Nilai-nilai Perennial Agama untuk Masyarakat dan Pemerintah Bebas Korupsi: Timbal Balik antara Teori dan Praktek



Amin Abdullah

Pengantar
Semua agama, secara normatif, memberitahu dan mengajarkan para pengikutnya untuk tidak berlaku tidak baik, untuk tidak mencuri, membunuh, berbohong dan begitu seterusnya. Ten Commandements atau Sepuluh Perintah Tuhan sangat dikenal oleh berbagai agama. Kalau tidak sepuluh-puluhnya, paling tidak sebagian dari sepuluh itu pasti menjadi nilai dasar dari agama apapun juga. Hal-hal fundamental dalam kehidupan seperti itulah yang kemudian belakangan disebut nilai perennial agama.

Penomena korupsi di tanah air bukanlah hal baru. Sejak di awal kemerdekaan Bung Hatta pernah menyebutnya sebagai “budaya korupsi”, karena itu merupakan praktek keseharian masyarakat dimanapun mereka berada. Kebiasaan memberi “amplop” di pesantren, sebagai misal, merupakan budaya ungkapan ucapan terima kasih yang disampaikan oleh (mantan) santri kepada kyai di pesantren. Budaya ucapan terima kasih yang disertai pembagian amplop seperti ini lalu berlanjut di seluruh level kehidupan masyarakat, termasuk di level birokrasi.

Pendidikan agama di tanah air, menurut kesan penulis, belum secara sungguh-sungguh memasuki pendidikan anti korupsi. Nilai-nilai perennial memang telah dikenalkan kepada siswa dan mahasiswa, lewat ayat-ayat Qur’an dan periwayatan hadis-hadis, tetapi tidak sampai pada detil persoalan yang menjelaskan bagaimana metode yang biasa dipakai, proses dan prosedur bagaimana korupsi itu dilakukan oleh masyarakat. Karenanya, nilai perennial agama tidak sanggup membangkitkan etos anti korupsi pada anak didik. Maka ketika siswa atau mahasiswa keluar dari perguruan tinggi dan memasuki dunia kerja, lebih-lebih perguruan tinggi yang masih menganut aliran barbaric over specialization (dunia matematik dan teknik, hanya tahu matematik dan teknik, dunia biologi atau kedokteran hanya tahu biologi dan kedokteran dan sama sekali tidak mengenal sosiologi (korupsi)), maka akan sangat sulit sekali memberi gambaran begaimana korupsi itu dipraktekkan oleh dunia kekuasaan (Birokrasi, Militer, Partai), perusahaan, dan pengguna jasa lainnya serta masyarakat itu sendiri.

Atau mungkin pendidikan anti korupsi tidak perlu diberikan di sekolah atau perguruan tinggi, karena praktek korupsi dan praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada umumnya terjadi di pusat-pusat kekuasaan baik pemerintah (dengan puluhan departemen yang ada) maupun perusahaan swasta, partai politik, bahkan belakangan merembet masuk Dewan Perwakilan Rakyat.[1] Singkatnya di wilayah pelayanan publik. Semua pejabat publiklah yang perlu mendapat sentuhan pendidikan anti korupsi dengan berbagai pendekatannya yang komprehensif. Adalah merupakan kewajiban bagi setiap instansi pemerintah dan swasta untuk melakukan pendidikan anti korupsi dengan materi yang dirancang secara matang sebelumnya.

Namun, justru pembahasan, diskusi dan pengawasan wilayah publik inilah yang sangat dirasakan menjadi titik paling lemah di lingkungan umat beragama, lebih-lebih aliran Sunni di lingkungan umat Islam. Hasil penelitian Federspiel yang dipublikasikan sepuluh tahun yang lalu, pada tahun 1994, menyebutkan bahwa:

1. Islam Sunni tradition is important to Indonesian Muslim writers. They draw consistently on the sources of that tradition, i.e. the Qur’an, the model of the prophet, and works of religious scholars for the entire length of Islamic history.

2.   …. 3. ….  4. ….

