Bulan
Sya’ban, bulan menjelang Ramadan, merupakan bulan istimewa bagi umat Islam.
Bulan yang diyakini sebagai bulan tutup buku perhitungan amal selama setahun.
Maka pada bulan itu dianjurkan
untuk memperbanyak zikir, beramal saleh, dan melaksanakan salat taubat sebelum
buku catatan amalnya diangkat ke langit oleh malaikat pada akhir pertengahan
bulan Sya’ban (nisfu sya’ban). Yang menarik perhatian saya, entah dari
mana asal-usulnya, pada bulan itu juga banyak acara pernikahan. Ada yang
beralasan, memasuki bulan Ramadan, agar seseorang merasa enak hidupnya, ia
mesti ada pendampingnya. Dengan pendamping di sisinya, semoga ibadah Ramadan
lebih khidmat dilakukan. Baik ketika merasa lapar, berbuka puasa, salat tarawih
maupun bangun malam untuk makan sahur, ada teman setianya.
Untuk itu, banyak orang
melaksanakan pernikahan menjelang Ramadan. Tentang pernikahan ini, banyak aspek
human interest yang menarik diobrolkan. Kelihatannya sepele, tapi bisa saja
berakibat serius. Misalnya saja, rupanya di kota besar semacam Jakarta, untuk
menyewa tempat atau gedung resepsi pernikahan yang bagus harus antre panjang.
Kriteria bagus antara lain tempat parkir luas, daya tampung gedung di atas
seribu orang, desain ruang bagus dan nyaman untuk dihias. Paling cepat setengah
tahun sebelumnya kalau mau menyewa untuk resepsi di akhir pekan.
Bahkan ada yang setahun sebelumnya.
Bagi sebagian masyarakat kelas menengah Indonesia, pesta pernikahan lebih dari
sekadar acara keagamaan dan adat, melainkan juga menyangkut gengsi sosial. Ada
orang bilang, kalau ingin tahu status dan relasi sosial seseorang, lihat saja
sewaktu mengadakan pesta pernikahan anaknya. Siapakah tamu-tamu yang datang,
hal itu akan menunjukkan status sosial yang memiliki hajat. Kalau kebetulan
seorang pejabat tinggi negara, maka tamu yang datang adalah relasi sesama
pejabat serta anak buahnya. Termasuk juga mitra bisnis atau rekanan.
Jika yang punya hajat adalah
aktivis partai politik (parpol), yang berdatangan juga kalangan aktivis.
Demikianlah seterusnya. Ada lagi orang berkomentar, jika ingin tahu koleksi
mobil-mobil mewah di Jakarta, perhatikan saja sewaktu ada acara resepsi
pernikahan. Mobil simpanannya pada keluar. Adakah untuk menghargai undangan
ataukah untuk kenyamanan ataukah pamer, terserah niat seseorang. Memang kadang
kala mengesankan ironi dan paradoksal ketika orang kaya Indonesia mengadakan
pernikahan. Ongkosnya bisa mencapai miliaran rupiah di tengah suasana rakyat
yang menganggur tak ada pekerjaan tetap.
Televisi tidak mau ketinggalan
untuk meramaikan dan membuat heboh jika yang menjadi pengantin itu kalangan
selebritis. Pemberitaan semacam itu pasti akan membuat selebritis yang lain
terpengaruh, mungkin malu kalau pestanya sederhana. Padahal, bukankah di balik
kesederhanaan itu justru tersimpan sikap mulia? Yang juga pantas direnungkan
adalah berapa sumbangan uang dalam amplop yang pantas diberikan? Katanya,
jumlah besar-kecilnya sumbangan tergantung siapa yang punya hajat. Semakin kaya
seseorang, semakin besar tamu menyumbang.
Semakin sederhana pesta pernikahan, semakin sederhana atau sedikit sumbangan yang diberikan oleh para tamunya. Nah, apakah ini bukan logika terbalik? Mestinya para tamu tidak usah merasa malu kalau tidak menyumbang jika yang punya hajat itu dikenal sebagai konglomerat. Dia mungkin saja sengaja mensyukuri nikmat dengan mengadakan pesta mewah, sama sekali tidak mengharapkan sumbangan dari para tamu. Sebaliknya, mereka yang bukan konglomerat tentu akan sangat bermakna kalau tamu-tamu menyumbang agar modalnya kembali atau untuk bekal pengantinnya.
Semakin sederhana pesta pernikahan, semakin sederhana atau sedikit sumbangan yang diberikan oleh para tamunya. Nah, apakah ini bukan logika terbalik? Mestinya para tamu tidak usah merasa malu kalau tidak menyumbang jika yang punya hajat itu dikenal sebagai konglomerat. Dia mungkin saja sengaja mensyukuri nikmat dengan mengadakan pesta mewah, sama sekali tidak mengharapkan sumbangan dari para tamu. Sebaliknya, mereka yang bukan konglomerat tentu akan sangat bermakna kalau tamu-tamu menyumbang agar modalnya kembali atau untuk bekal pengantinnya.
Yang disesalkan adalah jika faktor
tradisi atau gengsi sosial lalu memberatkan keluarga yang melangsungkan acara
pernikahan menjadi berat dan mesti berutang ke kanan-kiri dan itu biasa terjadi
dalam masyarakat. Padahal, Rasulullah mengajarkan, janganlah pernikahan itu
diperberat. Yang paling pokok adalah dipenuhi syarat-rukunnya menurut ajaran
agama. Umumkan kepada tetangga dan saudara jauh serta masyarakat tentang acara
pernikahan itu agar pasangan suami-istri tidak menjadi fitnah kalau berjalan
bareng. Juga kalau ada yang naksir agar membuang niatnya. Di Indonesia lebih
bagus lagi, yaitu dicatatkan ke kantor resmi pemerintah sehingga ikatan
keluarga itu semakin kokoh secara hukum.
Kalau sekarang ada orang yang
melakukan nikah diam-diam dan cukup dengan ustaz serta dua saksi, dengan alasan
semasa Rasulullah tak ada catatan sipil atau kantor KUA seperti sekarang ini,
mereka lupa satu aspek pernikahan yang amat fundamental. Di masa Rasulullah
pernikahan itu diketahui warga masyarakat dari ujung ke ujung sehingga ada
sanksi sosial siapa yang mengkhianati atau yang merusak lembaga rumah tangga.
Artinya, pernikahan itu merupakan peristiwa dan ada dimensi sosialnya. Inilah
yang kemudian diperkokoh oleh pemerintah melalui petugas KUA.
Demikianlah, sesungguhnya masih
banyak aspek pernikahan yang bisa kita bahas pada lain kesempatan. Saya
sendiri, mungkin juga saudara, kadang dibuat problematis ketika memperoleh
undangan resepsi pernikahan lebih dari dua pada waktu yang sama, sementara lalu
lintas Jakarta semakin macet saja.(*)
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar