BERBAGAI
bencana alam di Tanah Air seperti tidak habis-habisnya menjadi bahan obrolan,
baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun media cetak dan elektronik,
termasuk dunia maya.
Dari situ kita bisa melihat betapa
beragamnya respons masyarakat. Mulai dari yang mengungkapkan keprihatinan
sampai yang turun ke lapangan untuk menyalurkan bantuan dan memberikan
pertolongan. Namun ada juga di antara mereka yang sibuk mendiskusikan lewat
Twitter, misalnya, bahwa mungkin saja bencana ini merupakan azab Tuhan karena
warga sekitar banyak melakukan perbuatan dosa dan syirik.
Mendengar respons seperti itu tentu
saja membuat hati banyak orang ngenes dan bisa dibayangkan, apa yang dirasakan
mereka yang mengalami musibah tersebut ketika mendengarnya? Menarik garis lurus
antara adanya musibah dengan kemurkaan Yang Maha Kuasa bagi sebagian orang
merupakan bentuk sikap dan cara berpikir religious,bahkan mungkin bentuk
muhasabah atau introspeksi karena ketidakmampuan manusia “menyelamatkan” diri
dari musibah tersebut adalah akibat dari kegagalan dia memberikan yang terbaik
bagi-Nya dan melanggar aturan-Nya.
Cara berpikir seperti ini tentu
sah-sah saja sebagaimana juga tak bisa disalahkannya mereka yang tidak setuju
dengan cara merespons seperti itu. Namun, pertanyaannya, apakah respons yang
menghubungkan ketidakberuntungan dengan ketidaksalehan itu bisa menjelaskan
fenomena musibah seperti di atas? Bagaimana dengan mereka yang tidak saleh tapi
beruntung sehingga bagi sebagian orang, menarik garis linier seperti
itu terdengar seperti simplifikasi terhadap sesuatu yang kompleks?
Jika diamati,ada berbagai model
dalam merespons peristiwa bencana alam ini. Dengan meminjam teori CA van
peursen tentang tiga tahapan perkembangan kebudayaan sebuah masyarakat,yaitu
mitis,ontologis, dan fungsional, maka ketiga model ini pun sepertinya dapat
dipakai untuk menjelaskan sikap masyarakat dalam melihat bagaimana hubungan
antara manusia dan alam semesta. Dalam cara pandang mitis, hubungan antara
manusia dan alam tidak setara.
Manusia dalam posisi tidak berdaya
di hadapan alam. Alam sedemikian perkasa dan misterius karena dia memiliki roh
para dewa sehingga manusia harus pandai-pandai berdamai dan membujuknya agar
alam tidak marah oleh ulah manusia. Model berpikir mitis ini sudah dipercayai
pada masyarakat Yunani Kuno di mana alam termasuk gunung, pepohonan dikuasai
oleh Dewi Artemis. Dewi ini juga dianggap pelindung bayi binatang maupun
manusia. Karenanya selama manusia menjaga hubungan baik dengan dewi ini, alam
akan tenang, aman, dan terlindungi.
Setelah melahirkan misalnya,agar
ibu dan bayinya terlindungi dari roh jahat, ditaruhlah berbagai jenis dedaunan
dan pakaian si ibu tersebut dibuang sebagai persembahan untuk Dewi Artemis.
Atau ada lagi festival pada musim semi Thesmophoria untuk meminta agar kekuatan
dewa hadir agar alam menjadi subur sehingga bibit tanaman bisa tumbuh dengan
baik. Bentuk upacara keagamaan yang disertai dengan melepas sesajen ke laut
sebagai ungkapan permohonan dan terima kasih atas ikan-ikan yang telah
ditangkap oleh penduduk sekitarnya atau sesajen ditujukan ke gunung sebagai
tanda terima kasih atas kesuburan yang diberikan; juga sebagai ungkapan
persahabatan dan bujukan agar gunung tidak marah.
Sesungguhnya itu semua adalah salah
satu hasil dari cara berpikir mitis yang mulai muncul sejak zaman dulu. Model
kedua disebut sebagai ontologis di mana nalar atau cara pandang ilmiah
dipergunakan untuk memahami gejala alam. Pada tahap ini, berbeda dengan model
pertama,segala peristiwa alam dijelaskan dengan hukum sebabakibat.