5.  A revival movement (Dakwah) is underway in Islam and Indonesian Muslims are affected by it. That movement has affected the Indonesian Muslim community appreciably on matters of worship and basic religious obligation, but has not, as in some other countries, much affected public policy or public morality.[2]

Jika hasil penelitian ini benar, maka perlu shifting paradigm yang cukup radikal dalam sistem pendidikan agama di tanah air. Dari corak pendidikan yang semata-mata bercorak confessional (memperteguh dan memperkokoh iman) ke pendidikan agama yang juga menaruh perhatian dan kritis terhadap wilayah publik (paradigma kritis). Pendidikan agama selama ini dirasakan hanya mengambil alih tugas yang biasa dilakukan oleh masyarakat luas dan organisasi sosial keagamaan (majlis dakwah, majlis tabligh, pengajian), kemudian di ulang kembali (di daur ulang) oleh Perguruan Tinggi supaya lebih sistematis. Perguruan Tinggi yang semestinya lebih melakukan “Penelitian” (Search & Research) dan “Pengembangan Keilmuan” (Contribution to Knowledge), kemudian berbelok arah menjadi sekedar “Transfer of Knowledge” yang kemudian   terjadi duplikasi dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat.[3]

Wilayah “publik” yang menjadi garapan utama Perguruan Tinggi untuk diteliti, dianalisis, dikritik, diperbaharui, kemudian diabaikan oleh Perguruan Tinggi Agama.  Padahal dalam kurun waktu tertentu para alumni Perguruan Tinggi dan Perguruan Tinggi Agama akan menjadi tokoh-tokoh dan pejabat-pejabat publik sejak dari KPU, Panwaslu, Pengurus Partai, anggota DPR Pusat dan di berbagai Daerah di tanah air, PNS di berbagai Departemen, khususnya Departemen Agama, LSM dan dosen dan begitu seterusnya.

Langkah awal yang perlu ditempuh oleh program mainstreaming pendidikan agama anti korupsi berarti adalah menggeser orientasi, fokus perhatian, titik bidik  pendidikan agama yang selama ini lebih ke arah ke dalam (confessional) ke arah yang lebih ke luar, memasuki dan memperhatikan urusan publik. Dan perubahan ini tidak disukai oleh masyarakat sunni, karena hal itu dianggap bukan wilayah “agama” yang sesungguhnya. Disinilah letak dilemmanya.

Apa itu korupsi?
Kata ‘korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang berarti sesuatu yang rusak atau hancur. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata ‘korupsi’ dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti frasa ‘a corrupt manuscript’ (naskah yang rusak) dan dapat juga untuk menyebut kerusakan tingkah laku atau tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dapat dipercaya (dishonest). Selain itu korupsi juga berarti tidak bersih (impure).[4]

Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli menyangkut terminologi korupsi Syed Hussein Alatas menegaskan bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan”.[5] Dalam Webster’s Third New International Dictionary, korupsi di definisikan sebagai “ajakan (dari seseorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”.[6]

Menurut Robert Klitgaard korupsi meliputi tindakan berupa (1) memungut uang atas pelayanan yang sudah seharusnya diberikan, (2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan (3) tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa.[7] Bank Dunia menganut definisi klasik yang singkat tapi luas cakupannya yang memandang korupsi sebagai the abuse of public office for private gain ‘penyalahgunaan jabatan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi’.[8]

Dengan demikian unsur pokok korupsi itu sesungguhnya tercermin dalam adanya (1) perbuatan menyimpang dari norma, (2) perbuatan itu menimbulkan kerugian kepada negara atau masyarakat meskipun tidak selalu berupa kerugian finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau tidak berjalannya sistem hukum, (3) adalah penyalahgunaan wewenang.

Korupsi adalah menyangkut urusan publik : enam ciri korupsi
Intelektual muslim wilayah Asia Tenggara, yang menekuni isu korupsi cukup intens, Alatas menengarai ada 6 ciri tindak korupsi: (1) adanya pengkhianatan kepercayaan, (2) keserbarahasiaan, (3) mengandung penipuan terhadap badan publik atau masyarakat, (4) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (5) diselubungi dengan bentuk-bentuk pengesahan hukum, (6) terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.[9]

Dari 6 ciri tersebut, tindak korupsi memang sangat kompleks, interrelated, bahkan intricate. Ada percampuran antara pengkhianatan amanah (moral), perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM), mendahulukan kemaslahatan umum (kepentingan publik), yang berhadapan langsung dengan kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan pribadi (vested interest). Dengan demikian, wilayah birokrasi, kekuasaan (power), hukum, moral, psikologi, sosiologi, kultur, campur baur di situ. Mengingat kompleknya persoalan korupsi, maka pendidikan agama anti korupsi paling tidak mencakup item-item tersebut. Sekedar memperjelas bagaimana rumitnya persoalan di lapangan dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Pejabat pemerintah selaku penyelenggara negara dalam melayani masyarakat (urusan publik) dan melaksanakan pembangunan selalu membutuhkan bantuan pihak lain (rekanan/pemborong) untuk memfasilitasi seperti instalasi listrik, air, telekomunikasi, pembangunan gedung publik, jalan, jembatan dan konstruksi bangunan lainnya hingga pada bentuk jasa layanan informasi, penelitian, data survey serta konsultasi keahlian. Ini semua dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah (government procurement) dimana segala ketentuannya telah diatur dalam Keppres No. 61 Tahun 2004 jo. Keppres No. 80 Tahun 2003 serta diatur pula dalam berbagai undang-undang seperti UU. No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan juga UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli yang mengharuskan proses tersebut dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, persaingan sehat, akuntabel dan adil bagi semua pihak.

Mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintahan ini sesungguhnya sudah cukup ketat procedurnya. Dari sistem pelelangan umum, pelelangan terbatas atau penunjukan langsung. Itupun masih ditambah dengan model penyeleksian peserta dengan cara prakualifikasi atau pasca kualifikasi dengan metode satu sampul, metode dua sampul atau metode dua tahap. Sungguh rumit dan melelahkan.[10] Namun kenapa masih saja banyak terjadi KKN yang dilakukan oleh “sebagian” birokrat secara berjamaah dengan para rekanan.[11] Mengapa “setinggi-tinggi pagar dibuat, masih bobol juga”?.

Berbagai cara yang umum dilakukan para koruptor untuk mengambil uang negara. Pertama adalah “main mata” antara pejabat pemerintah (Birokrasi) dengan rekanan untuk merekayasa hasil pemenang tender, selanjutnya rekanan mengirim “amplop” pada birokrat melalui rekanan saudara, anak, istri, bahkan mungkin tetangga (teknik penyuapan). Kedua, dengan menaikkan nilai-nilai barang atau jasa (mark-up), harga per-unit yang seharusnya 1000 dinaikkan menjadi 1200 dan akhirnya kelebihan harga digunakan untuk dibagi rame-rame antara mereka (aspek moral; ketidakjujuran).

Ketiga, para birokrat tadi (atau saudara atau temannya) menyamar menjadi perantara alias makelar dari proyek yang dia pimpin sendiri. Jelas saja mereka punya anggapan, makelar ‘kan harus dapat uang komisi (sosiologi kekerabatan). Keempat, cara yang paling kasar digunakan yaitu para birokrat berlakon sebagai  pengguna sekaligus penyedia (rekanan) proyek, sejak dari batu bata, pasir, semen, besi, genteng, peralatan listrik dan seterusnya. Tentu saja tak ada yang bisa menghalangi kalau dia mau berbuat seperti itu (keserakahan).

Dengan ilustrasi betapa kompleks dan rumitnya persoalan di lapangan, maka Alatas, lalu mempertajam pisau bedah seluk beluknya (know-how) korupsi lebih dalam. Dia menjelaskan ada 7 (tujuh) jenis korupsi.

(1)  Korupsi transaktif, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbal balik antara pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama. Korupsi jenis ini bisanya terjadi antara usahawan dengan pejabat pemerintah atau anggota masyarakat dengan pemerintah.

(2)  Korupsi ekstortif (memeras), yaitu bentuk korupsi dimana pihak pemberi dipaksa melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam diri, kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang lain baginya.

(3) Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan.

(4)  Korupsi investif, yaitu korupsi berwujud pemberian sesuatu ada kaitan langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan dimasa depan.

(5) Korupsi nepotistik (perkerabatan), yaitu korupsi berupa penunjukan tidak sah terhadap teman atau kerabat untuk menempati posisi dalam pemerintahan atau memberi perlakuan istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku.

(6) Korupsi otogenik, yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar.

