DI lingkungan pesantren, tak ada
murid berani melawan guru atau kiai karena siapa yang melawan guru karena
ilmunya tidak akan manfaat.Itulah salah satu doktrin dan etika yang senantiasa
tumbuh dan dijaga di lingkungan pesantren, sehingga hubungan guru dan murid
senantiasa santun dan penuh hormat.
Sekalipun bila seorang santri telah tamat kemudian
berhasil meraih titel profesor, begitu memasuki lingkungan pesantren,dia akan
kembali memosisikan diri sebagai santri ketika bertemu kiainya. Rasanya sikap
santun dan hormat secara tulus pada guru semakin menipis di lingkungan sekolah
kita.Padahal, berkat jasa guru, kita semua menjadi terpelajar. Meski pada
dasarnya kewajiban mendidik dan mengajar itu adalah berpulang ke orangtua.
Guru hanyalah melaksanakan tugas sekunder, yang primer
tetap orangtua. Sulit membayangkan, bagaimana pendidikan anak-anak kita kalau
saja pendidikan dan pengajaran semuanya ditanggung orangtua,tanpa ada lembaga
pendidikan yang diasuh oleh guru-guru yang bekerja secara profesional dan penuh
cinta kasih. Bagaimana mulianya posisi guru di mata Tuhan pernah diilustrasikan
oleh Rasulullah Muhammad dengan sangat indah.
Di akhirat nanti,ketika pintu surga sudah dibuka dan
barisan-barisan semua calon penghuni surga dipersilakan masuk,tak ada satu pun
yang bergerak. Barisan calon penghuni surga itu terdiri atas para dermawan,
pahlawan, orangtua yang penuh tanggung jawab pada keluarganya,mereka yang rajin
beribadah dan amal saleh,dan sekian barisan lain yang kebajikannya jauh lebih
berat ketimbang dosadosanya.
Melihat calon penghuni surga tidak segera masuk ke
taman surgawi yang sangat indah, malaikat pun heran dan bingung, ada gerangan
apa ini? Malaikat kemudian mendekati setiap barisan, bertanya kepada kepala
regu. Akhirnya malaikat tahu sebabnya. Rupanya, semua kepala regu mempunyai
alasan yang sama.
”Kami tidak mau memasuki taman surga sebelum rombongan
guru masuk lebih dulu. Kami bisa membedakan baik dan buruk, kami bisa menjalani
hidup dengan baik dan bermakna sehingga mengantarkan kami ke surga, semuanya
itu berkat pendidikan guru-guru kami.” Begitulah, setelah barisan guru yang
tadinya berdiri di belakang,dipersilakan masuk surga, baru rombongan lain
mengikuti di belakangnya.
Krisis
Pendidikan Guru?
Seingat saya, dulu ada sekolah
khusus untuk mencetak guru profesional. Di tingkat SLTA,misalnya, ada yang
namanya SGA, SGB, atau PGA.Lalu di tingkat perguruan tinggi ada IKIP dan STO
(sekolah tinggi olahraga).
Tapi semua itu sekarang tidak ada. Benarkah ini suatu
kemajuan atau malah sebaliknya? Tentu saja ada pertimbangan rasional mengapa
semua itu dibubarkan, lalu IKIP berubah menjadi universitas dan tetap membuka
fakultas pendidikan. Namun, terlepas dari alasan-alasan yang tersedia,
jangan-jangan pemerintah ikut mengondisikan munculnya perasaan tidak bangga
untuk jadi guru.
Padahal, kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh
kualitas dan kuantitas pendidikan. Saat ini, dunia kerja semakin memerlukan
pendidikan khusus,semisal sekolah tinggi informatika atau manajemen. Dari
pengalaman saya terlibat dalam dunia pendidikan, kita sangat ketinggalan dalam
memajukan lembaga pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan guru dan pimpinan
sekolah profesional.
Di kota-kota besar bermunculan sekolah
internasional,namun kita tidak mempersiapkan tenaga pendidik dan school leader
yang siap berkompetisi dengan sekolah asing yang masuk ke Indonesia. Keadaan
ini sungguh memprihatinkan.
Tidak mengherankan bila saat ini semakin banyak saja
putra-putri kita yang belajar ke negara tetangga atau menyuburkan masuknya sekolah
asing ke Indonesia, sementara kita masih ribut dengan sekolah roboh,pro-kontra
ujian nasional, gaji guru yang minim,realisasi anggaran pendidikan yang seret,
dan sekian ganjalan lain, sehingga yang muncul selalu saja keluhan dan kritik
terhadap pelaksanaan pendidikan.
