INDONESIA
yang luas dan kaya raya alamnya ini anugerah atau malapetaka? Kalau pemerintah–
dari pusat sampai daerah– tidak mampu mengatur dan mengelola, semua ini akan
menjadi fitnah, beban, dan malapetaka.
Tanpa disadari,ketidakmampuan dan
pesimisme ini sering muncul. Misalnya saja ketika muncul saran betapa urgensi
SIN (single identity number) dengan membandingkan Malaysia atau
Singapura,jawaban spontan yang muncul: Jangan bandingkan Singapura atau
Malaysia yang penduduknya kecil. Ketika muncul soal kesemrawutan lalu lintas
dan sampah di mana-mana, segera berkilah: Indonesia itu wilayahnya luas,
penduduknya banyak, jadi jangan banding-bandingkan negara lain.
Jika kita mengambil jarak lalu
memotret wajah dan perilaku bangsa ini,terutama jajaran elite politik dan
birokrasinya,yang terlihat adalah mereka itu bagaikan “jago kandang”. Merasa
hebat, galak, tetapi nyatanya tidak mampu menerima warisan dan amanat mengelola
bangsa dan negara yang demikian kaya,melimpah sumber daya alamnya. Warisan
Tanah Air yang luas ini tidak terurus dengan baik.
Bahkan, sumber alamnya dijual
dengan gampangnya kepada pemodal asing. Uangnya sebagian dibagi-bagi di
lingkaran elite politik dan penguasa. Indonesia tak ubahnya bagaikan objek
kenduri, pemerintah bagaikan makelar atau penjual harta karun warisan para
pendahulu. Dalam berbagai kunjungan ke daerah, sebut saja Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua, penggundulan hutan dan pengerukan daerah pertambangan
sangat tampak dari atas,terlebih lagi jika turun ke bawah.
Terbayang,berapa triliun harta
kekayaan kita dikuras ke luar negeri setiap bulan namun warga sekitar tetap
miskin, kesehatan buruk,pendidikan tidak maju, sementara negara terlilit utang.
Dengan logika orang awam, jadi selama ini pemerintah itu memakmurkan rakyat
atau lebih memikirkan dirinya,atau seenaknya menjual aset bangsa karena
di-bodohin kapitalis asing? Saya sendiri bukan ekonom.
Tetapi semata menggunakan nalar
awam saja.Politisi dan pemerintah itu tampaknya heboh dan sibuk, tetapi
benarkah mereka produktif menciptakan surplus buat bangsa dan negara? Akan
sangat menyedihkan kalau lembaga politik dan pemerintah kita ibarat pesawat
terbang yang putar-putar taksi di landasan pacu, tetap mengonsumsi bahan
bakar,pilot dan kru digaji, tetapi tidak naik-naik,take-off,dan terbang membawa
penumpang.
Institusi politik dan birokrasi
jangan sampai menjadi tempat penampungan layaknya lembaga filantropi
terselubung. Atau berubah menjadi semacam katalisator dan fasilitator bagi
pemburu harta karun, bukan lagi lembaga produktif yang menciptakan nilai tambah
(added value) dari modal yang ada untuk memajukan bangsa. Dengan munculnya
banyak partai politik (parpol) dan otonomisasi pemerintah daerah, mestinya
aspirasi rakyat semakin didengar dan diperhatikan pemerintah.
Idealnya parpol adalah lembaga
pejuang rakyat, bukan lapangan kerja dengan gaji tinggi namun tidak
produktif.Dengan desentralisasi diharapkan jalur birokrasi semakin efektif,
simpel, dan pelayanan terhadap rakyat kian membaik. Tetapi,lagi-lagi kenyataan
di lapangan masih jauh dari harapan. Meski nafsu ingin melangkah dan lari
tetapi kita masih terpenjara dengan seribu satu persoalan masa lalu.
Orang Jawa bilang mbulet,
mondar-mandir bingung di tempat seperti pendaki gunung tersesat kehilangan
peta. Bekal logistik menipis, cuaca mencekam, dan gelap kian mendekat. Kita
mesti segera keluar dari suasana semrawut ini. Salah satunya dengan
memberdayakan pemimpin lokal, terutama jajaran bupati dan gubernur yang proses
pemilihannya sangat mahal itu.
Kalau saja para pemimpin lokal itu
performed, mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik serta memenuhi
janji-janjinya sewaktu kampanye, maka “kebingungan” dan “kekisruhan” di tingkat
pusat akan tertolong oleh stabilitas dan kemajuan di tingkat bawah. Untuk
sementara ini memang masih sangat mengecewakan. Hanya sedikit gubernur dan
bupati yang berhasil membawa perubahan dan kemajuan pascareformasi ini.
Tetapi, ke depan rakyat mesti
bersikap cerdas dan tegas, jangan pilih bupati dan gubernur yang tidak
meyakinkan untuk membangun daerahnya.Bayangkan saja, apa jadinya dengan masa
depan bangsa ini kalau jajaran elite politik dan pemerintahnya sejak dari
tingkat pusat sampai daerah tidak bermutu? Bingung dan heboh tengkar.
Maka kekayaan negara akan semakin
cepat terkuras untuk gaji serta dikorup ramai-ramai dengan operator kolektif
antara pemodal asing dan pemegang otoritas kekuasaan dalam negeri. Dan ini
sudah lama berlangsung. Sungguh alasan yang bodoh jika negara ini jatuh miskin
karena wilayahnya luas dan rakyatnya banyak. Bukankah China dan India jauh
lebih luas lagi? (*)
0 komentar:
Posting Komentar