Terdapat berbagai variabel yang membuat politik
Indonesia berlangsung dinamis. Beberapa faktor dimaksud antara lain: satu,
masyarakat Indonesia memiliki sejarah dan tradisi panjang pergerakan sosial,
terutama dalam perjuangan kemerdekaan.
Bahkan organisasi keagamaan ikut memiliki andil dan
peran yang sangat besar, seperti Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926)
yang keduanya merupakan pengawal paham Islam moderat dan setia pada Pancasila.
Dua, kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau dan
memiliki keragaman bahasa, budaya dan agama, ikut serta melahirkan dinamika
sosial budaya yang pengaruhnya sangat dirasakan masuk ke ranah politik.
Tiga,masyarakat Indonesia yang sedemikian majemuk memerlukan waktu yang tidak
pendek untuk membangun kohesi berbangsa dan bernegara.
Kelahiran “negara Indonesia” tidak serta-merta
melahirkan “bangsa Indonesia” yang solid, karena “keindonesiaan” kita masih
dalam proses menjadi. Empat, kita belum memiliki tradisi yang kuat dan rasional
dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Sejak merdeka tahun 1945 sampai
sekarang kita masih bingung mencari model, trial and error sehingga masyarakat
juga belum bisa menghargai secara proporsional jasa-jasa “Bapak Bangsa”.
Lima, sistem politik dan pemerintahan yang dibangun
pasca-Soeharto, yang dikenal dengan era reformasi, hal yang lebih menonjol
adalah kebebasan berekspresi, pembatasan jabatan presiden, dan desentralisasi.
Namun, penegakan hukum dan kultur politik sangat mengecewakan sehingga
mendevaluasi gerakan reformasi dan demokratisasi. Akibatnya, masyarakat semakin
apatis dan kecewa terhadap partai politik (parpol) dan politik.
Diduga, sentimen deparpolisasi dan golput semakin
meningkat secara signifikan. Memasuki tahun 2013-2014 ini suhu politik memanas.
Masyarakat ingin sekali mengakhiri berbagai potret suram kehidupan bernegara
dan berbangsa yang ditandai dengan maraknya korupsi dan pembangunan yang
mandek. Enough is enough. Bisakah parpol dan wakil rakyat memenuhi harapan
masyarakat?
Tiga parpol yang menempati posisi di atas adalah Golkar
di bawah kendali Aburizal Bakrie, PDIP di tangan Megawati Soekarnoputri, dan
Partai Demokrat (PD) dalam kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa parpol
lain tampaknya berusaha membuntuti, seperti Gerindra dengan tokoh Prabowo
Subianto dan NasDem dengan Surya Paloh.
Namun, kalangan pengamat maupun para pelaku politik
masih bingung ketika ditanya, parpol apa yang bakal jadi pemenang pemilu dan
siapa yang bakal tampil menjadi pasangan capres-cawapres. Situasi ini sangat
berbeda dari masa Orde Baru yang jauh-jauh hari sudah bisa dipastikan
pemenangnya.
Dilihat dari daftar caleg sementara (DCS), aktivis dan
peminat masuk parpol meningkat, namun kualitasnya diragukan sehingga respek dan
kepercayaan masyarakat terhadap anggotalegislatifmenurunkarena posisi itu
dipersepsikan tak lebih sebagai lapangan kerja baru. Parpol dinilai gagal
melahirkan politisi dan negarawan yang menjadi model dan harapan masyarakat.
Saat ini nasib negara berada di tangan pemerintah, sementara
pemerintah dikuasai parpol, dan parpol miskin dana dan negarawan, sehingga
berita yang muncul selalu saja seputar korupsi baik di kalangan legislatif
maupun eksekutif. Iklim kebebasan tanpa dikawal dengan penegakan hukum yang
tegas dan adil serta politisi dan jajaran birokrat yang cerdas dan
berintegritas telah melahirkan suasana hiruk-pikuk, keluh kesah dan menguapnya
aset masyarakat dan negara, moral maupun material.
Bagi kalangan pengusaha, stabilitas politik, kepastian
hukum, dan infrastruktur yang baik sangat diperlukan. Sangat disayangkan
kondisi ketiganya minus dan belum ada tanda-tanda akan terjadi perbaikan
signifikan. Mengingat politik selalu meniscayakan mobilisasi massa, maka
simbol, lembaga, dan tokoh keagamaan selalu diperhitungkan dalam percaturan
politik.
Menarik diperhatikan, terjadi kecenderungan menu-runnya
daya tarik keagamaan ketika diharapkan menjadi tenaga magnet untuk menarik
massa. Parpol yang selama ini selalu dikaitkan dengan semangat dan ciri
keagamaan, justru mengalami penurunan. Sementara itu, parpol yang dianggap
nasionalis atau sekuler justru berusaha mengakomodasi dan mempromosikan
nilai-nilai dan simbol keagamaan.
Situasi ini mengingatkan kita pada slogan dan pemikiran
yang pernah dilontarkan almarhum Nurcholish Madjid: Islam Yes, Partai Islam No.
Tak mengherankan jika parpol yang selama ini dianggap eksklusif sebagai pertain
keagamaan mulai membuka diri untuk menerima kader yang berbeda keyakinan
agamanya.
Variabel lain yang membuat panggung politik kian tampak
heboh dan sulit diprediksi adalah munculnya kekuatan opini lewat lembaga survei
dan media sosial. Penggunaan televisi untuk memersuasi massa masih tetap
dianggap paling efektif sehingga muncul istilah telepolitics, meskipun
komunikasinya satu arah (one-way traffic communication). Iklan politik telah
menjadi bagian dari industri kapitalis yang bergerak dalam bidang media sosial.
Hal ini sangat berkaitan dengan lembaga survei politik
yang berusaha membentuk opini massa untuk memilih partai dan tokoh tertentu,
sekalipun dengan mengorbankan otentisitas parpol dan tokohnya. Dengan kata
lain, di samping adanya parpol, media massa tertentu telah mengalami
metamorfosis menjadi aktor dan kekuatan politik yang efektif untuk membangun
wacana dan opini.
Objektivitas pemberitaan semakin tergeser. Instrumen
media massa dalam pencitraan politik sangat efektif untuk memengaruhi opini
para pemilih pemula, mengingat mereka sangat minim informasi tentang kiprah dan
rekam jejak masa lalu para calon presiden dan calon wakil presiden 2014 nanti.
Dengan demikian, sesungguhnya peran parpol dan media
massa sangat strategis, apakah mereka akan membuat perubahan dan perbaikan
politik di Indonesia ataukah akan menjaga status quo yang mendatangkan
pesimisme bagi masa depan bangsa. Persepsi Indonesia sebagai negara kaya harus
diubah karena yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian.
Betul alamnya kaya, tetapi benarkah negara, pemerintah,
dan rakyatnya hidup produktif dan kaya? Dengan demikian kita semua terpacu
bangkit, membangun tradisi kerja keras dan kerja cerdas.
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar