SECARA
umum disebutkan, manusia memiliki dua garis komunikasi, vertikal dan
horizontal, atau habl min Allah dan habl min al-naas, yaitu komunikasi
dengan Tuhan dan komunikasi dengan manusia.
Ini adalah bentuk komunikasi
eksternal antara manusia dengan yang ada di luar dirinya. Namun ada satu garis
komunikasi yang sering kali luput dari perhatian kita, yaitu habl min
al-nafs, komunikasi dengan diri sendiri, jiwa kita sendiri. Dalam istilah
tasawuf, model komunikasi internal ini disebut muhasabah, yaitu
berkomunikasi dengan diri sendiri dalam rangka introspeksi untuk menjadi
seorang pribadi yang memiliki kualitas lebih baik. Membangun komunikasi
eksternal tidak mudah. Banyak hambatan dan tantangannya.
Dengan Tuhan misalnya, meskipun
sebagai pemeluk agama kita tahu itu adalah kewajiban, tetap saja tidak selalu
mulus karena kalaupun kita menjalankannya sering kali kita terjebak pada
melaksanakannya sebagai rutinitas daripada sebagai bentuk ketundukan kepada
Tuhan. Dengan manusia pun tidak berbeda. Tidak sedikit komunikasi dengan sesama
hanya menorehkan noda, luka,dan petaka. Jika berkomunikasi dengan sesuatu di
luar diri sendiri saja sulit,apalagi dengan diri sendiri. Berkomunikasi dengan
diri sendiri tingkat kesulitannya bisa jadi sama dengan sulitnya melihat
tengkuk sendiri; dia begitu dekat, tapi begitu jauh untuk dilihat dan
ditelisik.
Area untuk melakukan objektivikasi
kepada objek komunikasi, yaitu diri sendiri, menjadi sangat sempit. Karenanya
bukan hal yang aneh kalau ketika terjadi gejolak dalam diri sendiri, ada
kecenderungan untuk lebih melemparkan kesalahan kepada orang lain daripada
mengembalikannya kepada diri sendiri. Makanya ada pepatah mengatakan, bila
ingin tahu tentang pribadi seseorang yang sesungguhnya, tanyakanlah kepada
kawannya. Ini menunjukkan betapa pesimistisnya melihat kemampuan seseorang
untuk mendeskripsikan dirinya sendiri secara objektif dan gamblang.
Mengenali diri sendiri sangat
penting sebagai landasan untuk membangun komunikasi dengan manusia dan Tuhan.
Salah satu bentuk mengenali diri sendiri adalah mengenali apa yang menjadi
kelebihan dan kekurangan. Bila sudah mampu melakukan itu, akan lebih mudah
menata diri dan kalau perlu menghiasinya.Ibarat rumah, sebelum menata isinya
dan menaruh pernik-pernik di sana-sini, hal pertama yang harus dilakukan adalah
mengenali kelebihan dan kekurangan serta keterbatasan tata ruang atau desain
interiornya. Jangan sampai membeli kursi ukuran jumbo dan berbentuk huruf L,
padahal ruang tamu yang tersedia adalah ukuran kecil dan berbentuk bundar.
Batas dan ”kekurangan” rumah itu
adalah ruangan tamunya yang sempit sehingga jangan sampai dipaksakan untuk
diisi dengan barang berukuran jumbo. Bisa saja masuk, tapi tidak lagi serasi
dan nyaman dilihat dan ditempati. Padahal, ruang sempit dan kecil juga akan
tetap nyaman dan indah bila ditata sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan
mengenali dan menerima keterbatasan ruang yang kita punya, tidak perlu ada
pikiran, ucapan, dan sikap yang menuduh bahwa si pembuat kursi jumbolah yang
tidak tahu diri, salah, atau bodoh karena membuat ruangan rumah menjadi sumpek
dan tidak nyaman.
Bila tuduhan itu dilontarkan, saat
satu jarinya menunjuk kebodohan orang lain, tanpa disadarinya keempat jari yang
lain menunjuk dirinya sendiri. Halakan ’imru’ lam ya’rif qadrah,
hancurlah seseorang yang tidak mengenali kadar dirinya. Mengenali dan menerima
kelebihan tentu lebih mudah daripada mengenali dan menerima kekurangan meskipun
mengenali kelebihan diri sendiri pun bisa membuat seseorang lupa pada
kekurangannya. Dalam konteks sosial, mengenali dan menerima diri penting bila
kita ingin menjadi pribadi yang sehat dalam bergaul dan berkomunikasi dengan
sekitarnya, baik dengan pasangan, keluarga, teman maupun masyarakat secara
umum. Salah satu penyakit dalam pergaulan adalah cemburu, iri, dengki atau
hasad.
Sifat ini sangat tercela. ’Iyyaakum
wa al hasad fa ’inna al hasad ya’kul al hasanaat, kama ta’kul al naar al hathab,
artinya jauhilah sifat iri dengki karena sifat ini akan menghilangkan kebaikan
sebagaimana api meluluhlantakkan kayu bakar. Orang iri itu tidak bahagia
melihat kelebihan, kebahagiaan, dan nikmat yang diterima orang lain. Apa yang
dimiliki orang lain seakan memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang
dimiliki dan tidak dimilikinya. Bila orang lain punya rumah mewah, seakanakan
kemampuan orang lain memiliki rumah itu berkaitan dengan ketidakmampuan dirinya
untuk punya rumah.
Padahal sesungguhnya tidak ada.
Yang terjadi adalah, dia tidak mau mengenali dan menerima ketidakmampuan dia
untuk memiliki rumah seperti orang lain dan itu diproyeksikan dalam
ketidakmampuan dia menerima kelebihan orang lain. Iri dan dengki itu
sesungguhnya adalah bentuk sikap minder karena dia tidak percaya diri dengan
apa yang dimilikinya. Demikian juga dengan sikap menghina dan merendahkan orang
lain. Bila diamati, sikap ini adalah cermin pribadi yang gagal mengenali dan
menerima kekurangan diri. Maka, untuk membuat dirinya pintar, dia harus
membodoh-bodohkan orang lain, untuk membuat dirinya hebat harus mengecilkan
orang lain, untuk membuat dirinya tinggi, dia harus merendahkan orang lain.
Padahal, kalau memang dia percaya
diri dengan kelebihan dirinya, tanpa mengerdilkan, menghina, dan merendahkan
orang lain pun dia akan tetap hebat, terhormat, dan tinggi. Mengenali diri
sendiri adalah bentuk paling nyata kita mencintai diri sendiri atau self-love
yang berbeda dengan selfish atau egois. Mencintai diri sendiri (self-love)
adalah sikap peduli dengan selukbeluk diri sendiri dan menjaga tatanannya agar
sehat dan kuat. Ini penting karena sikap dan perilaku yang sehat, penuh cinta
kasih hanya akan lahir dari mereka yang memiliki kepribadian sehat dan memiliki
cinta untuk dirinya.
Karenanya, bila ingin menebar sikap
cinta kasih, damai kepada sesama, maka tugas pertama adalah cintailah dulu diri
sendiri dengan cara menatanya dan berdamailah dengan segala kekurangannya.(*)
0 komentar:
Posting Komentar