Amin Abdullah
Gambaran umum dan persoalan yang dihadapi madrasah di
tanah air
Madrasah di Indonesia pada dasarnya beragam, paling
tidak terbagi menjadi dua: (a) Madrasah yang didirikan semata-mata untuk
mendalami agama(tafaquh fiddin); (b) Madrasah yang didirikan bukan hanya
mempelajari agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum. Menurut Malik Fadjar, dalam buku
Visi Pembaharuan Pendidikan Islam (1998), jumlah madrasah yang bersifat
tafaqquf fiddin saja sebesar 22.000 madrasah, sementara madrasah jenis kedua
berjumlah 36.000 madrasah. Sebanyak 96% diantaranya dikelola secara swadaya
oleh masyarakat. Data ini tak berbeda jauh dengan data yang dimiliki Departemen
Agama tahun 2001 yang berjumlah 72.650 buah. Lebih banyak sedikit ketimbang
data dari Malik Fadjar karena selain perkembangan dari tahun ke tahun, juga
karena data Departemen Agama juga memasukkan Raudatul Athfal (TK) dan Madrasah
Diniyyah.
Fakta bahwa 96% madrasah dari berbagai tingkatan
dikelola masyarakat ini membuktikan bahwa madrasah merupakan institusi pendidikan
swadaya masyarakat yang mampu hidup, meski dengan kualitas yang tidak memadai,
tanpa bantuan dan subsidi pemerintah. Aspek keswadayaan ini merupakan kelebihan
madrasah dibanding lembaga pendidikan umum pemerintah, meskipun bukan berarti
pemerintah kemudian “lepas tangan” dari komitmen untuk membantu madrasah tanpa
mengurangi otonomi dan kemandirian madrasah.
Dari paparan di atas, madrasah telah memiliki keunggulan
komparatif, seperti besaran madrasah yang swadaya (96%) dan kuantitas
madrasah yang terdiri di tengah
masyarakat (setidaknya terdata 72.650 madrasah pada tahun 2001). Dari segi
komparatif pula, total madrasah sebayak 72.650 berarti secara nasional jumlah
madrasah adalah 20,09% dari total SD, SLTP dan SMU. Sedangkan dari segi jumlah
murid madrasah dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah mencapai 5.633.143
murid atau 14.8% dari seluruh murid SD, SLTP dan SMU di seluruh Indonesia
(Husni Rahim,2001). Berdasarkan pengamatan Husni Rahim, kebanyakan siswa
madrasah berasal dari keluarga yang berpendapatan rendah,sebagian diantaranya
masuk madrasah karena uang sekolah yang rendah dibandingkan dengan sekolah di
bawah Diknas. Di daerah madrasah banyak berdiri dengan kondisi yang sangat
sederhana dan ‘sekedar hidup’.
Adapun dari
sumber daya pengajar madrasah, data dari Departemen Agama tahun 2002
menunjukkan total guru MI, MTs, dan MA adalah 456.281 orang. Dari jumlah
tersebut, 80% lebih berstatus guru swata( non PNS). Data ini memiliki relevansi
dengan kenyataan bahwa 96% madrasah dikelola oleh pihak swasta. Hanya saja para
guru non PNS yang mengabdi pada madrasah-madrasah tersebut tetap saja
sebanyak 60% lebih berstatus guru tidak tetap. Jika dilihat dari tinjauan
kwalitas, menurut Husni Rahim (2001),hampir 60% guru madrasah negeri termasuk kategori tidak layak
dan angka ini melonjak menjadi 80% pada madrasah swasta. Sedangkan yang
termasuk layak akan tetapi salah kamar (mismatch) sebesar 20%, dan sisanya 20%
yang betul-betul layak dan cocok antara disiplin keilmuannya dengan bidang studi
yang diajarkannya.Dengan jumlah murid dan guru
sebagaimana di atas, jika ditarik angka ratio, maka secara kuantitas
ratio jumlah guru dan murid madrasah adalah 1:12.
Angka yang cukup ideal secara kuantitas,namun patut
menjadi pertanyaan besar secara kwalitas.
Upaya peningkatan kualitas ,madrasah, baik dari segi
kelembagaan, sumber daya manusia, maupun kurikulum, pada dasawarsa terkahir
ini, mulai menemukan momentum ketika UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (PSN) ditetapkan. Pada perkembangan berikutnya konsep
kesederajatan madrasah melalui peningkatan kualitas madrasah yang tertera dalam
UU Nomor 2 tahun 1989 “dikukuhkan” atau dikuatkan oleh UU Nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional).
