SEJAK proses demokratisasi politik bergulir di
Indonesia, kita menemukan fenomena sosial yang sebelumnya tidak dikenal
masyarakat, yaitu tradisi politik baru untuk mempromosikan diri agar terpilih
sebagai anggota DPR, bupati, gubernur, dan presiden.
Masing-masing dengan gencar dan gigih melakukan
promosi diri, bahkan dengan mengeluarkan dana yang fantastis, agar dipilih
rakyat. Ada juga yang disertai kebohongan dan kecurangan. Bagaimana kita
memahami perilaku politisi ini?
Dalam tradisi orang Timur, terutama bagi masyarakat
Jawa, sesungguhnya malu dan dianggap aib untuk memamerkan, menonjolkan
kehebatan dirinya, sampai-sampai muncul ungkapan yang sangat populer: ojo
dumeh, jangan mentang-mentang berjasa.
Sikap adigang adigung adiguna sangatlah tercela bagi
masyarakat Jawa, yaitu merasa dirinya kuat, merasa dirinya keturunan ningrat,
dan merasa dirinya paling berguna bagi orang lain. Tradisi ini juga pengaruh
dari ajaran agama yang selalu menekankan keutamaan berbuat ikhlas, bekerja
semata mengharap rida Allah, bukan mengharap pujian dan tepuk tangan manusia.
Karena itu, sering kita jumpai daftar penyumbang
pembangunan masjid, misalnya, yang hanya menuliskan sebagai “Hamba Allah”.
Identitas dirinya disembunyikan untuk menghindari sikap pamer yang potensial merusak
keikhlasan. Namun, sesungguhnya mengumumkan bahwa seseorang telah berbuat
kebajikan juga disarankan Alquran. ”Jika engkau mendapatkan kenikmatan dari
Tuhan, maka beritakanlah pada orang lain.”(QS 93:11).
Menyampaikan berita kenikmatan dari Tuhan kepada
masyarakat merupakan tanda syukur dan semoga menjadi pelajaran dan dorongan
agar orang lain juga berbuat serupa, sehingga mendatangkan kebaikan berlipat
ganda bagi masyarakat.
Dalam ajaran agama, seseorang yang memperoleh hidayah,
lalu diringankan untuk beramal saleh, juga tidak salah memberitakan kenikmatan-kenikmatan
itu kepada orang lain. Para Rasul Tuhan juga, karena merasa dirinya mendapat
amanah dari Tuhan dan jiwanya merasa terpanggil untuk memimpin umat, maka
mereka tampil mengumumkan diri sebagai pemimpin.
Namun, para Rasul ini tampil dengan kekuatan moral dan
tawaran gagasan yang sarat kebenaran dan mereka tidak membagi uang serta
membujuk masyarakat agar dirinya diakui sebagai Rasul. Pepatah lama bahwa “diam
itu emas” (silent is golden) tampaknya tidak lagi berlaku.
Sebaliknya, untuk jadi pemimpin justru seseorang harus
banyak tampil di forum, banyak bicara, dan membuat baliho sebesar dan sebanyak
mungkin agar wajahnya dikenal luas masyarakat. Bahkan tidak segan-segan mereka
membeli jam siaran di televisi dengan ongkos miliaran rupiah untuk mendongkrak
citra dan polularitas.
Yang kemudian muncul di benak masyarakat, demokrasi
berarti kompetisi. Kompetisi mesti menimbulkan kegaduhan dan berlomba menjual
diri agar dibeli masyarakat. Anehnya, para politisi kita bukannya disumbang
dana oleh masyarakat seperti Obama, misalnya, namun justru mereka yang membagi
uang kepada masyarakat.
Saya tidak tahu, apakah ini simbol kedermawanan dan
cinta pada rakyat ataukah sebuah upaya ibarat memancing ikan mesti diperlukan
umpan? Apakah ini penghargaan pada rakyat ataukah pembodohan dan penghinaan
pada rakyat? Dengan segala kekurangan yang ada, yang pasti rakyat saat ini
semakin memiliki kedaulatan untuk memilih pemimpin melalui pemilihan umum
secara langsung.
Hanya, karena tingkat pendidikan dan ekonomi
masyarakat yang masih rendah, cara yang ditempuh para politisi untuk
mempromosikan diri bukannya dengan kekuatan gagasan, moralitas, dan prestasi
kerja yang meyakinkan, melainkan dengan membagi uang dan obral janji menebar
angin surga serta memoles pesona.
