Judul
di atas adalah judul buku baru karangan Karen Armstrong, "Masa Depan
Tuhan" (2011) dalam edisi bahasa Indonesia. Aslinya The Case for God:
What Religion Really Means.
Armstrong adalah penulis keagamaan
yang serius, tradisi risetnya kuat, sehingga pantas jika lebih dari 15 bukunya
masuk ranking terlaris di dunia. Tuhan dalam kajian Armstrong adalah Tuhan yang
menyejarah, yang hidup di tengah dan bersama pemeluknya,Tuhan yang kemudian
melahirkan komunitas orang beriman dan sekian banyak tradisi dan institusi
agama.
Jadi, Tuhan sebagai Yang Mahatinggi
dan Absolut tentu tidak dibatasi waktu, tak mengenal kemarin, sekarang, dan
masa depan. Bahkan juga tidak terpahami oleh akal pikiran. Kita terlalu banyak
berbicara tentang Tuhan akhir-akhir ini dan apa yang kita katakan sering
dangkal, kata Armstrong (hlm 9).
Di samping menyajikan dinamika
jejak-jejak Tuhan dan pengaruhnya dalam sejarah manusia, buku ini secara tidak
langsung menjawab paham ateisme modern yang berciri sangat rasional dan ilmiah
(scientific atheism) yang telah memukau masyarakat modern dan anak-anak muda di
Barat.
Selama abad ke-16 dan ke-17, di
Barat lahir peradaban baru yang diatur dengan rasionalitas ilmiah dan ekonomi
yang berbasis pada teknologi serta penanaman modal. Sejak itu satu-satunya
ukuran kebenaran adalah metode ilmiah. Logos mengalahkan mitos. Padahal di
dalam mitos keagamaan terkandung kebenaran dan kebajikan yang tidak dapat
dijangkau oleh logos.
Tafsiran yang serba rasional atas
agama menimbulkan dua fenomena baru yang sangat khas: fundamentalisme dan
ateisme (hlm 19). Selama ini tokoh yang mengembangkan paham ateisme selalu
merujuk pada Feurbach, Karl Marx, Nietzsche, atau Freud yang muncul di abad ke-
19. Tetapi sekarang bermunculan paham ateisme baru yang dimotori terutama oleh
Richard Dawkin, Christopher Hitchens, dan Sam Haris.
Dalam karya-karya mereka akan
ditemukan argumentasi ilmiah kontemporer untuk menyerang umat beragama yang
masih mempercayai Tuhan dan campur tangan-Nya dalam sejarah. Terhadap serangan
dimaksud, buku Armstrong ini turut berdiri sebagai pembelaan terhadap
eksistensi agama-agama.
Logika dan pendekatan ilmiah, terlebih
yang mengandalkan paham empirisisme-positivisme, tidak akan pernah mampu
memotret dan menganalisis misteri kehidupan, keberagamaan, dan kebertuhanan.
Berbagai karya Armstrong secara serius berhasil menyajikan betapa agama dan
keyakinan pada Tuhan selalu hadir pada panggung sejarah dan turut memengaruhi
manusia memaknai hidupnya.
Agama, keyakinan, dan pemahaman
terhadap Tuhan senantiasa berinteraksi dengan perkembangan sejarah sebuah
masyarakat dengan segala aspeknya. Karena itu, katanya, memahami kitab suci
hanya sebatas kata-kata literernya akan menyesatkan dan mengalami reduksi,
tidak sampai pada pesan inti agama.
Di sisi lain, arogansi ilmiah dalam
memahami agama telah mendorong munculnya respons balik berupa fundamentalisme
agama. Perubahan mind-set pemahaman agama dan kehidupan di Eropa
sangat dipengaruhi oleh ekspedisi Christopher Columbus pada 1492 yang berhasil
menemukan benua baru Amerika, yang disponsori Raja Katolik Ferdinand dan
Isabella.
Berita keberhasilan ini menyebar
bagaikan wabah baru, bahwa di luar Eropa ternyata ada dunia lain yang sangat
menarik untuk dieksplorasi. Jadi, ekspedisi, eksplorasi, perpindahan penduduk
dan penyebaran informasi baru selalu melahirkan sintesa budaya baru, yang
diawali dengan masalah dan tantangan baru.
Hari ini, apa yang terjadi pada
abad ke-15 di Eropa telah merata di seluruh dunia melalui jejaring internet dan
dunia maya. Masyarakat terkondisikan untuk berani melampaui batas-batas dunia
yang diketahui. Perjumpaan dan benturan berbagai tradisi dan informasi budaya
serta agama ini telah membuat sebagian besar umat beragama gamang dan kaget (shocked).
Bahwa klaim kebenaran, keilahian,
dan surga ternyata juga dimiliki oleh kelompok umat agama lain. Sementara itu,
ada juga kelompok yang secara gigih menentang adanya Tuhan dan ingin menghapus
agama. Perasaan tidak nyaman dan terancam dalam beragama inilah akar munculnya
gerakan fundamentalisme.
Mengutip Armstrong, fundamentalisme
adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum
fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela, misalnya dengan
sangat selektif baca ayat-ayat kitab suci yang membenarkan kekerasan dan
permusuhan terhadap umat yang berbeda keyakinan (hlm 470).
Kaum fundamentalis yakin bahwa
mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiositas jenis ini
mewakili kemunduran dari Tuhan (hlm 471). Demikianlah, dunia terus berputar. Sejarah
terus bergulir merekam sepak terjang pemikiran dan perilaku manusia. Agama pun
sering kali jadi sasaran kritik dan caci maki.
Tetapi nyatanya agama tetap hidup
dan berkembang. Tuhan selalu berada di hati manusia. Ini membenarkan pandangan
yang mengatakan bahwa ”agama memiliki seribu nyawa”. Kalaupun mati satu, masih
lebih banyak yang bertahan hidup.
Orang boleh saja mengkritik
perilaku umat beragama dan berbagai institusi keagamaan yang dibangunnya, tapi
kesadaran, kebutuhan, dan keyakinan agama masih tetap menggelora. Dengan agama
seseorang mencari makna dan tujuan hidup yang lebih hakiki dan mulia.
0 komentar:
Posting Komentar