Amin Abdullah
Pengantar
Semua agama, secara normatif, memberitahu dan
mengajarkan para pengikutnya untuk tidak berlaku tidak baik, untuk tidak
mencuri, membunuh, berbohong dan begitu seterusnya. Ten Commandements atau
Sepuluh Perintah Tuhan sangat dikenal oleh berbagai agama. Kalau tidak
sepuluh-puluhnya, paling tidak sebagian dari sepuluh itu pasti menjadi nilai
dasar dari agama apapun juga. Hal-hal fundamental dalam kehidupan seperti
itulah yang kemudian belakangan disebut nilai perennial agama.
Penomena korupsi di tanah air bukanlah hal baru. Sejak
di awal kemerdekaan Bung Hatta pernah menyebutnya sebagai “budaya korupsi”,
karena itu merupakan praktek keseharian masyarakat dimanapun mereka berada.
Kebiasaan memberi “amplop” di pesantren, sebagai misal, merupakan budaya ungkapan
ucapan terima kasih yang disampaikan oleh (mantan) santri kepada kyai di
pesantren. Budaya ucapan terima kasih yang disertai pembagian amplop seperti
ini lalu berlanjut di seluruh level kehidupan masyarakat, termasuk di level
birokrasi.
Pendidikan agama di tanah air, menurut kesan penulis,
belum secara sungguh-sungguh memasuki pendidikan anti korupsi. Nilai-nilai
perennial memang telah dikenalkan kepada siswa dan mahasiswa, lewat ayat-ayat
Qur’an dan periwayatan hadis-hadis, tetapi tidak sampai pada detil persoalan
yang menjelaskan bagaimana metode yang biasa dipakai, proses dan prosedur
bagaimana korupsi itu dilakukan oleh masyarakat. Karenanya, nilai perennial
agama tidak sanggup membangkitkan etos anti korupsi pada anak didik. Maka
ketika siswa atau mahasiswa keluar dari perguruan tinggi dan memasuki dunia
kerja, lebih-lebih perguruan tinggi yang masih menganut aliran barbaric over
specialization (dunia matematik dan teknik, hanya tahu matematik dan teknik,
dunia biologi atau kedokteran hanya tahu biologi dan kedokteran dan sama sekali
tidak mengenal sosiologi (korupsi)), maka akan sangat sulit sekali memberi
gambaran begaimana korupsi itu dipraktekkan oleh dunia kekuasaan (Birokrasi,
Militer, Partai), perusahaan, dan pengguna jasa lainnya serta masyarakat itu
sendiri.
Atau mungkin pendidikan anti korupsi tidak perlu
diberikan di sekolah atau perguruan tinggi, karena praktek korupsi dan praktek
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) pada umumnya terjadi di pusat-pusat
kekuasaan baik pemerintah (dengan puluhan departemen yang ada) maupun
perusahaan swasta, partai politik, bahkan belakangan merembet masuk Dewan
Perwakilan Rakyat.[1] Singkatnya di wilayah pelayanan publik. Semua pejabat
publiklah yang perlu mendapat sentuhan pendidikan anti korupsi dengan berbagai
pendekatannya yang komprehensif. Adalah merupakan kewajiban bagi setiap
instansi pemerintah dan swasta untuk melakukan pendidikan anti korupsi dengan
materi yang dirancang secara matang sebelumnya.
Namun, justru pembahasan, diskusi dan pengawasan wilayah
publik inilah yang sangat dirasakan menjadi titik paling lemah di lingkungan
umat beragama, lebih-lebih aliran Sunni di lingkungan umat Islam. Hasil
penelitian Federspiel yang dipublikasikan sepuluh tahun yang lalu, pada tahun
1994, menyebutkan bahwa:
1. Islam Sunni tradition is important to Indonesian
Muslim writers. They draw consistently on the sources of that tradition, i.e.
the Qur’an, the model of the prophet, and works of religious scholars for the
entire length of Islamic history.
2. …. 3. …. 4. ….
5. A revival
movement (Dakwah) is underway in Islam and Indonesian Muslims are affected by
it. That movement has affected the Indonesian Muslim community appreciably on
matters of worship and basic religious obligation, but has not, as in some other
countries, much affected public policy or public morality.[2]
Jika hasil penelitian ini benar, maka perlu shifting
paradigm yang cukup radikal dalam sistem pendidikan agama di tanah air. Dari
corak pendidikan yang semata-mata bercorak confessional (memperteguh dan
memperkokoh iman) ke pendidikan agama yang juga menaruh perhatian dan kritis
terhadap wilayah publik (paradigma kritis). Pendidikan agama selama ini
dirasakan hanya mengambil alih tugas yang biasa dilakukan oleh masyarakat luas
dan organisasi sosial keagamaan (majlis dakwah, majlis tabligh, pengajian),
kemudian di ulang kembali (di daur ulang) oleh Perguruan Tinggi supaya lebih
sistematis. Perguruan Tinggi yang semestinya lebih melakukan “Penelitian”
(Search & Research) dan “Pengembangan Keilmuan” (Contribution to
Knowledge), kemudian berbelok arah menjadi sekedar “Transfer of Knowledge” yang
kemudian terjadi duplikasi dengan apa
yang dilakukan oleh masyarakat.[3]
Wilayah “publik” yang menjadi garapan utama Perguruan
Tinggi untuk diteliti, dianalisis, dikritik, diperbaharui, kemudian diabaikan
oleh Perguruan Tinggi Agama. Padahal
dalam kurun waktu tertentu para alumni Perguruan Tinggi dan Perguruan Tinggi
Agama akan menjadi tokoh-tokoh dan pejabat-pejabat publik sejak dari KPU,
Panwaslu, Pengurus Partai, anggota DPR Pusat dan di berbagai Daerah di tanah
air, PNS di berbagai Departemen, khususnya Departemen Agama, LSM dan dosen dan
begitu seterusnya.
Langkah awal yang perlu ditempuh oleh program
mainstreaming pendidikan agama anti korupsi berarti adalah menggeser orientasi,
fokus perhatian, titik bidik pendidikan
agama yang selama ini lebih ke arah ke dalam (confessional) ke arah yang lebih
ke luar, memasuki dan memperhatikan urusan publik. Dan perubahan ini tidak
disukai oleh masyarakat sunni, karena hal itu dianggap bukan wilayah “agama”
yang sesungguhnya. Disinilah letak dilemmanya.
Apa itu korupsi?
Kata ‘korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang
berarti sesuatu yang rusak atau hancur. Dalam pemakaian sehari-hari dalam
bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata ‘korupsi’ dapat
digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti frasa ‘a corrupt manuscript’
(naskah yang rusak) dan dapat juga untuk menyebut kerusakan tingkah laku atau
tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dapat dipercaya
(dishonest). Selain itu korupsi juga berarti tidak bersih (impure).[4]
Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada berbagai
definisi yang dikemukakan oleh para ahli menyangkut terminologi korupsi Syed
Hussein Alatas menegaskan bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui
penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan”.[5] Dalam Webster’s Third
New International Dictionary, korupsi di definisikan sebagai “ajakan (dari
seseorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak
semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”.[6]
Menurut Robert Klitgaard korupsi meliputi tindakan
berupa (1) memungut uang atas pelayanan yang sudah seharusnya diberikan, (2)
menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan (3) tidak
melaksanakan tugas karena lalai atau lupa.[7] Bank Dunia menganut definisi
klasik yang singkat tapi luas cakupannya yang memandang korupsi sebagai the
abuse of public office for private gain ‘penyalahgunaan jabatan publik untuk
memperoleh keuntungan pribadi’.[8]
Dengan demikian unsur pokok korupsi itu sesungguhnya
tercermin dalam adanya (1) perbuatan menyimpang dari norma, (2) perbuatan itu
menimbulkan kerugian kepada negara atau masyarakat meskipun tidak selalu berupa
kerugian finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau
tidak berjalannya sistem hukum, (3) adalah penyalahgunaan wewenang.