(7) Korupsi suportif (dukungan), yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada.[12]

(8) Korupsi legal, yaitu suatu kebijakan yang secara hukum adalah sah karena sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, namun sesungguhnya pada dasarnya merupakan suatu korupsi bila dilihat dari sudut visi penyelenggaraan kepemerintahan yang baik. Termasuk dalam kategori ini adalah apa yang sering dengan korupsi demokratis, yaitu kebijakan yang disahkan oleh legislatif, namun bertentangan dengan visi yang benar dari kepemerintahan yang baik (good governance). Misalnya penganggaran rumah dinas pejabat yang jauh lebih besar dari anggaran pembangunan gedung sekolah dasar.[13]

Pendidikan (Agama) sebagai Alternatif Pemberantasan Korupsi
Berbicara mengenai moralitas dan upaya penanaman nilai-nilai luhur, tidak bisa lepas dari pendidikan, mengingat pendidikan mempunyai dua fungsi esensial, yaitu: menumbuhkan kreativitas dan menanamkan/mensosialisasikan nilai-nilai luhur. Pendidikan perlu menempatkan manusia dalam kedudukan sentral, dan menempatkan lingkungan sebagai suatu sistem dengan manusia sebagai pusatnya (Noeng Muhajir, 1983:11) manusia pada hakekatnya merupakan pribadi yang berkembang mengikuti hukum dan kekuatan kodrati yang telah dianugerahkan kepadanya. Perkembangan pribadi manusia dapat terhambat atau berjalan dengan baik melalui stimuli lingkungannya. Fungsi pendidikan adalah memberikan kondisi yang kondusif terhadap perkembangan segala aspek kepribadian manusia. Oleh karena itu, pendidikan bertugas mewujudkan agar dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki, manusia dapat hidup mandiri dan bertanggungjawab atas kesejahteraan orang lain.

Arti penting pendidikan bagi pembangunan moral bangsa telah semakin disadari, baik di negara berkembang maupun negara yang telah maju. Pemerintah, melalui beberapa pendekatannya telah mengusahakan beberapa jenjang dan jenis pendidikan. Dalam rangka merubah, membentuk, dan membina sikap moral dan perilaku masyarakat agar lebih efektif bagi pembangunan, lebih tepat jika pemerintah meninjau segi pendidikan.

Analisis mengenai arti penting pendidikan secara substansial dapat ditinjau dari muatan kurikulum yang tercakup didalamnya, yang menurut Bloom dapat mencakup tiga ranah kejiwaan, yaitu: kognisi, afeksi, dan psikomotor. Apapun jenis bidang studi yang dipelajari, idealnya mencakup tiga ranah tersebut secara proporsional. Secara garis besar, kurikulum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hidden curriculum dan overt curriculum. Melalui hidden curiculum dapat diupayakan dengan memberikan suri tauladan yang menampakkan sikap dan perilaku anti korupsi. Sementara itu, melalui overt curriculum dapat diupayakan melalui kurikulum yang dikemas dengan mengintegrasikan materi-materi anti korupsi, yang dapat dimasukkan mulai tingkat pendidikan TK sampai Perguruan Tinggi.

Relevansi pendidikan antikorupsi didasarkan keyakinan bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan, melalui tindakan kuratif berupa penegakkan hukum, preventif dan preservatif. Upaya preventif dimaksudkan guna mencegah internalisasi sikap permisif atas tindakan koruptif, sementara upaya preservatif guna memberi perlindungan dan kemampuan resistensi bagi individu atau elemen sosial yang sudah menyerap nilai-nilai antikorupsi.

Program ini diharapkan ikut membuka (kembali) wacana revisi ”menu kurikulum” ditanah air. Pengubahan kurikulum, selain terkait dengan tuntutan agar lebih memberi penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, idealnya juga harus mempromosikan nilai-nilai kejujuran, toleransi, keiklasan dan sikap tidak mudah menyerah demi kebaikan. Nilai-nilai itu kini kian tergerus oleh perilaku koruptif, konsumtif, dan permisif terhadap tindakan tercela seperti korupsi yang dipertontonkan pejabat publik selama ini.

Kusuma Andrianto menulis artikel Pendidikan awal ’Economics of Corruption’ di Pembelajar.Com.[14] menyarankan agar pendidikan tentang korupsi dilakukan sejak dini. Andrianto menulis ”Ambil contoh misalnya pengalaman negara Kamboja (Integrating Anti-Corruption into School Curricula, hal. 53-59) yang mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi ke dalam pendidikan di negara tersebut. Mirip dengan pengalaman Amerika Serikat (Ethics at School: A Model Programme, hal. 38-44) dan Italia (Taking Anti Corruption Heroes into School, hal. 25 – 29). Tulisan tentang tiga negara yang masing-masing mewakili tiga benua yang berbeda ini, Asia, Amerika, dan Eropa, menunjukkan betapa kewaspadaan akan bahaya korupsi memang seyogyanya diusahakan sejak usia sedini mungkin dalam lingkungan keluarga.”