Namun, tetap saja, produk hokum pertama yang menyatakan
kesedarajatan madrasah dengan sekolah-sekolah umum adalah UU Nomor 2 tahun
1989. Merujuk UU tersebut, madrasah menjadi subsistem, bahkan bagian integrasi
dari system pendidikan nasional. Oleh karena itu, status madrasah yang selama
ini dicitrakan sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” tidak lagi menemukan
justifikasinya, paling tidak secara legal-formalistik, karena berkat UU itulah
status madrasah sama dan sederajat dengan sekolah-sekolah umum yang berada di
bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional.
Dengan demikian, penerapan UU Nomor 2 tahun 2003 dan UU
Nomor 2 tahun 1989 merupakan implementasi dari komitmen pemerintah untuk
mengintegrasika madrasah ke dalam system pendidikan nasional. UU Nomor 2 tahun
1989 misalnya, berikut sejumlah peraturan yang mengiringinya. Madrasah
diredefinisikan sebagai “sekolah umum berciri khas Islam.” Dengan demikian,
dualisme system pendidikan di tanah air yang terjadi selama ini, praktis
diruntuhkan dengan adanya UU tersebut.
Jika dari segi institusi banyak kemajuan yang diraih,
bagaimana filosofi pendidikan Islam serta implikasinya dalam praktik pendidikan
sejak dari penyususnan curikulum, silabi, metode mengajar, sistem evaluasi,
fasilitas perpustakaan, sistem diktivikasi dan begitu seterusnya ? Hal ini jauh
lebih mendasar dan fundamental karena terkait juga dengan sistem Perguruan
Tinggi Agama Islam yang ada di atasnya yaitu IAIN dan STAIN. Sebagai prosedur
ilmu pengetahuan dan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh ortodoksi dan
hegemoni Pendidikan Islam adalah pekatnya corak dan pekatnya warna dikhotomi
antara ilmu-ilmu umum dan agama.
Mengakhiri dikotomi madrasah dan sekolah dalam
praktik kependidikan
Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas
yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu”, “madrasah” dan “sekolah” adalah dua
entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah
sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek
formal-material keilmuan, guru yang diangkat, metode pengajaran, laboratorium
yang diperlukan, perpustakaan yang disediakan, keseriusan dan kesungguhan guru
dalam mengajar, status sosial-ekonomi yang disandang, pengawas yang direkruit,
akreditasi yang diberlakukan, bahkan sampai masuk ke institusi penyelenggara dan
yayasan pendukungnya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak mempedulikan agama dan
agama tidak mempedulikan ilmu. Madrasah dengan seperangkat imej yang
disandangnya tidak memerlukan sekolah, dan sekolah tidak memerlukan madrasah.
Praktik kependidikan dan aktifitas keilmuan di tanah air sekarang ini seperti
itulah gambarannya dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan
dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, persepsi masyarakat yang tidak
tepat perlu dikoreksi dan diluruskan. Secara politis. undang-undang pendidikan
nasional ingin menepis dan mengikis kesan seperti itu. Undang-undang No.2 tahun
1989 tentang sistem pendidikan Nasional (SPN) No. 2 tahun 1989 dan lebih-lebih
undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional)
membuktikan hal itu. Status madrasah yang berada dibawah naungan Departemen
Agama sama dan sederajat dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah
naungan Departemen Pendidikan Nasional..
Dalam sejarah hubungan ilmu dan agama di Barat, pemimpin
gereja menolak teori heliosentris Galileo
atau teori evolusi Darwin. Pemimpin gereja membuat pernyataan-pernyataan
yang berada diluar bidang kompetensinya. Sebaliknya Isaac Newton dan tokoh
ilmu-ilmu sekuler yang lain menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai penutup
sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak terpecahkan dan terjawab
oleh teori keilmuan mereka, sampai tiba waktunya diperoleh data yang lebih
lengkap atau teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut. Begitu
kesulitan itu terjawab, maka secara otomatis intervensi Tuhan tidak lagi
diperlukan. Dengan begitu do’a yang menjadi inti beragama, tidak lagi
diperlukan. Akhirnya Tuhan dalam benak para ilmuan hanya ibarat pembuat jam (clock maker). Begitu alam
semesta ini selesai diciptakan, Ia tidak peduli lagi dengan alam raya
ciptaanNya dan alam semesta pun berjalan sendiri secara mekanis tanpa campur
tangan tujuan agung ketuhanan. D’a tidak bias merubah Sunnatullah (hokum alam).
Sementara itu, dalam dunia pendidikan Islam muncul dua
penomena : Pertama, yang umum terjadi adalah pengajaran ilmu-ilmu agama Islam
yang normatif-tekstual baik di sekolah maupun madrasah terlepas dari
perkembangan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hokum, humaniora dan ilmu-ilmu agama
(religious studies) pada umumnya. Kedua, pendidikan ilmu-ilmu kealaman (Iptek)
“dipaksa” kawin dengan ilmu-ilmu keagamaan Islam yang normative tekstual dengan
cara melekatkan dan menempelkan ayat-ayat pada temuan dan keberhasilan Iptek,
namun terlepas begitu saja dari perkembangan ilmu-ilmu social dan humaniora.
Perbedaan itu semakin hari semakin jauh ibarat deret ukur terbalik, dan membawa
akibat yang tidak nyaman bagi kehidupan intern dan lebih-lebih ekstern umat
beragama.2) Pola pikir yang serba dikotomis ini menjadikan manusia terasing
dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, rendah pemahaman etika sosialnya,
terasing dari dirinya sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat
sekelilingnya, terasing dari lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang
kehidupannya serta terasing dari denyut nadi lingkungan sosial-budaya
sekitarnya. Singkatnya, terjadi proses dehumanisiasi secara massif baik pada
tataran kehidupan keilmuan, keagamaan, social-politik dan sosial-ekonomi.
Pendidikan dan pengajaran di sekolah dan madrasah yang
dilakukan secara terpisah dalam dua atap maupun sistem satu atap antara
madrasah dan sekolah tetapi dengan pola metode pengajaran dan dikotomis-tak
terintegrasi mulai diratapi, disesali oleh banyak kalangan3). Hati nurani
terlepas dari akal sehat. Tindak kekerasan merebak dimana-mana. Empati dan
simpati dan sosial skill (kecakapan dan kematangan sosial) menipis. Nafsu
serakah dan ketidaksabaran menguasai perilaku manusia cerdik pandai. Praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Alam lingkungan rusak berat. Tindakan
kekerasan dan mutual distrust mewabah dimana-mana. Jauh sebelumnya, dalam sejarah kependidikan
Islam telah pula terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik
di satu sisi, yang ditokohi para ilmuan seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn
Khaldun, berhadapan dengan pola pengembangan keilmuan agama yang
spesifik-parsialistik di sisi lain yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan
ahli fikih pola keterpisahan model pendidikan ini rupanya diwariskan secara
turun temurun antara generasi hingga saat ini..
Yang lebih sulit dimengerti, dalam praktik pendidikan
dan pengajaran agama Islampun keterpisahan dan tidak terintegrasi pendidikan
agama dengan isu-isu sosial ekonomi sangat mudah dijumpai. Penulis pernah
mendengar uraian tentang ibadah haji di TVRI. Ketika penceramah dari Departemen
Agama ditanya oleh pemirsa tentang penomena masyarakat Indonesia yang melakukan
umrah berkali-kali dan untuk sebagian kecil melakukan haji lebih dari 2 kali
dan bukannya lebih baik kelebihan rizqi yang dimiliki disumbangkan untuk
membantu masyarakat yang tidak mampu4, penceramah menjawab lugas bahwa tugasnya
disini hanyalah menerangkan ayat-ayat dan hadit-hadis tentang haji dan umrah.
Tidak terkait dengan sadaqah. Lain kali, sambungnya, kalau sesi atau babnya
adalah sadaqah, penceramah berjanji akan membahas sadaqah secara khusus, dan
terlepas dari haji dan umrah. Sebuah jawaban yang menunjukkan betapa pengaruh
dikotomi dalam intern pendidikan agama Islam sendiri mempunyai dampak yang
sangat signifikan dalam kehidupan-kehidupan sosial masyarakat secara luas.
Dapat dibayangkan bagaimana dampak dikotomi antar ilmu agama dan umum dalam
peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia secara utuh.
Keterpisahan secara diametrikal antara keduanya dan
sebab-sebab lain yang bersifat politis-ekonomis, berakibat pada rendahnya
kwalitas pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Dalam ketiga
revolusi peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi industri dan revolusi
informasi, tak satupun ilmuan Muslim tercatat
namanya dalam lembaran tinta emas pengembang ilmu pengetahuan.5)
Perkembangan dan pertumbuhan ilmu-ilmu sekolahan-sekuler sebagai simbol
keberhasilan sekolah dan perguruan tinggi umum dengan berbagai implikasinya
pada tataran moral dan etik kehidupan manusia di seluruh dunia di satu pihak,
dan perkembangan dan pertumbuhan madrasah dan perguruan tinggi agama (baca:
Islam) yang hanya menekankan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman
normatif-klasik dengan berbagai dampaknya pada penciptaan tenaga terampil dalam
dunia ketenagakerjaan di lain pihak, menjadikan kedua-duanya mengalami proses
pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi kehidupan
sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-keagamaan di tanah
air.
