KORUPSI
itu menular. Corruption is contagious. Coba saja amati perilaku siswa
ketika menghadapi ujian kelulusan sekolah, entah itu di SD, SMP atau SMU.
Ada-ada saja cara mereka mencari bocoran soal atau berusaha mencontek untuk
mendapatkan jawaban yang benar tanpa mau belajar keras.
Peristiwa ini diduga menyebar ke
seantero wilayah Indonesia. Bukankah ini merupakan perilaku korupsi? Ironisnya
tindakan ini ada yang difasilitasi orang tua, para pemimpin sekolah, atau Dinas
Pendidikan demi menjaga nama baik sekolah dengan cara mempertahankan ranking tingkat
kelulusan siswa, meski dengan jalan kotor. Jadi, kalau sekarang sering
ditemukan pejabat publik atau anggota DPR melakukan korupsi, jangan- jangan itu
merupakan dampak atau kelanjutan dari kebiasaan mencontek waktu sekolah dulu.
Ada lagi dongeng sangat populer
yang diteruskan dari generasi ke generasi, yaitu dongeng kancil mencuri timun.
Lagi-lagi, kancil si pencuri itu tentu saja akan membekas pada otak anak bahwa
kecerdikannya pantas ditiru? Lalu ada lagi tradisi berebut seperti dalam acara
sekaten, saweran, dan entah apa lagi, yang intinya saling desak mengalahkan
yang lain untuk memperebutkan uang, makanan atau mainan itu bagus-bagus saja,
bahkan dilestarikan. Makanya kalau beberapa anak berebut layanglayang putus
ujung-ujungnya rusak.
Orang tua tidak mendidik mereka
untuk bersaing secara sportif. Misalnya siapa yang menyentuh layang-layang
lebih dulu dia yang berhak dan yang lain mesti mengalah. Demikianlah, saling
berebut dan mengambil hak orang lain akan berdampak serius ketika yang
diperebutkan itu jabatan publik dan uang negara atau perusahaan. Karena korupsi
dan suapmenyuap itu biasanya dilakukan tidak sendirian, maka di antara mereka
saling melindungi dan berbagi taktik bagaimana caranya mendapatkan uang dan
tidak ketahuan.
Yang terjadi kemudian adalah saling
menularkan kejahatan di antara mereka agar tidak terjerat hukum. Bayangkan
saja, apa yang terjadi dengan kultur birokrasi dan mentalitas pejabat kita jika
korupsi itu sudah bergerak bagaikan wabah yang menular. Ibarat wabah, korupsi
menyebar tidak terlihat, tapi berlangsung efektif. Penularan virus korupsi ini
akan semakin menggerayangi seluruh sel-sel birokrasi jika ternyata penegak
hukum yang mestinya memberantas malah terkena juga.
Virus korupsi lalu hanya dikecam
secara moral, tapi dinikmati dan diperluas jaringannya oleh mereka yang
profesinya memperbanyak jaringan, layaknya bisnis multi level marketing
(MLM).Semakin banyak relasi yang bisa diajak masuk jejaring korupsi, dia akan
semakin banyak memperoleh imbalan, misalnya dari uang suap atau jasa. Jaringan
korupsi ini sudah mirip jaringan narkoba. Keduanya sangat membahayakan dan
merusak kehidupan negara dan masyarakat, namun bekerjanya sangat rapi.
Bahkan mampu menaklukkan penegak
hukum yang mestinya jadi musuh, lalu berubah menjadi pelindung. Mungkin judi
pun termasuk pada jejaring ini. Secara moral dan retorika dikecam,tapi oleh
sekelompok orang judi merupakan sumber uang yang terus mengalir berlimpah.
Sebagai praktisi pendidikan saya sering dibuat tercenung. Betapa sulitnya
menularkan motivasi dan prestasi anak agar tersebar, meluas. Tapi begitu
cepatnya perilaku negatif itu menular.
Terlebih sekarang dengan hadirnya
internet, Facebook dan Twitter, peredaran foto porno dan gosip murahan pasti
lebih cepat ketimbang berbagi informasi ilmu pengetahuan. Berdasarkan
pengamatan, media massa sangat besar perannya menularkan perilaku aneh yang
negatif, seperti halnya bunuh diri. Ketika muncul berita bunuh diri dengan
jalan terjun dari bangunan tinggi atau minum Baygon, biasanya tak lama kemudian
akan terjadi tindakan serupa di tempat lain.
Rupanya cara sukses bunuh diri itu
juga cepat menular, menginspirasi orang lain yang memang sudah punya keinginan
untuk mengakhiri hidup. Berbagai tindakan terorisme pun diduga kuat saling
menginspirasi dan memotivasi kelompok lain. Berita sukses seorang yang
meledakkan diri dengan bom dan berhasil membunuh dan melukai banyak korban di
pihak musuh akan ditiru oleh sekelompok teroris lain di tempat yang berbeda.
Jadi, tidak hanya korupsi yang menular, kejahatan pun mudah menular. Evil
is contagious.
Untuk konteks kehidupan bernegara
di Indonesia, perang melawan korupsi ini mesti tegas sebagaimana Densus
88/Antiteror Markas Besar Polri sangat tegas dan serius memantau teroris dan
membunuhnya. Kalau tidak tegas, baik teroris maupun koruptor sama-sama
membahayakan kehidupan bernegara. Pertanyaan yang muncul, lebih mudah mana bagi
polisi menangkap teroris atau menangkap koruptor? Lebih serius mana polisi
ketika dihadapkan ancaman teroris dan koruptor?
Tentu saja jawabnya: keduanya
serius. Masyarakat sesungguhnya memberikan support besar dan menunggu
hasil perburuan pemerintah, terutama lembaga penegak hukum, dalam menangkap
koruptor, sebagaimana mereka menangkap dan menembak teroris. Mengingat sasaran
dan jalur masuk untuk menangkap koruptor sudah terbuka, maka rakyat akan sangat
kesal dan marah kalau penegak hukum tidak menunjukkan kesungguhan dan hasil
perburuannya. Sebagaimana virus HIV yang merupakan fenomena gunung es, korupsi
diduga kuat juga seperti itu. Yang terjadi di bawah permukaan jauh berlipat
dari yang muncul dalam pemberitaan.Mungkin ada ratusan ribu “Gayus-Gayus” kecil
di republik ini.(*)
0 komentar:
Posting Komentar