Penutup
Dari uraian singkat mengenai Pendidikan (Agama) Antikorupsi sebagai pengejewantahan dari nilai-nilai perennial agama di alam praktek pendidikan di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
Korupsi merupakan masalah yang sifatnya sangat kompleks, sehingga memerlukan pemecahan secara sistematik dalam berbagai bidang pembangunan.

Dilihat dari fungsinya, pendidikan dapat menjadi salah satu alternatif pemecahan dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, dengan mengintegrasikan materi-materi anti korupsi ke dalam kurikulumnya.

Pendidikan agama yang diolah kembali menjadi pendidikan etika-sosial yang menekankan perlunya akutabilitas publik baik dalam rancangan pembelajaran maupun implementasinya dapat menjadi alternatif dalam menyelesaikan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat kita, termasuk masalah Pemberantasan Korupsi.
Upaya hukum sebagai tindakan legal-formal dari institusi peradilan tetap berjalan dan perlu terus berkesinambungan, tetapi secara ideologis-kultural jalur pendidikan memang tidak bisa diabaikan, lebih-lebih pendidikan agama.


Disampaikan workshop “Mainstreaming Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi Islam Indonesia, UIN Jakarta, 30 November 2005.

[1] Pos Info 2-8 September 2004 memberitakan menurut Kepala Pusat Hukum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, kasus dugaan korupsi anggota DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota terjadi hampir di semua propinsi. Melibatkan lebih dari 300 anggota Legislatif dengan kerugian negara ratusan milyar. Selama enam bulan terakhir total korupsi yang dilakukan anggota DPRD tercatat lebih dari Rp. 394 milyar, di 59 DPRD.

[2] Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, New York: Cornel University, 1994, h. 138.

[3] George Junus Aditjondro bahkan mengusulkan lebih dari itu. Para anggota DPR dan penegak hukum harus melakukan atau mempunyai staf yang bisa melakukan riset di lapangan untuk mengetahui dan mendeteksi bagaimana korupsi itu dilakukan secara oligarkis antara pejabat pemerintah, militer, partai politik. Lebih lanjut Membangun Gerakan Anti Korupsi dalam Perspektif Pendidikan, Andar Nubowo (Ed.), Yogyakarta, UMY, 2004, h.79.

[4] Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1989, h. 266.

[5] Alatas, Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi, alih bahasa Nitwono, Jakarta: LP3ES, 1987, h. viii.

[6] Dikutip dari Syamsul Anwar “Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: Perspektif Studi Hadis”, Hermenia, Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2005, h. 108.

[7] Robert Klitgaard dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, alih bahasa Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor dan Partnership for Government Reform di Indonesia, 2002, h.3.

[8] Lihat Syamsul Anwar, op.cit.

[9] Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al Ghozie Usman, Jakarta: LP3ES, 1975, h.13.

[10] Meskipun tidak menangani secara langsung, penulis sebagai Rektor memahami betul betapa rumit dan melelahkannya proses dan prosedur yang harus dilakukan panitia lelang ketika melakukan pelelangan beberapa item pekerjaan yang didanai oleh IDB (Islamic Development Bank).

[11] Penulis mendapat kesempatan mengikuti Konferensi Internasional Anti Korupsi di Seol, Korea Selatan, 2003 atas sponsor Partnership. Dari sekian puluh paralel sesi yang dijadwalkan oleh panitia, penulis memilih sesi yang membahas “government procument”. Luar biasa konferensi ini, karena dalam
4 hari, yang setiap hari diawali Plenary Session dan kemudian diikuti Parallel Session yang membahas puluhan makalah dari para pembicara internasional mendiskusikan bagaimana korupsi dilakukan dan dikaji secara akademik, untuk kemudian disosialisasikan ke seluruh negara peserta konferensi.

[12] Alatas, Ibid, h. ix-x, op.cit, h. 109.

[13] Syamsul Anwar, Headline Harian Kompas tanggal 26 Nopember 2005 menurunkan berita rencana (?) gaji Wakil Presiden Republik Indonesia yang masih tergolong miskin, dianggap tidak wajar, karena tidak begitu jauh dari gaji Presiden Amerika Serikat yang kaya raya. Berita tersebut kemudian segera diralat keesokan harinya, Kompas, 27 Nopember 2005.

[14] Lihat juga KOMPAS Minggu, 13 April 2005.

0 komentar:

Posting Komentar