Dari sini tergambar bahwa ilmu-ilmu sekuler yang
dikembangkan di sekolah dan di Perguruan
Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di madrasah, pesantren dan
Perguruan Tinggi Agama secara terpisah seperti yang sekarang ini berjalan
sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak soal),
mengalami kemandegan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian
alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan) dan penuh bias-bias
kepentingan disana sini (filosofis, ortodoksi keagamaan, etnis, ekonomis,
politik, gender, peradaban). Dari latar belakang seperti itu, gerakan
rapproachment (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan
lapang dada) antara dua kubu keilmuan adalah merupakan keniscayaan. Gerakan
rapproachment, untuk dapat menyebutnya juga sebagai gerakan integrasi
epistemologi keilmuan adalah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk
mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga
pada milenium ketiga serta tanggungjawab kemanusiaan bersama secara global
dalam mengelola sumberdaya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia
yang berkwalitas sebagai khalifah fi al-ardli.
Lebih luas lagi, Perguruan Tinggi Agama khususnya IAIN,
STAIN dan UIN secara sadar harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma
keilmuan yang dibangun dan dipeliharanya. Begitu juga Perguruan-Perguruan
Tinggi Umum yang sudah mapan dan berjalan selama ini. Ide dan usulan perlunya
dikembangkan ilmu-ilmu sosial Profetik dan Kajian Agama secara kontekstual di
Perguruan Tinggi Umum adalah merupakan tanda adanya keprihatinan yang serius
tentang arah pengembangan dan tujuan pembelajaran ilmu-ilmu agama pada
perguruan tinggi umum yang telah berjalan selama ini. Bangunan ilmu pengetahuan
yang dikotomik antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama harus
diubah menjadi bangunan keilmuan baru yang lebih integralistik atau paling
tidak keduanya bersifat komplementer. Filsafat Pendidikan Islam yang baru, yang
perlu dijadikan acuan dan sekaligus tujuan pendidikan UIN,IAIN dan STAIN
sebagai produsen ilmu pengetahuan yang akan menjadi feeder bagi tenaga guru
madrasah dan sekolah,pengelola dan pengurus yayasan yang dimiliki sekolah atau
madrasah haruslah diorientasikan pada lahirnya sarjana yang memiliki lima
kemampuan, yaitu kemampuan menganalisis persoalan social-keagamaan secara
akademik dan komprehensif (intelectual capital building), kemampuan melakukan
inovasi yang terencana dan berkesinambungan entre preneurial capital building,
kemampuan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan, keilmuan,
maupun profesi yang kemampuan membangun jaringan dan hubungan sosial
kemasyarakatn yang luas (social capital building) ditekuninya (institutional
capital building), dalam satu tarikan nafas etos keilmuan dan keagamaan yang
terpadu (spiritual capital building).6)
Tantangan Perguruan Tinggi Agama sebagai feeder
madrasah dan sekolah pada era globalisasi dan informasi.
Berbagai perubahan pada era globalisasi dengan ditandai
dengan WTO, AFTA, APEC membuat masyarakat (baca: keagamaan) di masa depan akan
sangat terbuka disertai ketergantungan kultur yang bersifat global. Tenaga
kerja terampil dari luar negeri akan masuk ke tanah air. Kecenderungan ini
diperkuat oleh laju perkembangan teknologi informasi yang dengan mudah dapat
diakses dan dapat merubah sikap moral, sosial dan intelektual seseorang dalam
waktu cepat. Sektor jasa dan pariwisata akan tumbuh menjadi paradigma baru
ekonomi, sedang kehidupan sosial politik dan keagamaan akan berubah bentuk dan
fungsinya.
Tantangan era globalisasi menuntut respon yang tepat dan
cepat dari sistem Pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum Muslimin tidak
hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan
ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran mengenai Pendidikan Islam dan
restrukturisasi sistem dan kelembagaan jelas merupakan keniscayaan. Umat Islam
tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang
terjadi.Pemikiran inilah yang mendorong adanya gagasan tentang pengembangan
IAIN (khususnya Jakarta dan Yogyakarta)
sebagai projek pilot menjadi Universitas Islam Negeri, dibawah Departemen Agama
Republik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi
juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistemologi keilmuan dan etika moral
keagamaan yang integralistik. Dalam konsep ini, fakultas-fakultas agama akan
tetap dipertahankan seperti adanya
sekarang, hanya saja fakultas agama yang ada ini dikembangkan dan diperkuat
menjadi pusat-pusat kajian-kajian keislaman dengan metodologi dan berbagai
pendekatan yang baru.
