Mengapa
beragama? Jawaban yang muncul akan berbeda-beda, berkaitan dengan siapa yang
ditanya. Bagi sebagian masyarakat Barat atau China yang tidak beragama, justru
malah aneh, mengapa mesti beragama.
Namun, bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, akan heran kalau orang tidak beragama. Kalau seseorang beragama, masih juga muncul pertanyaan selanjutnya, agama apa yang dianut? Mengapa tidak ganti-ganti agama agar lebih banyak pengetahuan dan pengalamannya? Terdapat dua kredo utama dalam beragama, yaitu percaya akan adanya Tuhan dan percaya terhadap keabadian hidup setelah mati. Dua kredo ini merupakan dimensi pokok dalam setiap agama.
Di antara
keduanya muncullah konsep dan kepercayaan terhadap pembawa atau pendiri agama
yang diyakini menerima mukjizat maupun wahyu dari Tuhan untuk meyakinkan
umatnya. Wahyu ajaran Tuhan itu lalu dihimpun menjadi kitab suci, yang di
dalamnya terdapat perintah dan panduan berbuat kebajikan, baik yang berupa
ritual keagamaan maupun perilaku sosial horizontal.
Meski inti agama
adalah kepercayaan kepada Tuhan, mempunyai implikasi dalam berbagai kehidupan
sehari-hari sehingga muncul etika dan pranata sosial. Dari sekian agama yang
ada, mungkin saja ajaran Islam yang paling detail memberikan panduan perilaku
dan pranata sosial. Bahkan, sejak masuk dan keluar toilet saja ada formula
doanya. Soal pembagian harta warisan, misalnya, Alquran juga memuat formula
sangat detail. Mungkin ini sebagai antisipasi bahwa kalau sudah menyangkut
harta, manusia maunya mendapatkan lebih, enggan dikurangi.
Namun, begitu
Alquran mengajarkan kasih sayang dan persaudaraan sesama keluarga sehingga
dimungkinkan terjadi hibah dan hadiah secara sukarela jika dipandang ada
anggota keluarga yang lebih memerlukan. Artinya, pelaksanaan pembagian harta
warisan itu luas dan luwes. Siapa pun yang mendalami agama, terlebih bagi
masyarakat sekuler yang sangat mengandalkan nalar dalam memahami agama, tema
ketuhanan menempati urutan pertama untuk dipelajari dan diajarkan.
Pemahaman,
kepercayaan, dan keyakinan terhadap Tuhan merupakan sumber dan fondasi bagi
keberagamaan seseorang. Dalam sejarah agama, selalu saja muncul perdebatan
seputar konsep ketuhanan. Memasuki zaman modern berbagai argumen yang dimajukan
semakin canggih, kaya, dan mendalam. Mereka yang menganut paham ateisme,
berbagai buku yang menyajikan argumen saintifik untukmenyangkaladanya Tuhan
semakin bermunculan.
Sebaliknya,
mereka yang menganut paham teisme, mesti mampu memberikan sanggahan balik yang
juga bersifat saintifik. Metode dan isi argumen seputar ketuhanan hari ini
menggunakan kajian sains yang lebih rasional, empiris, dan detail dibandingkan
perdebatan pada abad-abad lalu. Namun, bagi masyarakat Indonesia yang sejak
kecil sampai tua dikondisikan untuk meyakini dan mempraktikkan agama, berbagai
argumen filosofis-ilmiah itu tidak diperlukan.
Agama cukup
diyakini dan dijalankan. Para penceramah agama pun lebih banyak mengutip
ayat-ayat Alquran, hadis, dan pendapat ulama ketimbang membahasnya dari sisi
filsafat dan keilmuan modern. Bahkan, festival keagamaan semakin meriah.
Ditambah lagi agama ditarik-tarik ke politik. Karena itu semakin warna-warni
dan riuh-rendah wajah agama di Indonesia.
Namun, bagi
generasi baru yang mendapatkan pendidikan modern dan bergaullintasagama, serta
bangsa di lingkungan kerja dan kampus internasional, cara pandang terhadap
agama dan ketuhanan telah mengalami pergeseran cukup jauh. Berbeda dari
generasi orang tuanya. Mereka merasa dituntut untuk memiliki basis argumen dan
penalaran yang lebih ilmiah dan filosofis karena sering terlibat dalam obrolan
dan diskusi lintas agama dan lintas anak bangsa dalam suasana bebas, serta
terbuka.
Di antara
pertanyaan yang sering meneror mereka, yakni mengapa orang-orang sekuler yang
tidak bertuhan lebih peduli dan mencintai lingkungan hidup? Mengapa korupsi
lebih rendah terjadi di lingkungan masyarakat sekuler? Demikianlah, masih
banyak pertanyaan kritis dan fenomena sosial yang sering dijadikan argumen yang
menggeser dan bahkan menantang posisi agama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara
dan sosial. Begitu masuk panggung sosial, agama apa pun mesti siap menghadapi
kritik, ujian, dan hujatan sehingga pada urutannya akan terjadi seleksi dan
pendewasaan alamiah.
0 komentar:
Posting Komentar