Sering kita dengar rumus sosial untuk membangun sebuah
bangsa: Kalau ingin memajukan sebuah bangsa, nomor satu, utamakan pendidikan.
Nomor dua, utamakan pendidikan. Nomor tiga, hargailah dan muliakanlah guru.
Rumus ini sungguh tepat. Coba renungkan, untuk apa orangtua bekerja keras
banting tulang siang dan malam kalau bukan untuk memajukan anak-anaknya.
Untuk apa seseorang mengejar karier dan berhasil
memperoleh kekayaan materi kalau pendidikan anak-anaknya tidak bagus? Menjadi
persoalan dan harus menjadi bahan renungan ketika jerih payah kita tidak
diimbangi kualitas pelayanan pendidikan yang diterima anak-anak kita. Karena
itu, banyak orangtua yang berani membayar mahal untuk pendidikan anak-anak
mereka,baik di dalam maupun di luar negeri, demi mengejar kualitas. Tapi
langkah di atas belum memecahkan persoalan bersama.
Pertama, sikap itu hanya akan menyuburkan
sekolah-sekolah elite di negeri ini.Sekolah bagus hanya terjangkau untuk
sekelompok kecil orang berduit yang menghargai pendidikan.Kedua,
sekolah-sekolah yang tergolong elite dan berstandar internasional juga memiliki
kekurangan, antara lain kurangnya pendidikan kewarganegaraan dan miskinnya
empati dan pergaulan dengan rakyat kecil.
Empati ini sangat penting agar kelak ketika jadi
pemimpin, apa pun bidangnya, mudah memahami dan berempati dengan rakyat yang
mayoritas hidupnya masih susah. Pendeknya, sejak dini anak-anak itu harus
dididik makna dan semangat nasionalismepatriotisme.
Semangat cinta dan bangga sebagai anak Indonesia sulit
ditumbuhkan kalau pihak gurunya saja tidak bahagia dan tidak bangga berprofesi
sebagai guru, sementara sekolah-sekolah asing yang masuk Indonesia sudah pasti
sangat kurang menumbuhkan nilai-nilai itu.Sebagai orangtua dan pendidik, saya
ingin sekali suatu saat mendengar dan merasakan bersama: I am proud and happy
being a teacher.
Saya bangga dan bahagia menjadi guru. Perlu
diingat,kebanggaan dan kebahagiaan guru akan muncul bukan karena bangunan
sekolahnya bagus ataupun gajinya ditingkatkan, melainkan ketika suatu saat
melihat dan menyaksikan anak didiknya sukses menjalani hidup secara mulia dan
anak-anak itu masih ingat, bahkan menyebut semua ini berkat guruku.
Dalam hal ini,novel Laskar PelangikaranganAndrea
Hirata sangat indah dan menyentuh, bagaimana dia mengagumi dan menghormati Bu
Guru Muslimah, dan pasti Bu Muslimah sangat bangga dan bahagia melihat anak
asuhnya sukses dan tetap santun, hormat, dan mencintai gurunya dengan tulus.
Novel yang tengah digarap untuk diangkat jadi film layar lebar ini mestinya
menjadibacaanwajibbagi semua guru di Tanah Air.
Mendidik dengan
Hati
Guru masuk kelas tidak cukup hanya
berbekal informasi keilmuan sesuai tuntutan kurikulum.Mereka harus masuk kelas
dengan hati, dengan cinta kasih. Kalau guru mengajar dengan hati,murid akan
mendengarkan dengan hati.Guru yang mengajar dengan cinta,murid pasti akan
membalasnya dengan cinta.
Guru yang pandai menghargai murid,murid pasti akan
menghargai guru. Pendeknya,relasidankomunikasi sosial, terlebih dalam dunia
pendidikan,faktor afeksi danempatisangatpenting.Usia anak-anak yang tengah
memasuki formative years sangat menentukan kepribadiannya
dimasadepan.Ajarilahmereka untuk menjalani hidup dengan
muliadanmemuliakansesama, sehingga suatu saat bangsa ini pandai menghargai dan memuliakan
guru yang telah membukakan jendela peradaban dunia. Para guru pun akan berkata,
aku bangga dan bahagia menjadi guru. []
*Artikel ini pernah dimuat di Koran Sindo,
Jumat, 18 April 2008
0 komentar:
Posting Komentar