MESKI
tidak sepenuhnya benar, mendidik anak itu mirip menyemai benih pohon. Misalnya
Anda ingin menanam pohon kurma yang benih atau bibitnya diambil dari tanah
Arab,Anda perlu menganalisis dan mengondisikan tanah serta cuaca yang cocok
sebelum benih kurma ditanam di Indonesia.
Logika ini juga berlaku dalam dunia
pendidikan,meskipun bibit pohon tidak persis sama dengan anak manusia. Banyak
anak yang memiliki bakat hebat, tapi karena kondisi sekolahnya tidak mendukung,
anak dimaksud tidak tumbuh optimal. Bakatnya terpendam, bahkan mati.
Sebaliknya,anak yang kepintaran dan bakatnya sedang-sedang saja, tapi karena
lingkungan sekolahnya bagus, anak tersebut tumbuh sebagai anak yang mandiri dan
sukses. Berdasarkan argumen di atas, kemudian muncul formula bahwa apa yang
disebut school culture sangat vital perannya bagi sebuah proses pendidikan.
Sayangnya selama ini kita lebih sibuk berbicara kurikulum, jumlah ketersediaan
guru, tunjangan guru, dan target kelulusan dalam ujian nasional; sedikit sekali
berbicara tentang budaya sekolah.
Padahal akhirakhir ini pemerintah
mulai berbicara pentingnya pembentukan karakter. Tanpa budaya sekolah yang
bagus akan sulit melakukan pendidikan karakter bagi anakanak didik kita. Jika
budaya sekolah sudah mapan, siapa pun yang masuk dan bergabung ke sekolah itu
hampir secara otomatis akan mengikuti tradisi yang telah ada. Contoh yang
paling nyata adalah budaya bersih dan hidup tertib di Singapura. Tidak hanya
sebatas school culture.Di sana bahkan sudah tumbuh city culture, yang antara
lain ditandai hidup bersih, budaya antre, dan disiplin. Orang Indonesia yang
tidak terbiasa hidup bersih dan disiplin berlalu lintas, begitu masuk Singapura
tiba-tiba menjadi berubah, menyesuaikan dengan kultur yang ada. Budaya
sekolah,atau lebih luas lagi budaya pendidikan, yang dimaksud dalam tulisan ini
secara sangat menarik dan gamblang dilukiskan oleh A Fuadi dalam novelnya
Negeri Lima Menara.
Novel ini ditulis berdasarkan kisah
nyata, entah sudah berapa kali mengalami cetak ulang, sampai-sampai pernah
diangkat dalam acara Kick Andy Show di Metro TV dan sekarang tengah dalam
persiapan diangkat dalam film layar lebar. Di samping Laskar Pelangi, novel ini
sangat bagus menggambarkan betapa vitalnya kultur pendidikan bagi proses
pendidikan siswa. Secara pribadi saya menyarankan agar para pendidik
membacanya. Budaya sekolah adalah sebuah pengondisian lingkungan berdasarkan
konsep yang jelas,lalu dijaga dan dipupuk ibarat kita membuat hutan kota
sehingga tumbuh kokoh, tempat orang berlindung mencari keteduhan dan menghirup
oksigen. Dalam novelnya Fuadi melukiskan pengalaman pribadinya ketika belajar
di Pesantren Gontor,Ponorogo,Jawa Timur.
Dia masuk ritme kehidupan pondok
selama enam tahun siang dan malam, mirip ketika kita bergabung dalam adegan
tawaf, tak ada pilihan lain selain mengikuti gerakan massa memutari Kakbah.
Siapa pun yang pernah belajar di Gontor akan mengalami bagaimana belajar
berbicara Arab atau Inggris yang berlangsung setiap saat, sampai-sampai yang
berbicara bahasa Indonesia akan kena hukuman. Hanya dalam waktu setahun mereka
sudah terbiasa berbicara dan pidato dalam dua bahasa itu, apa pun mutunya
karena yang penting adalah keberanian dan kebiasaan berbicara dalam bahasa
asing, soal gramatika belakangan. Ini contoh kecil elemen sebuah budaya sekolah
di mana kurikulum pelajaran resmi yang ditetapkan pemerintah sudah lebur dalam
ritme kehidupan sehari-hari.
Sebuah budaya mengasumsikan
kehidupan yang berjalan natural,tidak lagi dirasakan sebagai beban. Karena itu
merancang budaya sekolah mesti memikirkan dan menyiapkan pula kehidupan seni
dan olahraga serta ruang kebebasan kreasi anak. Dengan demikian, proses
pendidikan dan beban kurikulum sekolah tidak dirasakan sebagai beban, melainkan
tantangan layaknya dalam sebuah permainan olahraga yang penuh semangat, tapi
tetap ada wasit ataupun peraturan baku.Wasit yang bagus adalah berupa kesadaran
menjaga mutu permainan yang datang dari para pemain sendiri. Gambaran itu
sangat menarik dan begitu jelas disajikan dalam Negeri Lima Menara.
Saya sendiri mengamati beberapa
sekolah yang berhasil membangun school culture yang bagus dan mapan. Di Sekolah
Madania, Parung, Bogor, Jawa Barat, misalnya, para siswa sejak SMP sampai SMU
memiliki tradisi membaca buku-buku bahasa Inggris dan melakukan riset
kepustakaan melalui internet lalu dituliskan dalam sebuah paper singkat.Tradisi
baca tulis dalam bahasa Inggris ini telah membudaya sehingga beberapa alumni
Madania yang sudah kuliah baik di dalam maupun di luar negeri ketika ada tugas
riset dan menulis makalah tidak merasakannya sebagai beban yang memberatkan.
Masa-masa sekolah adalah sebuah formative years, masa pembentukan karakter yang
sangat menentukan fondasi moral-intelektual seseorang seumur hidupnya.
Anak-anak yang sukses di bangku
kuliah akan sangat ditentukan bagaimana kualitas dan kebiasaan belajar serta
hidupnya di usia sebelumnya. Di kampus saya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
siapa saja anak-anak yang akan sukses sudah mulai terbaca dengan mengamati
asal-usul sekolahnya dan hasil seleksi masuknya.Dalam hal karakter, perguruan tinggi
hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah terbentuk sebelumnya. Perguruan tinggi
memang berhasil mewisuda mahasiswanya sebagai seorang sarjana, namun saya ragu,
benarkah sistem perkuliahan yang ada mampu membentuk karakter seseorang? (*)
0 komentar:
Posting Komentar