Pengembangan IAIN
menjadi UIN diharapkan melahirkan Pendidikan Islam yang ideal dimasa
depan. Program integrasi epistemologi keilmuan pada gilirannya akan
menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang
telah berjalan selama ini. Perubahan dan pengembangan ini bukan sekedar asal
berkembang dan berubah. Diperlukan konsep yang matang dan detail, sehingga
tidak mengulangi eksperimen dan pengalaman sejarah yang dilakukan oleh
perguruan-perguruan tinggi umum yang didirikan oleh swasta keagamaan.
Pengembangan ini berada dalam kerangka dan semangat harmonisasi keilmuan dan
keagamaan, bukannya keterpisahan antara keduanya meskipun ada dibawah satu atap
kampus. Hal ini penting untuk memberikan landasan moral Islam terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, sosial-ekonomi,
dan sosial-budaya, sosial-politik dan sosial- keagamaan di tanah air, sekaligus
mengartikulasikan ajaran Islam sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, humaniora dan sosial kontemporer.
Mempertimbangkan besarnya tantangan yang dihadapi oleh
anak didik dimasa depan dan meningkatnya tuntutan masyarakat akan peran lembaga
pendidikan, Perguruan Tinggi Agama Islam dibawah Departemen Agama harus
terpanggil untuk melakukan upaya pengembangan akademik dan institusi. Model
pengembangan akademik diawali pembukaan program “wider mandate”, yang pada
waktunya kelak akan mengarah ke perubahan bentuk kelembagaan institut menjadi
universitas, khusus untuk beberapa institut yang dipilih secara selektif.
Selain alasan diatas, sejak tahun 1980, Madrasah Aliyah
yang ada di Indonesia, yang jumlah muridnya tidak kurang dari 800.075 siswa
telah berubah orientasi. Semula perbandingan muatan mata pelajaran agama dan
umum 70 : 30, sejak tahun 1994 menjadi 30 : 70 dan pada tahun 2000/2001
kurikulum Madrasah Aliyah 100% sama dengan kurikulum SMU dengan penekanan
pendidikan umum yang bercirikan Islam. Dengan perubahan tersebut, maka para
lulusan madrasah Aliyah yang jumlahnya sangat signifikan, juga mengalami
perubahan orientasi untuk memilih program studi umum di perguruan tinggi,
selain program studi agama seperti yang selama ini berjalan. Hanya saja
kecenderungan dikotomistik yang berjalan selama ini masih menghantui banyak
kalangan dan tidak bisa menolong krisis
yang dialami oleh paradigma ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan yang
bentuknya yang konvensional.
Visi baru program integrasi keilmuan umum dan agama:
jaring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistik.
Dengan meminjam konsep yang pernah dikembangkan oleh
Koentowijoyo, penulis ingin melanjutkan konsep tersebut dengan sedikit memberi
beberapa ilustrasi tambahan disana sini dalam konteks studi keislaman yang
berkembang selama ini di IAIN dan upaya pengembangannya lebih lanjut secara
integratif dimasa depan.
Agama merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial
maupun budaya. Kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan merupakan petunjuk etika,
moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta Grand Theory
ilmu. Wahyu tidak pernah mengklaim sebagai ilmu qua ilmu seperti yang
seringkali diklaim oleh ilmu-ilmu sekuler.
Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika,
hukum, kebijaksanaan, dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan
wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Menurut
pandangan ini, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan
dan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut
teoantroposentrisme.
Modernisme yang menghendaki diferensiasi yang ketat
dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman.
Spesialisasi dan penjurusan yang sempit dan dangkal mempersempit jarak pandang
atau horizon berpikir. Pada peradaban yang disebut pasca modern perlu ada
perubahan. Perubahan dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama
dan ujungnya adalah dediferensiasi (rujuk kembali). Kalau diferensiasi
menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka
dediferensiasi inilah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain,
termasuk agama dan ilmu.
Agama menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (daruriyyat;
benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyyat; baik, buruk), tujuan-tujuan
ilmu (tahsiniyyat; manfaat, merugikan) dan dimensi aksiologi dalam teologi ilmu
ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu.
Selebihnya adalah hak manusia untuk memikirkan dinamika internal ilmu.
Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang
objektif (objektifikasi). Artinya, suatu ilmu tidak dirasakan oleh pemeluk
agama lain, non-agama, dan anti-agama sebagai norma tetapi sebagai gejala
keilmuan yang objektif semata. Meyakini latar belakang agama yang menjadi
sumber ilmu atau tidak, tidak menjadi masalah. Ilmu yang berlatarbelakang agama
adalah ilmu yang objektif, bukan agama yang normatif. Maka, objektifikasi ilmu
adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk orang
beriman saja. Contoh objektifikasi: akupuntur (tanpa harus percaya konsep
Yin-Yang Taoisme), pijet (tanpa harus
percaya konsep animisme-dinamisme dalam budaya leluhur), yoga (tanpa harus
percaya Hindhuisme), sengatan lebah (tanpa harus percaya kepada Al-Qur’an yang
memuji lebah), perbankan Syari’ah (tanpa harus meyakini Etika Islam tentang
ekonomi).
Selama ini para cerdik pandai telah tertipu. Ilmu-ilmu
sekuler yang mengklaim sebagai value free ternyata penuh muatan kepentingan.
Kepentingan itu diantaranya ialah dominasi kebudayaan (seperti Orientalisme),
kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi negara-negara kuat era
globalisasi), dan kepentingan militer/perang (seperti ilmu-ilmu nuklir). Ilmu
yang lahir bersama etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu.
Produk keilmuan harus bermanfaat untuk manusia seluruh umat manusia (rahmatan
lil ‘alamin).
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar
menggabungkan, wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik)
tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan
manusia sehingga teralienasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan
lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme dan reintegrasi
epistemologi keilmuan akan sekaligus menyelesaikan konflik antar sekularisme
ekstrim dan agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.
Contoh dibawah akan memberi gambaran tampilan ilmu yang
integralistik bersama prototip sosok ilmuan integratif yang dihasilkannya.
Contoh dapat diambil dari Ilmu Ekonomi Syari’ah, yang sudah nyata ada praktik
penyatuan antara wahyu Tuhan (Divine) dan temuan pikiran manusia (human
thingking). Ada BMI (Bank Mu’amalat), Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah,
Takaful Syari’ah, usaha-usaha
agrobisnis, transportasi, kelautan, dan sebagainya. Agama menyediakan etika
dalam perilaku ekonomi diantaranya ialah bagi hasil (al-mudharabah), dan kerjasama
(al-musyarakah). Disitu terjadi proses objektifikasi dari etika agama menjadi
ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi orang dari semua penganut agama,
non-agama, atau bahkan anti-agama. Dari orang beriman untuk seluruh manusia
(rahmatan lil ‘alamin). Kedepan pola kerja keilmuan ini dituntut dapat memasuki
wilayah-wilayah yang lebih luas seperti psikologi, sosiologi, antropologi,
lingkungan, kesehatan, bioteknologi, politik,
hukum dan peradilan dan begitu seterusnya.
Gambar dibawah mengilustrasikan hubungan jaring
laba-laba keilmuan yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Tergambar
disitu bahwa jarak pandang dan horizon keilmuan integralistik begitu luas
(tidak myopic) sekaligus terampil dalam kehidupan sektor tradisional maupun
modern lantaran dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat
menopang kehidupan era informasi-globalisasi. Disamping itu tergambar sosok
yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh
kemanusiaan dan keagamaan era modern dan pasca modern dengan dikuasainya
berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu
dibarengi landasan etika-moral keagamaan yang objektif dan kokoh, karena
keberadaan Al-Qur’an dan al-Sunnah yang dimaknai secara baru selalu menjadi
landasan pijak pandangan hidup (weltanschaunung) keberagamaan manusia yang
menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Kesemuanya diabdikan
untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang
etnisitas, agama, ras maupun golongan.