Korupsi adalah menyangkut urusan publik : enam ciri
korupsi
Intelektual muslim wilayah Asia Tenggara, yang menekuni
isu korupsi cukup intens, Alatas menengarai ada 6 ciri tindak korupsi: (1)
adanya pengkhianatan kepercayaan, (2) keserbarahasiaan, (3) mengandung penipuan
terhadap badan publik atau masyarakat, (4) dengan sengaja melalaikan
kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (5) diselubungi dengan bentuk-bentuk
pengesahan hukum, (6) terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki
keputusan pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.[9]
Dari 6 ciri tersebut, tindak korupsi memang sangat
kompleks, interrelated, bahkan intricate. Ada percampuran antara pengkhianatan
amanah (moral), perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM), mendahulukan
kemaslahatan umum (kepentingan publik), yang berhadapan langsung dengan
kecenderungan manusia untuk memenuhi kebutuhan pribadi (vested interest).
Dengan demikian, wilayah birokrasi, kekuasaan (power), hukum, moral, psikologi,
sosiologi, kultur, campur baur di situ. Mengingat kompleknya persoalan korupsi,
maka pendidikan agama anti korupsi paling tidak mencakup item-item tersebut.
Sekedar memperjelas bagaimana rumitnya persoalan di lapangan dapat
diilustrasikan sebagai berikut:
Pejabat pemerintah selaku penyelenggara negara dalam
melayani masyarakat (urusan publik) dan melaksanakan pembangunan selalu
membutuhkan bantuan pihak lain (rekanan/pemborong) untuk memfasilitasi seperti
instalasi listrik, air, telekomunikasi, pembangunan gedung publik, jalan,
jembatan dan konstruksi bangunan lainnya hingga pada bentuk jasa layanan
informasi, penelitian, data survey serta konsultasi keahlian. Ini semua
dilakukan melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah (government
procurement) dimana segala ketentuannya telah diatur dalam Keppres No. 61 Tahun
2004 jo. Keppres No. 80 Tahun 2003 serta diatur pula dalam berbagai
undang-undang seperti UU. No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan juga UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli yang mengharuskan proses tersebut
dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip efisiensi, efektivitas,
transparansi, persaingan sehat, akuntabel dan adil bagi semua pihak.
Mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintahan ini
sesungguhnya sudah cukup ketat procedurnya. Dari sistem pelelangan umum,
pelelangan terbatas atau penunjukan langsung. Itupun masih ditambah dengan
model penyeleksian peserta dengan cara prakualifikasi atau pasca kualifikasi
dengan metode satu sampul, metode dua sampul atau metode dua tahap. Sungguh
rumit dan melelahkan.[10] Namun kenapa masih saja banyak terjadi KKN yang
dilakukan oleh “sebagian” birokrat secara berjamaah dengan para rekanan.[11]
Mengapa “setinggi-tinggi pagar dibuat, masih bobol juga”?.
Berbagai cara yang umum dilakukan para koruptor untuk
mengambil uang negara. Pertama adalah “main mata” antara pejabat pemerintah
(Birokrasi) dengan rekanan untuk merekayasa hasil pemenang tender, selanjutnya
rekanan mengirim “amplop” pada birokrat melalui rekanan saudara, anak, istri,
bahkan mungkin tetangga (teknik penyuapan). Kedua, dengan menaikkan nilai-nilai
barang atau jasa (mark-up), harga per-unit yang seharusnya 1000 dinaikkan
menjadi 1200 dan akhirnya kelebihan harga digunakan untuk dibagi rame-rame
antara mereka (aspek moral; ketidakjujuran).
Ketiga, para birokrat tadi (atau saudara atau temannya)
menyamar menjadi perantara alias makelar dari proyek yang dia pimpin sendiri.
Jelas saja mereka punya anggapan, makelar ‘kan harus dapat uang komisi
(sosiologi kekerabatan). Keempat, cara yang paling kasar digunakan yaitu para
birokrat berlakon sebagai pengguna
sekaligus penyedia (rekanan) proyek, sejak dari batu bata, pasir, semen, besi,
genteng, peralatan listrik dan seterusnya. Tentu saja tak ada yang bisa
menghalangi kalau dia mau berbuat seperti itu (keserakahan).
Dengan ilustrasi betapa kompleks dan rumitnya persoalan
di lapangan, maka Alatas, lalu mempertajam pisau bedah seluk beluknya
(know-how) korupsi lebih dalam. Dia menjelaskan ada 7 (tujuh) jenis korupsi.
(1) Korupsi
transaktif, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbal balik
antara pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama. Korupsi
jenis ini bisanya terjadi antara usahawan dengan pejabat pemerintah atau
anggota masyarakat dengan pemerintah.
(2) Korupsi
ekstortif (memeras), yaitu bentuk korupsi dimana pihak pemberi dipaksa
melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam diri,
kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang lain baginya.
(3) Korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh
pelaku korban korupsi pemerasan.
(4) Korupsi
investif, yaitu korupsi berwujud pemberian sesuatu ada kaitan langsung dengan
keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan dimasa depan.
(5) Korupsi nepotistik (perkerabatan), yaitu korupsi
berupa penunjukan tidak sah terhadap teman atau kerabat untuk menempati posisi
dalam pemerintahan atau memberi perlakuan istimewa kepada mereka secara
bertentangan dengan norma yang berlaku.
(6) Korupsi otogenik, yaitu yang dilakukan sendirian
tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar.
(7) Korupsi suportif (dukungan), yaitu tindakan yang
dimaksudkan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada.[12]
(8) Korupsi legal, yaitu suatu kebijakan yang secara
hukum adalah sah karena sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, namun
sesungguhnya pada dasarnya merupakan suatu korupsi bila dilihat dari sudut visi
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik. Termasuk dalam kategori ini adalah
apa yang sering dengan korupsi demokratis, yaitu kebijakan yang disahkan oleh
legislatif, namun bertentangan dengan visi yang benar dari kepemerintahan yang
baik (good governance). Misalnya penganggaran rumah dinas pejabat yang jauh
lebih besar dari anggaran pembangunan gedung sekolah dasar.[13]
Pendidikan (Agama) sebagai Alternatif Pemberantasan
Korupsi
Berbicara mengenai moralitas dan upaya penanaman
nilai-nilai luhur, tidak bisa lepas dari pendidikan, mengingat pendidikan
mempunyai dua fungsi esensial, yaitu: menumbuhkan kreativitas dan
menanamkan/mensosialisasikan nilai-nilai luhur. Pendidikan perlu menempatkan
manusia dalam kedudukan sentral, dan menempatkan lingkungan sebagai suatu
sistem dengan manusia sebagai pusatnya (Noeng Muhajir, 1983:11) manusia pada
hakekatnya merupakan pribadi yang berkembang mengikuti hukum dan kekuatan
kodrati yang telah dianugerahkan kepadanya. Perkembangan pribadi manusia dapat
terhambat atau berjalan dengan baik melalui stimuli lingkungannya. Fungsi
pendidikan adalah memberikan kondisi yang kondusif terhadap perkembangan segala
aspek kepribadian manusia. Oleh karena itu, pendidikan bertugas mewujudkan agar
dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki, manusia dapat hidup mandiri dan
bertanggungjawab atas kesejahteraan orang lain.
Arti penting pendidikan bagi pembangunan moral bangsa
telah semakin disadari, baik di negara berkembang maupun negara yang telah
maju. Pemerintah, melalui beberapa pendekatannya telah mengusahakan beberapa
jenjang dan jenis pendidikan. Dalam rangka merubah, membentuk, dan membina
sikap moral dan perilaku masyarakat agar lebih efektif bagi pembangunan, lebih
tepat jika pemerintah meninjau segi pendidikan.
Analisis mengenai arti penting pendidikan secara
substansial dapat ditinjau dari muatan kurikulum yang tercakup didalamnya, yang
menurut Bloom dapat mencakup tiga ranah kejiwaan, yaitu: kognisi, afeksi, dan
psikomotor. Apapun jenis bidang studi yang dipelajari, idealnya mencakup tiga
ranah tersebut secara proporsional. Secara garis besar, kurikulum dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hidden curriculum dan overt curriculum.
Melalui hidden curiculum dapat diupayakan dengan memberikan suri tauladan yang
menampakkan sikap dan perilaku anti korupsi. Sementara itu, melalui overt
curriculum dapat diupayakan melalui kurikulum yang dikemas dengan
mengintegrasikan materi-materi anti korupsi, yang dapat dimasukkan mulai
tingkat pendidikan TK sampai Perguruan Tinggi.
Relevansi pendidikan antikorupsi didasarkan keyakinan
bahwa pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan, melalui tindakan
kuratif berupa penegakkan hukum, preventif dan preservatif. Upaya preventif
dimaksudkan guna mencegah internalisasi sikap permisif atas tindakan koruptif,
sementara upaya preservatif guna memberi perlindungan dan kemampuan resistensi
bagi individu atau elemen sosial yang sudah menyerap nilai-nilai antikorupsi.
Program ini diharapkan ikut membuka (kembali) wacana
revisi ”menu kurikulum” ditanah air. Pengubahan kurikulum, selain terkait
dengan tuntutan agar lebih memberi penekanan pada penguatan daya nalar dan
analisis, idealnya juga harus mempromosikan nilai-nilai kejujuran, toleransi,
keiklasan dan sikap tidak mudah menyerah demi kebaikan. Nilai-nilai itu kini
kian tergerus oleh perilaku koruptif, konsumtif, dan permisif terhadap tindakan
tercela seperti korupsi yang dipertontonkan pejabat publik selama ini.
Kusuma Andrianto menulis artikel Pendidikan awal
’Economics of Corruption’ di Pembelajar.Com.[14] menyarankan agar pendidikan
tentang korupsi dilakukan sejak dini. Andrianto menulis ”Ambil contoh misalnya
pengalaman negara Kamboja (Integrating Anti-Corruption into School Curricula,
hal. 53-59) yang mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi ke dalam pendidikan
di negara tersebut. Mirip dengan pengalaman Amerika Serikat (Ethics at School:
A Model Programme, hal. 38-44) dan Italia (Taking Anti Corruption Heroes into
School, hal. 25 – 29). Tulisan tentang tiga negara yang masing-masing mewakili
tiga benua yang berbeda ini, Asia, Amerika, dan Eropa, menunjukkan betapa
kewaspadaan akan bahaya korupsi memang seyogyanya diusahakan sejak usia sedini
mungkin dalam lingkungan keluarga.”
Penutup
Dari uraian singkat mengenai Pendidikan (Agama)
Antikorupsi sebagai pengejewantahan dari nilai-nilai perennial agama di alam
praktek pendidikan di atas dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
Korupsi merupakan masalah yang sifatnya sangat kompleks,
sehingga memerlukan pemecahan secara sistematik dalam berbagai bidang
pembangunan.
Dilihat dari fungsinya, pendidikan dapat menjadi salah
satu alternatif pemecahan dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, dengan
mengintegrasikan materi-materi anti korupsi ke dalam kurikulumnya.
Pendidikan agama yang diolah kembali menjadi pendidikan
etika-sosial yang menekankan perlunya akutabilitas publik baik dalam rancangan
pembelajaran maupun implementasinya dapat menjadi alternatif dalam
menyelesaikan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat kita,
termasuk masalah Pemberantasan Korupsi.
