M. Mahfud MD; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 18 Agustus 2012
Ketika pertama kali melaksanakan salat pada hari raya di
Masjidilharam, Mekkah, belasan tahun yang lalu saya merasa agak heran karena
keadaan berjalan seperti hari-hari biasa saja, tidak ada kemeriahan seperti di
Indonesia.
Pun ketika pada 1991 saya melaksanakan salat Idul Fitri
di New York dan salat idul adha di DeKalb Amerika Serikat. Keadaan di situ
sepi-sepi saja.Bahkan saya merasa kesepian. Di Amerika banyak kaum muslim.
Perantauan dari berbagai negara Islam kawasan Afrika dan Timur Tengah juga hadir
ke masjid atau lapangan untuk melakukan salat id. Tetapi setelah selesai salat
mereka bubar begitu saja, sama dengan setelah melakukan salat berjamaah pada
hari-hari biasa.
Dapat dikatakan bahwa di luar Indonesia, tidak ada acara
bersalam-salaman yang khusus. Bersalamannya ya sama dengan hari-hari biasa,
tanpa ekspresi atau ucapan-ucapan khusus. Keadaan itu jauh berbeda dengan di
Indonesia. Di Indonesia, kalau Idul Fitri kita mempunyai tradisi halalbihalal,
berlebaran, pulang kampung alias mudik, bersilaturahmi dengan kerabat dan
handai tolan.
Begitu selesai salat id kita bersalaman khusus dengan
sebanyak mungkin anggota keluarga, saling meminta maaf dan bergembira
ria.Tradisi ini kerap juga disebut sebagai tradisi syawalan. Kita datangi
kerabat dan orang-orang yang lebih tua,kita cium tangan mereka seraya meminta
maaf dan meminta didoakan. Kita temui teman-teman sekampung dengan ucapan khas,
minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin, seraya saling
berakrab-akraban, berbicara banyak hal dengan sangat cair.
Biasanya,terutama di Jawa,selain berbagai hidangan di
setiap rumah selalu ada makanan ketupat atau kupat. Acara mudik (kembali ke
udik) alias menengok kampung kelahiran menjadi tradisi yang sangat indah. Saat
datangnya Idul Fitri kita sengaja mengeluarkan biaya atau menarik tabungan
untuk mudik, bersilaturahmi dan berhalalbihalal. Silaturahmi artinya menyambung
hubungan kasih sayang dan keakraban dengan keluarga dan teman-teman,
halalbihalal artinya saling menghalalkan atau memaafkan dosa.
Kalau tradisi Lebaran atau halalbihalal itu hanya ada di
Indonesia memang bisa dipahami. Di dalam sumber primer ajaran Islam,Alquran dan
Sunah Nabi, ajaran berlebaran dan berhalalbihalal setelah bulan Ramadan itu
tidak dikenal. Islam memang mengajarkan silaturahmi atau menjalin hubungan
kasih sayang, tetapi silaturahmi itu harus dilakukan secara terus-menerus dan
kapan saja, bukan hanya pada saat Hari Raya Idul Fitri.
Islam memang memerintahkan umatnya untuk saling meminta
dan memberi maaf, tetapi saling memaafkan itu harus dilakukan sepanjang waktu—
lebih baik lagi secepatnya begitu khilaf atau salah terhadap sesama manusia
dilakukan. Mudik, Lebaran, dan halalbihalal itu merupakan tradisi atau budaya
Islam Indonesia. Tetapi tradisi ini tidak bertentangan dengan Islam, bahkan
diyakini sebagai implementasi ajaran Islam ke dalam bentuk budaya lokal yang
hukumnya sunah,berpahala kalau dilakukan.
Apalagi tradisi berlebaran ini dibangun atas pemahaman
logis atas ajaran agama terkait dengan puasa dan pengampunan. Di sini berlaku
kaidah, al- ‘adatu muhakkamah,, adat kebiasaan itu menjadi hukum. Sejauh yang
pernah saya baca (majalah Risalah Islamiyyah, 1987) tradisi berlebaran dimulai
oleh Sunan Bonang, satu dari sembilan wali penyebar Islam di Jawa.
Setiap Lebaran sang Sunan mengumpulkan murid-murid,
kerabat, dan tetangganya untuk berhalalbihalal. Kata Sunan Bonang, sesuai hadis
Nabi, “Orang yang berpuasa di bulan Ramadan diampuni dosa-dosanya,” tetapi
sesuai dengan hadis Nabi pula dosa yang diampuni hanyalah dosa kepada Allah.
Dosa kepada sesama manusia tidak akan terhapus sebelum dimintakan maaf kepada
manusia yang dilanggar hak dan martabatnya atau disakiti hatinya.
Agar dosa antarmanusia menjadi bersih, sejalan dengan
bersihnya dosa-dosa lain, Sunan mengajak umat Islam saling bermaaf-maafan. Kata
Sunan, dosa kepada Allah diampuni karena puasa yang baik dan dosa kepada
manusia diampuni dengan saling meminta maaf, saling menghalalkan
(halalbihalal). Sunan Bonang saat Lebaran mengajak makan kupat, yakni nasi
putih yang dimasak dengan bungkus janur,daun kelapa yang masih putih halus
seperti gading.
Sunan Bonang memberi lambang atau makna simbolis atas
makanan khas Lebaran yang bernama kupat itu. Kupat diartikannya sebagai laku
sing papat(empat keadaan) bagi orang yang berpuasa dan bermaaf-maafan,yaitu
lebar(lebaran, selesai puasanya), lebur (diampuni dosanya), luber (melimpah
ruah pahalanya), dan labur(menjadi bersih dan bersinar dirinya). Janur sebagai
kulit kupat dimaksudkan sebagai jatining nur yang melambangkan ketulusan dan
kebersihan hati dari penyakit-penyakit yang merusak manusia.
Ada pun istilah syawalan diambil dari nama bulan setelah
bulan Ramadan yakni bulan Syawal yang berarti meningkat atau peningkatan.
Artinya, orang yang berpuasa dan bermaaf-maafan dapat melakukan “syawalan”
yakni meningkatkan kualitas hidup secara rohaniah maupun jasmaniah. Mari
bersyawalan untuk meningkatkan kualitas hidup, mari kita raih nikmat lebar,
lebur, luber, dan labur. Selamat Idul Fitri, selamat berlebaran.
0 komentar:
Posting Komentar