Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 30 Juni 2012
Saya pernah menolak tawaran suatu nongovernment
organization (NGO) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari sebuah negara
maju (LSM asing) untuk membiayai keberangkatan saya ke beberapa negara.
LSM itu menawarkan tiket dan akomodasi kepada saya untuk
mengunjungi beberapa negara guna memberi ceramah konstitusi dan politik di
Indonesia serta menjelaskan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan prestasinya
kepada pejabat pemerintah dan masyarakat di beberapa negara tersebut. LSM asing
itu mengatakan kepada saya bahwa MK Indonesia sangat fenomenal karena dalam
usianya yang masih muda, belum 10 tahun, sudah memainkan peran penting dalam
membangun demokrasi dan konstitusi.
Pengalaman Indonesia membangun demokrasi dan menegakkan
konstitusi dengan segala paham yang mendasarinya perlu diperkenalkan kepada
negara-negara lain. Kepada LSM asing yang di Indonesia cukup terkenal itu saya
katakan bahwa saya tak mau diongkosi oleh LSM, sebab saya ini pejabat negara.
Saya bisa berangkat dengan biaya sendiri yang disediakan oleh negara asal
proposal undangannya bisa menjelaskan manfaat kunjungan saya tersebut.
Saya juga pernah menolak tawaran sebuah LSM asing yang
akan membiayai perhelatan internasional antarpimpinan MK, pimpinan Mahkamah
Agung (MA), dan pimpinan Komisi Yudisial (KY) dari berbagai negara. LSM asing
itu meminta MK Indonesia menjadi tuan rumah simposium internasional tentang
peran MA, MK, dan KY dalam penegakan supremasi hukum.LSM asing itu akan
menanggung semua biaya delegasi dari 50 negara yang akan diundang ke Indonesia.
Kepada LSM asing itu pun saya katakan bahwa MK Indonesia
tidak mau menyelenggarakan atau menjadi tuan rumah international event dengan
sponsorship dari LSM asing. Jika manfaat dari simposium internasional jelas dan
terukur,MK Indonesia bisa menyelenggarakannya dengan biaya MK sendiri.
Demikianlah, saya sering mengunjungi berbagai negara untuk berceramah dan
berangkat ke sana dengan biaya sendiri.
Pun MK Indonesia sudah dua kali sukses menyelenggarakan
simposium internasional dengan penyediaan akomodasi MK Indonesia sendiri.
Mengapa saya menolak dibiayai LSM asing? Karena sebagai pejabat negara, yang
akan berbicara atau tampil mewakili negara, saya harus menjaga martabat bangsa
dan negara. Saya tidak mau ada orang yang mengatakan atau ada LSM asing yang
mengklaim bahwa kunjungan saya untuk berceramah atau mengisi kuliah di berbagai
negara itu dibiayai oleh pihak asing.
Begitu pula MK tidak mau menyelenggarakan forum
internasional yang bisa-bisa diklaim disponsori oleh LSM asing. Selain itu,
berdasar pengalaman kita sendiri, tak jarang kita temui adanya LSM asing yang
hanya mengambil nama secara besar-besaran, jauh lebih besar dari sedikit biaya
yang mereka keluarkan, atas kunjungan kita atau atas event yangkita
selenggarakan.Misalnya mereka minta berpidato, memberi sambutan, dalam acara
yang mereka sponsori yang dalam pidatonya menyelipkan klaim bahwa karena
merekalah acara itu ada.
Gambargambar dan dokumen kegiatan itu kemudian mereka
jadikan alat untuk mencari dana bagi keperluan LSM asing itu sendiri. Menurut
saya munculnya fitnah atas proses amendemen UUD 1945 antara 1999 hingga 2002
yang diisukan dibiayai oleh asing itu tak lepas dari permainan LSM asing yang
hanya bermain klaim seperti itu.Pada awal reformasi (1998) berbagai diskusi dan
seminar untuk reformasi konstitusi (amendemen UUD 1945) memang banyak
diselenggarakan oleh kampus-kampus dan LSM-LSM kita sendiri yang dibantu
berbagai LSM asing.
Di dalam seminar-seminar atau berbagai lokakarya itu,
selain orang-orang kampus dan aktivis LSM, adakalanya diundang orang-orang MPR
dan parpol-parpol untuk ikut berpastisipasi agar memperluas bekal secara lebih
komprehensif tentang konstitusi. Pada acara-acara itu, LSM asing yang membantu
pembiayaan selalu ikut memberi sambutan dan memasang spanduk atau lambang
LSM-nya pada dekorasi.
Eh,tak tahunya muncul isu dan klaim bahwa pihak asing
membiayai proses perubahan UUD 1945 sehingga dikatakan bahwa perubahan UUD 1945
adalah hasil operasi pihak asing.Padahal LSM asing itu sama sekali tak ikut berbicara
soal substansi amendemen karena sebenarnya mereka tidak lebih pandai, bahkan
lebih bodoh, daripada kita sendiri.
Tuduhan seperti itu kadang kala diperkuat oleh LSM asing
yang mengklaim telah mendorong perubahan politik, hukum, dan ekonomi sehingga
Indonesia menjadi lebih baik. Padahal, kadang kala, mereka hanya menyumbang
konsumsi untuk dua kali makan dan membayari sewa ruang pertemuan, sedangkan
tiket dan penginapan ditanggung oleh institusi peserta sendiri.
Tapi foto-foto dan dokumen kegiatan tentang itu
dibesar-besarkan dengan menonjolkan atribut- atribut LSM asing tersebut
sehingga seakan-akan merekalah yang melakukan perubahan dan membiayainya. Gila,
kan? Berkenaan dengan ini saya juga agak menyayangkan adanya aktivis gerakan
atau tokoh LSM kita sendiri yang tak jarang begitu senang dan bangga dibiayai
LSM asing untuk berbagai seminar atau kunjungan ke luar negeri.
Soalnya kemudian, ada di antara mereka ini yang tak
malu-malu, bersikap inlander tulen, menjual harga diri dengan menjelek-jelekkan
Indonesia sebagai negara yang harus disorot oleh dunia internasional. Lebih
gila lagi, kan?
0 komentar:
Posting Komentar