Misalnya, jika pada tahapan mitis
peristiwa banjir selalu dikaitkan dengan kemurkaan alam dan Tuhan, maka dengan
pendekatan ontologis, dengan nalarnya masyarakat memahami bahwa banjir itu
adalah akibat hujan lebat yang tumpahan airnya tidak tertampung dan tidak
tersalurkan oleh sungai-sungai yang ada.
Ketika terjadi peristiwa banjir
kesalahannya lalu diarahkan kepada manusia dan untuk menebus “dosanya” mereka
tidak lagi membuat sesajen (sesaji), tetapi dengan memperbanyak
waduk-waduk dan tempat untuk penampungan serta serapan air. Sungai dan irigasi
diperluas dan tidak lagi membuang sampah ke sungai atau mereka juga menghindari
tinggal di daerah bantaran sungai.
Di sini, posisi manusia dan alam
seakan sejajar, keduanya saling berdialog dan membuka diri, yang satu memahami
yang lain. Dan sesungguhnya apa yang dilakukan oleh para peneliti dan ilmuwan
adalah melakukan pemahaman dan dialog dengan alam agar manusia lebih mengenal
karakter alam sehingga dapat mengantisipasi reaksi dan akibat dari segala
perilaku manusia terhadap alam. Ini bisa dibuktikan dengan penelitian di bidang
obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Begitu juga terhadap perilaku
gunung, dengan penjelasan nalar dan ilmu pengetahuan, dapat diantisipasi apa
yang sedang terjadi dan kemungkinan yang akan terjadi pada gunung berapi.
Sinyal untuk mendekati fenomena alam secara ontologis sesungguhnya telah
termaktub dalam wahyu pertama Alquran,yaitu perintah iqra,yaitu perintah untuk
membaca.
Membaca juga terkandung di dalamnya
proses penelaahan dan pemahaman tidak hanya terhadap teks tertulis, melainkan
juga teks kawniyyah, ciptaan Tuhan termasuk alam dan seisinya. Selain itu
kalimat dalam Alquran afalaa ta’qiluun (apakah kamu tidak berpikir atau
mempergunakan akalmu) juga merupakan sinyal bahwa hendaknya akal atau nalar
dipergunakan sebaik-baiknya dalam membaca dan memahami ayat-ayat-Nya. Adapun
dalam model ketiga, yaitu fungsional,manusia menempati posisi lebih tinggi
dibandingkan alam.
Dalam hubungan ini manusia adalah
pihak yang diberi keleluasaan untuk mendayagunakan alam. Di sinilah fungsi
manusia sebagai khalifah yang memiliki misi untuk mengatur alam.Namun dalam hal
ini Alquran pun sudah memberi rambu-rambu bahwa bila otoritas ini
disalahgunakan, tak pelak lagi akibatnya adalah alam akan rusak (fasad).
Dan sesungguhnya dengan ilmu pengetahuan, manusia seharusnya memiliki kemampuan
mengantisipasi konsekuensi dari tindakannya yang menzalimi hukum alam.
Bila hutan dijarah secara membabi
buta atau serapan air dirampas oleh tumbuhnya hutan beton, alam akan bereaksi
dalam bentuk longsor,banjir,dan lain-lain. Bagaimanakah respons yang bijak
dalam menanggapi bencana alam ini? Semua bentuk respons, baik yang menyerahkan
hal itu pada kemarahan Tuhan atau akibat terganggunya hukum alam karena ulah
manusia atau yang lain, tentu saja memiliki argumen masingmasing. Salah satu
yang membedakan adalah seberapa besar nalar atau akal berperan dalam memahami
gejala alam yang ada.
Model mitis yang banyak dipakai
sejak dulu pada masyarakat primitif, mengutip Sigmund Freud, muncul karena pada
masyarakat ini reaksi sikap (deed) mendahului pikiran (thought). Pada
tahap ini dalam merespons gejala di sekitarnya, masyarakat tidak meluangkan
pikiran nalar untuk memahami, tetapi lebih reaktif di mana respons yang muncul
adalah menyerahkan semuanya pada penyebab yang berasal dari kekuatan yang lebih
tinggi. Ini mengingatkan saya pada ungkapan Goethe dalam Faust yang
mengatakan,“ Im Anfang war die Tat.” Artinya, in the beginning was
the deed. Apakah kita akan memilih respons dengan reaktif atau rasional? Wallahu
a’lam bish-shawab.(*)
0 komentar:
Posting Komentar