Terdapat
lebih dari 60 ayat dalam al-Qur'an yang berakar dari kata “kasaba”
(artinya melakukan atau mengusahakan) dan sebagian besar di antaranya merujuk
pada perhitungan balasan dari apa yang diperbuat manusia.
Dalam surat al-Zumar ayat 51, misalnya, Allah
berfirman: “Maka mereka ditimpa oleh akibat buruk dari apa yang mereka usahakan
(bimaa
kasabuu). Dan orang-orang yang zalim di antara mereka akan ditimpa
akibat buruk dari usahanya. ”Ayat ini seperti memberi sinyal bahwa memberi
keburukan atau perbuatan yang berakibat buruk kepada orang lain akan membuat
pelakunya juga menerima balasan buruk.
Demikian pula dengan perbuatan baik. Banyak
sekali ayat dalam al-Qur'an yang menunjukkan bahwa pemberi kebaikan akan
menerima kebaikan, bahkan berlipat ganda dan dengan bonus luar biasa. Memberi
dalam Islam disebut dengan berbagai istilah. Ada zakat, infak, sedekah, amal
saleh, dan lain-lain. Pemberian yang dianggap dalam kategori itu pun beragam,
mulai dari harta sampai memberi minum seekor anjing atau memberikan sesungging
senyuman.
Dalam sebuah hadis misalnya disebutkan bahwa
memberi senyum pun adalah sedekah. Ini artinya memberi senyum akan membuatmu
menerima pahala. Pahala secara umum diartikan sebagai balasan Tuhan yang akan
diterima kelak di akhirat atas kebaikan yang diperbuat di dunia. Dosa
sebaliknya adalah akibat buruk yang diterima di akhirat atas perbuatan buruk di
dunia. Pahala dan dosa seperti sebuah “janji” yang akan disongsong kelak.
Namun sesungguhnya tak perlu menunggu waktu kiamat untuk tahu bagaimana nikmatnya pahala ataupun sakit dan tak nyamannya siksa akibat dosa itu. Sekarang pun keduanya bisa dirasakan. Pahala dalam bentuk kepuasan batin, kebahagiaan, dan kenyamanan hati didapatkan dari memberi kebaikan; demikian juga dengan siksa, dia mengejawantah dalam bentuk kesumpekan, kegelisahan, ketidaknyamanan hati, pikiran, jiwa bahkan raga setelah melakukan perbuatan buruk terhadap orang lain.
Namun sesungguhnya tak perlu menunggu waktu kiamat untuk tahu bagaimana nikmatnya pahala ataupun sakit dan tak nyamannya siksa akibat dosa itu. Sekarang pun keduanya bisa dirasakan. Pahala dalam bentuk kepuasan batin, kebahagiaan, dan kenyamanan hati didapatkan dari memberi kebaikan; demikian juga dengan siksa, dia mengejawantah dalam bentuk kesumpekan, kegelisahan, ketidaknyamanan hati, pikiran, jiwa bahkan raga setelah melakukan perbuatan buruk terhadap orang lain.
Rumus
Matematika Memberi
Dalam rumusan matematika, bila sesuatu
dikeluarkan, sesuatu itu akan berkurang atau dalam istilah Arab tajaffa
yang arti harfiahnya adalah mengering. Lima diambil dua, maka tigalah sisanya.
Namun apakah ini berlaku untuk konsep memberi yang sesungguhnya? Memberi bisa
dilihat dari dua sisi, sisi agama dan psikologis. Dari sisi agama, memberi,
khususnya kebaikan, sesungguhnya justru melipatgandakan kebaikan si pemberi.
Bahkan dalam Alquran disebutkan
hitungan-hitungan angka berlipatnya kebaikan. Kebaikan satu akan berbalas 100.
Logika memberi tapi tidak mengurangi bisa dijelaskan dengan konsep tasawuf,
tajalli,
melimpahnya apa yang dimiliki Tuhan tanpa mengurangi apa yang dimiliki-Nya.
Tuhan menciptakan makhluk, memberikan kehidupan kepada mereka, semua itu tidak
membuat-Nya kehilangan, tapi justru dengan memberikan limpahan menjadikan-Nya
menerima sesuatu yang lain, yaitu terbukanya tabir Tuhan sebagai Tuhan pencipta
yang “tersembunyi” (kanz makhfi) sebagaimana
disebutkan dalam sebuah hadis Qudsi.
Di sini ada timbal balik, memberi tapi pada saat yang sama menerima. Demikian pula dengan memberikan harta atau bentuk kebaikan lain. Bila kita renungkan, memberikan harta kita dalam Islam dikatakan sebagai menyucikan harta yang dimiliki. Secara teologis pun sudah ditegaskan bahwa tak ada yang “gratisan” ketika mengeluarkan harta. Sesungguhnya itu bukan untuk orang lain, tapi untuk kebaikan diri sendiri.
Di sini ada timbal balik, memberi tapi pada saat yang sama menerima. Demikian pula dengan memberikan harta atau bentuk kebaikan lain. Bila kita renungkan, memberikan harta kita dalam Islam dikatakan sebagai menyucikan harta yang dimiliki. Secara teologis pun sudah ditegaskan bahwa tak ada yang “gratisan” ketika mengeluarkan harta. Sesungguhnya itu bukan untuk orang lain, tapi untuk kebaikan diri sendiri.
Perhatikanlah perbedaan air yang menggenang
dan yang mengalir. Air yang menggenang apalagi menumpuk diam dalam suatu wadah
lama-kelamaan air akan keruh dan menjadi sarang bibit nyamuk yang bisa membawa
penyakit demam berdarah, ditambah lagi baunya tak sedap. Tapi lihatlah air yang
mengalir.
Dia sebaliknya bukan saja lebih bersih,
melainkan juga membersihkan kotoran-kotoran yang dilewatinya dan tidak berbau.
Pantaslah ada pepatah Arab yang berbunyi, inni ra’aytu wuquf al ma’ yufsiduhu in saala
thaba wa’in lam yajri lam yathib, artinya sesungguhnya aku saksikan
air yang berhenti itu menjadi keruh dan jika mengalir dia akan jernih.
Alirkanlah apa yang dimiliki kepada orang lain, niscaya itu akan membawa kebaikan bukan hanya pada orang lain, tapi juga kepada dirimu sendiri. Perhatikanlah matahari dan bulan, malam dan siang, kaya dan miskin, senyap dan riuh. Masing-masing seakan tak berhubungan dan berbeda, bahkan seakan-akan yang satu lebih tinggi atau penting daripada yang lain. Tapi apakah ada siang tanpa malam? Apakah ada kaya tanpa miskin? Apakah ada riuh tanpa senyap? Apakah ada garis lurus tanpa lengkung? Tak ada.Yang satu berutang pada yang lain dan harus berterima kasih satu sama lain.
Alirkanlah apa yang dimiliki kepada orang lain, niscaya itu akan membawa kebaikan bukan hanya pada orang lain, tapi juga kepada dirimu sendiri. Perhatikanlah matahari dan bulan, malam dan siang, kaya dan miskin, senyap dan riuh. Masing-masing seakan tak berhubungan dan berbeda, bahkan seakan-akan yang satu lebih tinggi atau penting daripada yang lain. Tapi apakah ada siang tanpa malam? Apakah ada kaya tanpa miskin? Apakah ada riuh tanpa senyap? Apakah ada garis lurus tanpa lengkung? Tak ada.Yang satu berutang pada yang lain dan harus berterima kasih satu sama lain.
Dengan demikian apakah ada alasan untuk
merendahkan satu di atas yang lain? Mungkin saja siang mengklaim dia lebih
berjasa daripada malam karena telah memberi kesempatan kepada manusia dan
makhluk hidup untuk mencari penghidupan. Tapi jangan lupa bahwa tanpa malam,
manusia tak akan ada kesempatan untuk merebahkan diri beristirahat untuk menyongsong
esok siang.
Sang kaya mungkin akan berbangga bahwa dialah
yang paling mulia karena memberi dan menyantuni, tapi jangan lupa tanpa mereka
yang disebutnya miskin, dia pun takkan bisa apa-apa. Bahkan tanpa mereka, siapa
yang akan menyebut mereka “kaya”? Karenanya, memberi sesungguhnya adalah
menerima.
Memberi kepada orang lain sesungguhnya adalah
membuat diri sendiri menerima sesuatu yang sering kali jauh lebih besar dan
berharga dari yang diberikan. Tak ada orang yang jatuh miskin karena memberi dan
tak ada orang yang kehilangan senyum bahagia karena memberi senyuman kepada
sesama. Mari bederma dengan apa saja yang kita punya.(*)
Komaruddin Hidayat
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar