Emosi dan pikiran sangat menentukan bagaimana kita
memandang dunia. Dunia kadang terasa luas, heboh, hiruk-pikuk, juga indah yang
semua itu bermula dari pikiran dan imajinasi kita sendiri.
Kita sangat leluasa dan merdeka membangun imajinasi.
Lalu imajinasi menginspirasi munculnya keinginan, cita-cita, dan lebih agak
konkret lagi menjadi program hidup. Saya yakin setiap pribadi berimajinasi
menjadi pintar dan kaya, lalu bisa jalan-jalan berkeliling dunia menikmati luas
dan indahnya planet bumi. Jika dirunut ke belakang, langkah pertama untuk
merintis imajinasi agar menjadi kenyataan adalah ketika kita memulai belajar
membaca.
Membaca ketika masa kecil adalah jendela untuk menatap
dunia. Membaca adalah juga tangga untuk menapaki kehidupan yang lebih tinggi
agar cakrawala dan horizon dunia terlihat lapang dan luas. Oleh karenanya,
program pendidikan di sekolah merupakan agenda universal yang akan dijumpai di
negara dan masyarakat manapun di dunia. Lewat pendidikan di rumah dan sekolah,
kita semua diajari untuk membaca buku dan membaca ayat-ayat kehidupan.
Misalnya, mengamati telur ayam yang hendak menetas,
pasti dinding telurnya retak dan pecah dan tak lama kemudian muncullah anak
ayam. Ini juga terjadi pada biji yang menyimpan benih pohon, kulitnya pecah lalu
muncul benih pohon. Dalam biji terdapat pohon, kata pepatah China. Ini semua
merupakan sebaris buku kehidupan yang mengajarkan kepada kita bahwa setiap
perubahan dan kemajuan selalu disertai krisis. Anak kecil ketika giginya tumbuh
biasanya menangis karena sakit atau gatal. Blessing in disguise.
Keberuntungan sering bersembunyi di balik hirukpikuk dan
kegelapan. Bukankah sepekat apa pun gelapnya malam pasti akan terkikis oleh
matahari pagi? Kalau kita mau membaca, amat sangat banyak peristiwa hidup yang
menyingkapkan blessing in disguise. Namun keberuntungan itu mesti dijemput dan
diperjuangkan. Saya sendiri pernah mengalami sebuah peristiwa hidup yang sangat
berat dan membuat alur kehidupan berubah drastis.
Memasuki usiaku kesembilan tahun, ibu saya wafat. Konon
ceritanya saya anak yang paling nakal dan dimanja. Selang berapa tahun ayah
saya pun menikah. Sebutan dan pengalaman ibu tiri meninggalkan kenangan pahit.
Setelah besar saya sangat sadar, tak ada yang salah dengan ibu tiri saya. Namun
yang pasti dengan meninggalnya ibu, suasana rumah tidak nyaman. Saya jadi anak
masjid. Bermain dan tidur di lingkungan masjid. Pulang hanya untuk makan.
Kekecewaan yang mendalam karena meninggalnya ibu dan
kendurnya ikatan emosional dengan rumah membuat saya senang berimajinasi untuk
melihat dan menemukan kehidupan baru di masa depan, antah-berantah. Ibarat
telur yang dindingnya retak karena tekanan dari dalam, situasi seperti ini
berulang kali saya alami. Terlalu sempit telur itu bagi calon anak ayam yang
siap menemukan dunia baru. Biji itu mesti retak kulitnya ketika benih pohon
mulai tumbuh.
Pada diri manusia, kekecewaan, kegelisahan, dan
imajinasi serta tekad untuk berubah merupakan pendorong bagi siapa pun untuk
menjebol dinding tradisi dan ikatan pada kampung halaman yang dirasakan sempit.
Maka dia pun melakukan eksplorasi mencari benua kehidupan yang baru. Saya telah
berjumpa puluhan teman yang pernah mengalami himpitan hidup yang membuatnya
hampir putus asa, tetapi justru pada momen-momen yang gelap itu terjadi sebuah
loncatan tak terduga.
Sebuah quantum leap. Ibarat anak ayam yang berhasil
menjebol dinding telur, lalu terbuka dunia yang lebih luas. Atau penghuni Gua
Plato yang berhasil keluar dan kaget bahwa ternyata dunia di luar jauh lebih
luas dan menawarkan seribu kemungkinan. Peristiwa blessing in disguise bisa
terjadi pada ranah individu, keluarga maupun bangsa. Situasi yang semula
dirasakan muram, membuat hidup pesimistis, tetapi ketika disikapi dengan bijak,
cerdas, dan tekad untuk bangkit terjadilah keajaiban hidup.
Kalau saja Hiroshima dan Nagasaki tidak dihajar bom oleh
Amerika Serikat pada 6 dan 9 Agustus 1945, mungkin Jepang tidak akan semaju
hari ini. Momentum itu pun dengan cerdas, cepat, dan berani dimanfaatkan para
pejuang kita sehingga Proklamasi Kemerdekaan RI berlangsung pada 17 Agustus
1945. Jadi, di balik situasi chaos, tidak teratur, dan semrawut
(disorder),sesungguhnya terdapat kekuatan yang mengarah pada cosmos, logika
semesta yang menuju keindahan dan keteraturan (beauty and order).
Kekuatan semesta yang selalu mengarah pada peningkatan
kualitas hidup itu akan mudah diamati pada realitas sejarah dan dinamika sosial
secara kolektif, bukan individual. Bukankah semua bangsa dan negara mengutuk
peperangan? Bukankah suasana damai, indah, sehat, dan teratur selalu menjadi
dambaan dan agenda pembangunan setiap bangsa dan masyarakat?
Oleh karenanya semua peristiwa atau tindakan yang
berlawanan dengan kesadaran kolektif tersebut akan dinilai sebagai
penyimpangan, bahkan subversi, sekalipun dengan menggunakan simbol dan retorika
keagamaan. Kondisi Indonesia saat ini sangat memerlukan tampilnya pemimpin, di
semua level, yang cerdas dan memiliki tekad kuat untuk menggali, menemukan, dan
menggerakkan logika sejarah blessing in disguise sehingga mampu mengubah emosi
pesimistiss, keluh kesah, dan kekecewaan menjadi amunisi untuk bangkit dan
melesat ke depan.
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar