkatan-66, khususnya oleh kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam melakukan penyegaran pemikiran Islam.

Judul Api Islam pilihan Ahmad Gaus sendiri terinspirasi tulisan Seyyed Amir Ali dan Bung Karno. Mungkin penulisnya ingin menekankan bahwa apa yang dilakukan Cak Nur adalah menghidupkan kembali api Islam yang diwarisi dari para pendahulunya. Atau api Islam itu selalu menyala berpindah dari putra-putri terbaik dan tercerahkan yang muncul di setiap generasi.

Lewat buku ini akan terlihat sisi-sisi manusiawi Cak Nur bagi mereka yang tidak mengenal dekat. Misalnya, bagaimana perjuangan hidupnya untuk menyelesaikan doktornya di AS dengan beasiswa yang sangat minim sehingga Mbak Omi, istrinya, mesti bekerja mencari tambahan uang. Gaya hidup Cak Nur sangat sederhana. Tidak punya sopir pribadi, tidak juga ada pembantu rumah tangga. Memasak dan mencuci pakaian adalah hal yang biasa dilakukan sendiri kecuali pada saat sakit keras.

Sebagai sebuah biografi tokoh besar seperti Cak Nur, buku ini niscaya akan memberi inspirasi bagi kaum muda. Jalan hidup yang ditempuh oleh sang tokoh memberi pelajaran bahwa untuk menjadi somebody tidaklah mudah. Banyak jalan mendaki. Tidak sedikit pengorbanan. Akan tetapi, dengan begitu hidup menjadi bermakna.

 Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta



0 komentar:

Posting Komentar