Dalam kondisi yang ada sekarang ini aktivitas keilmuan
di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan STAIN di seluruh tanah air hanya
terfokus dan terbatas pada lingkar 1 dan jalur lingkar lapis 2 (Kalam,
Falsafah, Tasawuf, Hadits, Tarikh, Fiqh, Tafsir, Lughah). Itupun boleh disebut
hanya terbatas pada ruang gerak humaniora klasik. IAIN pada umumnya belum mampu
memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer seperti tergambar
pada jalur lingkar 2 (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dengan
berbagai pendekatan yang ditawarkannya). Akibatnya, terjadi jurang wawasan
keislaman yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan
ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan
humaniora kontemporer7). Kesenjangan wawasan ini cukup berakibat pada dinamika
kehidupan sosial keagamaan dalam masyarakat Indonesia mengingat alumni IAIN
Sunan Kalijaga banyak yang menjadi tokoh
di masyarakat dimanapun mereka berada. Upaya-upaya untuk menjembatani jurang
wawasan keilmuan tersebut dilakukan oleh Program Strata 2 (Magister) tetapi
tidak semua IAIN dan STAIN dapat melakukannya. Karena keterbatasan sumber daya
tenaga pengajar yang mengerti ilmu-ilmu keislaman sekaligus yang dapat
melakukan pun, akan menemui banyak kesulitan karena selain keterbatasan Sumber
Daya Manusia, juga mind set mahasiswa Strata 1 sudah sedemikian kental warna
studi teks klasik-normatif tanpa tersentuh oleh wawasan ilmu sosial maupun
humaniora. Isu-isu sosial, politik, ekonomi, keagamaan, militer, gender,
lingkungan hidup, ilmu-ilmu social,
humanities kontemporer pasca modern, seperti yang tergambar pada jalur
lingkar lapis 3 hampir-hampir tidak tersentuh sosial dan oleh kajian keislaman
ditanah air khususnya di IAIN dan STAIN. Ungkapan seperti to be religious today
is to be interreligious terasa masih sangat absurd dan unthinkable, bahkan
mustahil untuk dipikirkan bagi tradisi keilmuan lingkar lapis 2, meskipun era
globalisasi-informasi memaksa manusia beragama era sekarang untuk berpikir
demikian.
Kedepan, kesulitan ini akan semakin diperparah dengan
realitas di lapangan bahwa ilmu-ilmu agama ini memang tidak dirancang
terintegrasi dengan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberi bobot
ketrampilan untuk hidup, bersama-sama alumni perguruan tinggi yang lain.
Ilmu-ilmu Kauniyyah (Iptek) ini terpisah jauh dari inti ilmu-ilmu Qauliyyah
(Teks-naskah), dan kemudian masing-masing berdiri sendiri-sendiri, tanpa kontak
dan tegur sapa. Sudah barang tentu perkembangan ini merupakan perkembangan yang
kurang menguntungkan anak didik karena dari awal mula telah menyebrang dari
pola pokok ajaran Al-Qur’an yang selalu mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan
ilmu-ilmu agama. Bukankah al-ulum al-kauniyyah, al-ulum al-insaniyyah, al-ulum
al-diniyyah, dan al-ulum al-tarikhiyyah menyatu padu dalam kosa-kosa kata
al-Qur’an?
Upaya-upaya pengembangan akademik dan kelembagaan ke
depan
Perjalanan sejarah Umat Islam Indonesia setelah
Kemerdekaan 1945 rupanya berbeda dari alur sejarah yang dilalui oleh umat Islam
di negara-negara lain. Enam bulan setelah merdeka, Pemerintah Republik
Indonesia meresmikan Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946 untuk
melayani berbagai keperluan umat Islam Indonesia. Dalam perjalanannya yang
panjang, Departemen Agama diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan sendiri pendidikan agama dari tingkat Sekolah Dasar (MI),
Sekolah Menengah Pertama (MTs), Sekolah Menengah Umum (MA) dan Perguruan Tinggi
(IAIN, STAIN).
Di negara-negara lain, sebutlah Turki, dengan penduduk
sekitar 60 juta misalnya, kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan
umum maupun agama sepenuhnya diserahkan kepada Kementerian Pendidikan (Milli Egitim).
Bahkan penyelenggaraan pendidikan agama yang mirip-mirip dengan MTs dan MA di
tanah air, disebut Imam Khatib School/lisesi juga diselenggarakan juga oleh
Kementerian Pendidikan. Ketika perkembangan Imam Khatib School begitu pesat dan
tamatannya menyebar ke berbagai lapisan masyarakat, pemerintah yang “sekuler”
menaruh curiga dan akhirnya ditutup karena dianggap tidak sejalan dengan
nasionalisme-sekuler. Hubungan antara agama dan negara disana memang tidak
mudah dan kaku, tidak sefleksibel dan selentur hubungan agama dan negara di
tanah air.
Di Indonesia dengan penduduk 220 juta, pengelolaan
pendidikan agama diserahkan sepenuhnya kepada Departemen Agama dan tidak
diserahkan kepada Departemen Pendidikan. Memang hingga kini masih menjadi
berbincangan nasional mengapa anggaran penyelenggaraan pendidikan agama masih
dialokasikan di bawah mata anggaran sektor “agama” yang relatif kecil dan belum
diambil dari bagian integral dari alokasi anggaran “Pendidikan”. Namun hal ini
secara berangsur telah mulai dibenahi.
