Meminjam istilah Mahmud Jabiry, ada
tiga ideologi yang menjadi sumber dinamika sejarah Islam, yaitu kabilah,
ganimah, dan akidah.
Sejak masa pra-Islam hingga kini, semangat, ideologi,
dan identitas kabilah, suku, dan etnis masih kental dan memiliki peran signifikan
dalam dinamika sosial dunia Islam. Jika ada pandangan kehadiran Islam
seharusnya menghilangkan ideologi kabilahisme dan semua umat Islam menjadi
suatu komunitas seiman yang disebut ummah, pertanyaannya, mengapa
kabilahisme-dinastiisme masih kuat?
Bukankah nama kerajaan Arab Saudi, misalnya, adalah
bukti negara itu milik keluarga Ibnu Saud? Juga negara tetangganya, seperti
Jordania, Maroko, atau negara teluk, semua membenarkan, kabilahisme tidak
hilang meski Islam lahir dan berkembang di kawasan Timur Tengah.
Demi harga diri dan solidaritas kabilahnya, masyarakat
Arab pra-Islam siap berperang sebelum kedua pihak imbang korbannya atau
berdamai dengan tebusan unta yang banyak. Jadi, di Timur Tengah, hingga hari
ini selalu terlibat peperangan, jangan segera ditafsirkan perang membela agama.
Siapa tahu, yang menonjol adalah semangat kabilahisme.
Adapun arti harfiah ganimah adalah harta rampasan,
keuntungan dari peperangan. Dalam sejarah Islam, mereka yang ikut berperang
tidak semuanya dimotivasi agama, tetapi menginginkan harta rampasan. Bahkan,
godaan untuk mengumpulkan ganimah ini pernah terjadi semasa Rasulullah dalam
perang Uhud sehingga tentara Islam kalah perang karena beberapa pos strategis
untuk menghadang musuh ditinggalkan, karena ingin berebut harta rampasan.
Perpaduan spirit membela kabilah dan mengejar ganimah,
dibalut dengan misi keagamaan (akidah), juga secara nyata ditunjukkan oleh
imperialisme dan kapitalisme Barat pada abad lalu yang memperluas daerah koloni
sambil menyebarkan agama. Namun, yang kini cukup menonjol adalah motivasi
ganimah dan samar-samar didukung sentimen nasionalisme (neo-kabilah) dan
keyakinan agama (akidah).
Agresi Israel di Palestina mungkin merupakan contoh
sempurna perpaduan militansi kabilah dan ganimah, minus akidah sebab agama
Yahudi hanya dipeluk eksklusif berdasarkan keturunan darah. Begitu pun
keterlibatan Amerika Serikat mungkin lebih dimotivasi kepentingan nasionalis
dan ekonomi, spirit membela supremasi kabilah dan mengejar ganimah.
Radikalisme
Akidah
Meski jumlahnya kecil, dalam sejarah
Islam ada sekelompok gerakan radikal yang dimotivasi keyakinan agama atau
akidah, seperti kelompok Khawarij. Selain lahir dalam situasi konflik, mereka
memahami dalil-dalil agama secara harfiah. Epistemologi agama yang mereka bangun
dan pahami selalu bersifat konfliktual sehingga secara mental selalu merasa
dalam bahaya dan siap mati untuk perang melawan musuh yang berbeda agama.
Dapat bayangkan, betapa militannya jika ketiga
ideologi itu menyatu. Berperang membela etnis, ditopang semangat mempertahankan
sumber ekonomi, disublimasi jargon jihad perang suci membela agama Tuhan, maka
laskar jihad Islam sama sekali tidak gentar mati meski hanya bersenjata pedang,
panah, ketepel, atau bom molotov. Bahkan dengan bom bunuh diri pun.
Namun, memasuki era baru di mana pergaulan dunia kian
mengarah pada ”kekamian” dan ”kekitaan”, memahami agama secara rigid dan
harfiah sulit dipertahankan. Kini kian menguat kesadaran global bahwa kita
semua bersaudara, karena hidup ”bersaudara”, apa pun asal etnis dan keyakinan
agamanya.
Semua harus bertanggung jawab menciptakan perdamaian,
kesejahteraan, dan menjaga lingkungan sehat. Melampiaskan naluri primitif untuk
saling menghancurkan hanya akan menghancurkan kita. Rumah-rumah etnis, bangsa,
dan negara mutlak diperlukan sebagai tempat kita lahir, tumbuh, meneruskan
regenerasi serta membangun kehidupan sosial.
Jika internal dunia Islam saja tidak mampu mengatur
dan memberdayakan ideologi kabilah, ganimah, dan akidah untuk memajukan diri,
sulit diharapkan peran dan kontribusinya dalam membangun peradaban pada tingkal
global. Yang kemudian terjadi dinasti-dinasti dan negara-negara Muslim itu
bertengkar berebut ganimah sehingga kekuatan kapitalisme Barat dengan mudah
masuk ikut kenduri bahkan memperoleh bagian lebih besar.
Tengoklah, lebih dari separuh sumber minyak bumi yang
diperlukan dunia ada di wilayah negara Muslim. Namun, karena mereka tidak mampu
keluar dari kendala primordialisme sejarah lamanya, sulit tampil menjadi
pemimpin dunia.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Jika
desentralisasi tidak dilaksanakan hati-hati, akan memperkuat identitas kabilah
dan berebut ganimah yang menggerogoti kohesi berbangsa dan bernegara. Keadaan
diperparah eksklusivisme akidah, baik melalui perda-perda syariah maupun
munculnya teroris yang mengaku membela Islam, tetapi justru menciptakan masalah
bagi umat Islam sendiri.
Jika setiap kabupaten menerapkan perda syariah, di
wilayah lain akan muncul perda-perda syariah yang berakar pada agama-agama di
Indonesia. Apa jadinya bangsa ini jika semangat etnis kedaerahan (kabilah)
dipadu eksklusivisme menguasai sumber ekonomi (ganimah), lalu dipagari perda
syariah (akidah) yang belum tentu cocok bagi masyarakat Indonesia yang majemuk?
Secara antropologis, Islam lahir dan terbentuk pada
lingkungan masyarakat padang pasir yang memiliki tradisi perang antarsuku,
antara lain untuk memperebutkan sumber air, padang rumput, dan mempertahankan
supremasi suku. Tradisi perang ini tidak berhenti meski berbagai agama lahir di
situ, misalnya Yahudi, Nasrani, dan Islam. Karena itu, banyak ayat Al Quran
yang merekam dan merespons tradisi konflik ini sehingga secara sepintas wacana
Al Quran adalah menciptakan garis tegas hitam dan putih, mukmin melawan kafir.
Di antara dikotomi mukmin dan kafir ini, ada komunitas abu-abu, yaitu ahlul
kitab. Mereka beriman kepada Allah dan nabi sebelum Muhammad, tetapi
mengingkari kenabian Muhammad. Maka, mereka disebut ahlul kitab.
Lagi-lagi, menurut Al Quran,
sebagian mereka menolak kenabian Muhammad karena disebabkan eksklusivisme dan
kesombongan kabilah. Ada perasaan gengsi, mengapa mereka menjadi pengikut
Muhammad keturunan Hajar, seorang budak berkulit hitam, istri Nabi Ibrahim.
Jadi, rupanya nalar itu tidak selalu menang dalam memperjuangkan kebenaran
ketika diinterupsi oleh kepentingan kelompok dan kepentingan ekonomi.
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar