ADA
tradisi yang berbeda antara dunia akademisi dan politisi. Bagi seorang ilmuwan,
mengaku salah dan tidak tahu merupakan hal biasa, tidak akan menjatuhkan
martabatnya sebagai ilmuwan.To err is human, kata orang Inggris.
Berbuat salah itu manusiawi selama
tidak disengaja dan ada penyesalan untuk memperbaikinya. Terlebih seorang
ilmuwan, dirinya sangat sadar apa yang diketahui itu hanya sebatas bidang ilmu
yangdipelajarinya dan itu pun selalu merasa ketinggalan oleh perkembangan ilmu
yang demikian dinamis.
Saya sendiri merasa, kedalaman dan
keluasan ilmu yang pernah saya pelajari sudah ketinggalan dibanding pengetahuan
yang dimiliki para yunior saya yang baru selesai menyelesaikan doktornya dalam
bidang yang sama. Sadar bahwa cakupan ilmu itu begitu luas,maka ketika ada
mahasiswa bertanya dan dosen merespons, ”Maaf saya belum bisa menjawab. Semoga
minggu atau bulan depan saya sudah mendapatkan jawabannya,” hal itu biasa saja.
Bahkan, mahasiswa akan menghargai kejujuran dosennya.
Pertanyaannya, berlakukah sikap
demikian di kalangan politisi dan aparat pemerintah? Rasanya tidak. Seakan
mereka tidak mengenal kata dan tindakan salah. Politisi selalu berusaha
membangun citra bahwa dirinya serbatahu, serbabenar, dan rakyat yang mesti
memahami mereka, bukan sebaliknya. Sampai-sampai ada ungkapan, politisi itu
pantang salah, dan kalau pun berbuat salah, mesti dikemas dan ditutup dengan
cara sedemikian rupa,kalau perlu bohong, agar rakyat tidak tahu bahwa dirinya
salah.
Jadi, di sini sangat berbeda dari
tradisi ilmuwan yang justru mengharap kritik atas pendapat yang dilontarkannya.
Ilmuwan mencari kebenaran. Sedangkan politisi mencari popularitas, jabatan, dan
kemenangan, sekalipun dengan penuh tipu daya. Karena kecenderungan kultur
semacam itu, maka tidak sedikit para ilmuwan dan ulama yang masuk dunia politik
lalu berubah karakternya.
Tujuan semula masuk ke politik
untuk memperbaiki keadaan, namun lama-lama kritiknya tumpul, dan seterusnya
lebur ke dalam komunitas dan kultur yang semula mereka kritik dan kecam.
Sejelek itukah dunia politik kita? Serapuh itukah mental para ulama dan
akademisi yang sudah bergabung ke dunia politik? Untuk mencari jawabannya,
riset atau tanyakan saja pada mereka, baik yang sekarang berkantor di Senayan
atau di jajaran pejabat tinggi negara.
Saya sendiri sering kali mendapat
cerita dan pengakuan mantan politisi dan pejabat tinggi negara sambil bermain
golf.Mereka buka sendiri kebohongan dan kecurangan yang pernah dilakukan
sebelum pensiun. Mereka menyesali dan menertawakan dirinya sendiri namun
semuanya telah berlalu. Sebagai orang awam,saya melihat betapa banyak di negeri
ini pemain akrobat dan pesulap politik.
Kita semua tahu,Munir telah mati
terbunuh, tetapi siapa pelakunya tidak jelas.Sekian banyak mahasiswa dinyatakan
hilang, sampai sekarang tidak diketahui siapa yang menghilangkan. Korupsi
mewabah, namun koruptornya tidak terpegang. Dan akhir-akhir ini kita semua
disuguhi tontonan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century. Apa pendapat
Anda? Anggota DPR telah berakting layaknya interogator dan hakim sehingga para
saksi yang hendak digali informasinya bagaikan seorang pesakitan.
Di sisi lain, para pejabat negara
yang diberi mandat dan amanat untuk mengendalikan jalannya administrasi
pemerintahan, semuanya berusaha meyakinkan kita semua bahwa mereka tidak salah.
Tak ada yang salah, tak ada yang mengambil sikap: “Maaf saya telah membuat
kesalahan, meski tidak saya sengaja.Semua itu saya lakukan semata untuk
melindungi kepentingan rakyat. Maafkan kesalahan saya dan tegakkan hukum,
jangan pilih kasih, siapa pun yang salah mesti diproses,termasuk diri saya.”
Sebagai umat beragama saya
merenung, ketika berdoa di hadapan Allah kita membuka diri selebar-lebarnya,
mengakui dosa dan kesalahan kita.Tetapi, mengapa sikap demikian tidak muncul
dalam ranah sosial? Apa yang hilang kalau seseorang mengakui salah dan minta
maaf? Apakah sukses hidup mesti diukur dengan kursi jabatan, sekalipun mesti
diraih dan dijaga dengan kebohongan? Bangsa ini akan maju kalau politisi dan
pemerintah mampu membuat terobosan ke depan.
Salah satunya adalah menciptakan
budaya bersih dan jujur, lalu bekerja cerdas dan keras untuk menyejahterakan
rakyat.Kalau ini dilakukan, rakyat pasti akan bangkit dan mendukung pemerintah
sehingga pada urutannya martabat bangsa juga akan terdongkrak.
Yang berlangsung selama ini
pemerintah tampak gamang dan tidak memiliki visi serta program yang mampu
mengikat koalisi gagasan dan koalisi cinta Indonesia dari semua komponen
bangsa.Yang lebih diperhatikan hanyalah koalisi partai yang usianya masih muda
dan kepentingannya pun diduga jangka pendek. Kalau esai ini banyak
kelemahannya, izinkan saya minta maaf.(*)
0 komentar:
Posting Komentar