Dengan perkembangan-perkembangan baru di tanah air,
khususnya setelah diresmikan UIN Jakarta Mei 2002 dan turunya sk presiden
tentang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,tanggal 24 Juni 2004, seluruh komponen
bangsa dan lebih-lebih Departemen Agama dan Departemen Pendidikan perlu
menyusun blue print baru dan jelas ke depan untuk mengantisipasi berbagai
kemungkinan-kemungkinan perkembangan yang akan terjadi. Bukankah Departemen
Agama sekarang tidak hanya menjadi induk
semangnya IAIN dan STAIN, tetapi juga UIN, dan Departemen Pendidikan Nasional
ikut bertanggungjawab secara teknis akademis. Pembicaraan ilmu-ilmu umum yang
berada dibawah Departemen Agama?
Departemen Agama sebagai induk semang IAIN, STAIN dan
UIN perlu berpikir lebih sungguh-sungguh dan sistematis bagaimana menata ulang
lalu lintas percaturan pendidikan agama dan pendidikan umum di bawah naungan
Departemen Agama. Untuk tingkat sekolah dasar sampai tingkat menengah atas,
secara kelembagaan tampaknya sudah cukup mapan. Tetapi, untuk tingkat Perguruan
Tinggi, persoalannya jauh lebih tidak sederhana lagi. Bukankah ini semua
merupakan bagian dari ukiran sejarah panjang yang hendak diukir oleh umat Islam
Indonesia dalam menghadapi era globalisasi-informasi ? Perlu dicatat untuk
akhir tulisan ini sekali lagi bahwa umat Islam telah tertinggal oleh dua
peristiwa penting sejarah peradaban dunia, yaitu era Revolusi Hijau dan era
Revolusi Industri. Akankah sekarang umat Islam juga tertinggal lagi oleh
Revolusi Informasi? Jika umat Islam tidak segera mengambil langkah strategis ke
depan dengan tindakan korektif-evaluatif terhadap paradigma keilmuan yang di
miliki sekarang bangsa ini dan memberi tawaran-tawaran baru untuk menyongsong
perjalanan yang masih jauh ke depan, kapan lagi akan dimulai?
IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 22 Juli 2004
Disampaikan dalam “Roundtable discussion
tentang Madrasah” diselenggarakan oleh Indonesian Institute for Civil Society
(INCIS), Hotel Atlet Century Park Senayan, Jakarta, 22 Juli 2004.
2) Kasus yang menimpa Nasr Hamid Abu Zaid di Mesir
adalah contoh tipikal terjadinya gap wawasan keilmuan dimaksud lebih lanjut
Nasr Hamid Abu Zaid, al-Tafkir fi zamani al-takfir : Zidda al-jahl wa al-zaif
wa al-khurafat, Qahira : Sina li al-nasyr, 1995; juga merebaknya Islam garis
keras, skripturalis dan fundamentalis menjadikan kehidupan sosial keagamaan
menjadi kurang nyaman untuk tidak menyebutnya terancam oleh tindakan kekerasan.
3) Munculnya sekolah-sekolah seperti al-Azhar, SDIT
(Sekolah Dasar Islam Terpadu), menunjukkan adanya kegelisahan dalam masyarakat
dan cermin ketidakpuasan dari system pendidikan yang sedang berjalan.
4) Dalam agrgumen pemirsa TV, umrah dapat dilakukan
berkali-kali di Saudi Arabia karena jarak tempuh antar kota ddan biaya
transportasi dan akomodasi disana tidak semahal biaya yang diperlukan untuk
ongkos transportasi antara Jakarta dan Jeddah dan akomodasi yang diperlukan
selama di Saudi Arabia.
5) Mahatir Muhamad, Globalisation and the New Realities,
Selangor : Pelanduk Publications (M) Sdn Bhd, 2002, p.54,61.
6) Dengan sedikit tambahan ilustrasi dari penulis lebih
lanjut bandingkan dengan Mahmud Thoha APU, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan
social & Humaniora : Jakarta, TERAJU,2004, h. 1-16.
7) Baru ilmuwan Muslim Postkolonial antara lain M.
Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullahi Ahmed al-Naim,
Muhammad Shahrur, disamping Hasan Hanafi, Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman
dan lain-lain telah menggunakan dan memanfaatkan pisau analisis baru dimaksud.
Terjemahan karya-karya mereka ke dalam bahasa Indonesia mulai banyak beredar di
tanah air.
0 komentar:
Posting Komentar