Tradisi promosi diri ini sebagian karena pengaruh
tradisi demokrasi Barat, terutama Amerika Serikat, yang secara kultural
demografis mirip Indonesia, yaitu masyarakatnya yang sangat majemuk. Ketika
sebuah masyarakat masih bersifat homogen dengan jumlah penduduk terbatas, maka
pepatah “diam itu emas” masih tetap berlaku dan sangat mudah dipahami.
Tanpa kampanye secara lisan semua warga masyarakat sudah bisa menilai kualitas dan prestasi setiap warganya. Pada masyarakat yang homogen dan komunalistik bahasa tindakan lebih kuat ketimbang bahasa lisan. Namun ketika penduduk semakin banyak, perjumpaan lintas etnik, profesi, agama dan budaya semakin intens, maka seseorang dituntut untuk aktif memperkenalkan diri agar dikenal dan diterima masyarakat luas.
Tanpa kampanye secara lisan semua warga masyarakat sudah bisa menilai kualitas dan prestasi setiap warganya. Pada masyarakat yang homogen dan komunalistik bahasa tindakan lebih kuat ketimbang bahasa lisan. Namun ketika penduduk semakin banyak, perjumpaan lintas etnik, profesi, agama dan budaya semakin intens, maka seseorang dituntut untuk aktif memperkenalkan diri agar dikenal dan diterima masyarakat luas.
Terlebih kalau seseorang ingin jadi wakil rakyat,
bupati, gubernur, atau presiden. Jika mereka diam saja, tak akan ada yang
mengenal dan memilihnya. Sepintar apa pun seseorang, kalau tak ada forum untuk
tampil mengampanyekan dirinya secara nasional, maka sulit untuk jadi presiden.
Di sinilah makanya peran media massa sangat strategis
setiap musim kampanye. Masa kampanye calon presidencalon wakil presiden
(capres-cawapres) yang relatif singkat, akan semakin menguntungkan bisnis
televisi karena panen iklan. Hanya melalui media televisi wajah dan pikiran
calon akan dikenal luas masyarakat.
Hanya saja, titik lemah dari media televisi adalah
bisa direkayasa sedemikian rupa agar menimbulkan efek kesan yang jauh lebih
bagus dan lebih hebat dari kualitas aslinya. Mekanisme rekayasa virtual itu
sulit dilakukan dalam sebuah komunitas yang homogen dan terbatas.
Ibarat sebuah keluarga besar, masing-masing kenal secara
mendalam. Namun, dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, yang jumlah
penduduknya tinggi dan tersebar ke dalam ribuan pulau, politisi yang ingin
memenangi persaingan harus berlimpah dananya untuk biaya iklan dan membeli jam
tayang agar dirinya dikenal secara nasional.
Itu sungguh bukan hal yang mudah dilakukan. Dengan demikian, saat ini politik citra menjadi bagian dari tradisi baru promosi diri. Panggung politik dan panggung sinetron lalu memiliki kemiripan dalam proses produksi dan mekanisme kerjanya, meski tujuannya berbeda. Sebaiknya para politisi maupun masyarakat bersama-sama menyadari perkembangan dan perubahan budaya “pamer diri” ini.
Itu sungguh bukan hal yang mudah dilakukan. Dengan demikian, saat ini politik citra menjadi bagian dari tradisi baru promosi diri. Panggung politik dan panggung sinetron lalu memiliki kemiripan dalam proses produksi dan mekanisme kerjanya, meski tujuannya berbeda. Sebaiknya para politisi maupun masyarakat bersama-sama menyadari perkembangan dan perubahan budaya “pamer diri” ini.
Kata pamer rasanya memang tidak tepat untuk kultur
Indonesia. Tetapi dalam bahasa Inggris memang terdapat ungkapan: self-exposure
dan selfpromotion dalam konotasi yang datar-datar saja. Di situ berlaku
adagium, tak akan ada yang memperjuangkan diri Anda secara serius, kecuali Anda
sendiri karena pada dasarnya setiap orang cinta diri dan sibuk dengan dirinya
sendiri.
Promosi diri akan menjadi persoalan moral ketika
dilakukan dengan membohongi rakyat. Ketika mereka maju hanya dengan
mengandalkan kekuatan uang tanpa visi, gagasan, dan program jelas serta
integritas kuat. Promosi diri agar terpilih menjadi pemimpin tingkat nasional
jelas memerlukan dana besar, tim sukses yang solid dan profesional.
Dan itu semua memerlukan dana yang kuat.
Pertanyaannya, dari mana miliaran itu didapat? Kapan bangsa ini lebih
menghargai gagasan dan moral sehingga mampu mengalahkan rayuan uang? (*)
0 komentar:
Posting Komentar