Upaya hukum sebagai tindakan legal-formal dari institusi
peradilan tetap berjalan dan perlu terus berkesinambungan, tetapi secara
ideologis-kultural jalur pendidikan memang tidak bisa diabaikan, lebih-lebih
pendidikan agama.
Disampaikan workshop “Mainstreaming Pendidikan
Antikorupsi di Perguruan Tinggi Islam Indonesia, UIN Jakarta, 30 November 2005.
[1] Pos Info 2-8 September 2004 memberitakan menurut
Kepala Pusat Hukum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman, kasus dugaan korupsi
anggota DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota terjadi hampir di semua propinsi.
Melibatkan lebih dari 300 anggota Legislatif dengan kerugian negara ratusan
milyar. Selama enam bulan terakhir total korupsi yang dilakukan anggota DPRD
tercatat lebih dari Rp. 394 milyar, di 59 DPRD.
[2] Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature
of the Qur’an, New York: Cornel University, 1994, h. 138.
[3] George Junus Aditjondro bahkan mengusulkan lebih
dari itu. Para anggota DPR dan penegak hukum harus melakukan atau mempunyai
staf yang bisa melakukan riset di lapangan untuk mengetahui dan mendeteksi
bagaimana korupsi itu dilakukan secara oligarkis antara pejabat pemerintah,
militer, partai politik. Lebih lanjut Membangun Gerakan Anti Korupsi dalam
Perspektif Pendidikan, Andar Nubowo (Ed.), Yogyakarta, UMY, 2004, h.79.
[4] Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary,
Oxford: Oxford University Press, 1989, h. 266.
[5] Alatas, Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi, alih
bahasa Nitwono, Jakarta: LP3ES, 1987, h. viii.
[6] Dikutip dari Syamsul Anwar “Sejarah Korupsi dan
Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: Perspektif Studi Hadis”, Hermenia,
Volume 4, Nomor 1, Januari – Juni 2005, h. 108.
[7] Robert Klitgaard dkk, Penuntun Pemberantasan Korupsi
dalam Pemerintahan Daerah, alih bahasa Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor dan
Partnership for Government Reform di Indonesia, 2002, h.3.
[8] Lihat Syamsul Anwar, op.cit.
[9] Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan
dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al Ghozie Usman, Jakarta: LP3ES, 1975,
h.13.
[10] Meskipun tidak menangani secara langsung, penulis
sebagai Rektor memahami betul betapa rumit dan melelahkannya proses dan
prosedur yang harus dilakukan panitia lelang ketika melakukan pelelangan beberapa
item pekerjaan yang didanai oleh IDB (Islamic Development Bank).
[11] Penulis mendapat kesempatan mengikuti Konferensi
Internasional Anti Korupsi di Seol, Korea Selatan, 2003 atas sponsor
Partnership. Dari sekian puluh paralel sesi yang dijadwalkan oleh panitia,
penulis memilih sesi yang membahas “government procument”. Luar biasa
konferensi ini, karena dalam
4 hari, yang setiap hari diawali Plenary Session dan
kemudian diikuti Parallel Session yang membahas puluhan makalah dari para
pembicara internasional mendiskusikan bagaimana korupsi dilakukan dan dikaji
secara akademik, untuk kemudian disosialisasikan ke seluruh negara peserta
konferensi.
[12] Alatas, Ibid, h. ix-x, op.cit, h. 109.
[13] Syamsul Anwar, Headline Harian Kompas tanggal 26
Nopember 2005 menurunkan berita rencana (?) gaji Wakil Presiden Republik
Indonesia yang masih tergolong miskin, dianggap tidak wajar, karena tidak
begitu jauh dari gaji Presiden Amerika Serikat yang kaya raya. Berita tersebut
kemudian segera diralat keesokan harinya, Kompas, 27 Nopember 2005.
[14] Lihat juga KOMPAS Minggu, 13 April 2005.
0 komentar:
Posting Komentar