DIRIWAYATKAN oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah,
Rasulullah pernah bersabda, sesungguhnya Allah itu pemalu dan pemurah.
Bila ada seorang hamba yang mengangkat tangannya
bermohon kepada-Nya dengan sungguh sungguh, Dia malu untuk menolaknya dan
melihat hamba-Nya kembali dengan tangan kosong. Salah satu sifat yang dimiliki
oleh semua Rasul Tuhan adalah sifat malu melakukan tindakan tercela, baik di
hadapan manusia maupun Tuhan.
Jika manusia tidak lagi memiliki rasa malu, tak
ubahnya dia dengan hewan. Orang yang berbudi luhur tidak saja malu melakukan
perbuatan tercela, bahkan melihat orang lain berbuat asusila saja sudah malu
rasanya. Contohnya sangat mudah dan sederhana. Kita semua pasti akan malu
sendiri melihat orang lain berjalan telanjang di tempat keramaian. Kita malu
membaca berita sekian banyak wakil rakyat korupsi. Kita malu menyaksikan sikap
dan omongan politisi tidak bermutu, padahal tingkat pendidikannya tinggi dan
selalu mengatasnamakan rakyat.
Rasulullah bersabda, rasa malu dan iman itu dijadikan
pasangan, jika hilang salah satu,maka hilanglah yang lain. Jadi, salah satu
indikator apakah seseorang atau masyarakat itu masih memelihara iman atau
tidak, perhatikan saja tingkat kesetiaannya dalam menjaga kehormatan diri
berupa rasa malu berbuat yang tidak baik. Salah satunya adalah korupsi,
berbohong, tidak menepati janji, dan sekian banyak perbuatan tercela lainnya.
Betapa rasa malu itu sangat vital, mudah diamati pada
keluarga yang terkena musibah. Misalnya saja ada seorang ayah atau kepala keluarga
yang memiliki status sosial tinggi dan terhormat, pasti anggota keluarganya
akan bangga padanya. Namun, ketika yang bersangkutan tiba-tiba diberitakan
media massa sebagai penjahat negara dan kemudian masuk tahanan, peristiwa itu
bagaikan bencana tsunami yang menghancurkan kehormatan dan kebanggaan keluarga.
Semua anggota keluarganya merasa berat menanggung malu.
Mungkin saja ada segelintir orang yang tidak lagi
memiliki rasa malu, sehingga masuk kategori hewan dan telah hilang imannya.
Rasulullah bersabda, ”Perbuatan keji itu kotoran, sedangkan rasa malu itu
hiasan.” Ungkapan ini singkat, padat,dan memiliki kebenaran universal. Di
manapun kita bepergian, entah di dalam ataupun di luar negeri, sebuah
masyarakat dianggap tinggi peradabannya ketika masih memiliki rasa malu. Meski
tingkat ekonomi dan teknologi sebuah negara tergolong maju, tetapi ketika tak
lagi menjaga rasa malu, maka hancurlah bangsa itu.
Di antara bangsa yang masih menjaga kehormatan dirinya
dengan memelihara rasa malu adalah Jepang. Seorang menteri akan rela mundur
dari jabatannya, bahkan melakukan harakiri, kalau gagal melaksanakan tugas yang
diamanatkan kepadanya. Belum lama berselang bahkan mantan presiden Korea
Selatan melakukan bunuh diri karena dituduh korupsi. Daripada membuat malu bangsanya
dan menjadi beban pemerintah, lebih baik mengakhiri hidup dengan cara saya
sendiri, katanya. Secara pribadi saya tidak setuju tindakan bunuh diri.
Tetapi yang patut direnungkan dan diteladani adalah
kuatnya rasa malu ketika gagal mengemban amanat. Rasa malu ketika menyusahkan
orang lain. Rasa malu ketika melakukan tindakan tercela dan merugikan
masyarakat. Sifat dan sikap seperti ini tampaknya semakin menipis dan hilang
dari dunia politik dan birokrasi di Indonesia. Sering kali ditemukan, petugas polisi
lalu lintas tidak malu menerima uang sogokan dari pengendara yang distop karena
salah jalan. Petugas birokrasi yang kewajibannya melayani rakyat, tidak malu
meminta uang pada tamu yang datang meminta hak haknya untuk dilayani.
Banyak politisi tidak malu mengejar dan meminta-minta
jabatan, meski dirinya tidak memiliki kompetensi. Demikianlah, setiap hari kita
melihat perilaku sosial di sekeliling kita yang menunjukkan sifat malu semakin
menipis di negeri yang katanya religius ini. Padahal, menurut sabda Rasul, iman
dan malu itu pasangan yang tidak terpisahkan, jika hilang yang satu maka
hilanglah yang lain. Ada masyarakat yang memiliki rasa malu namun tanpa iman,
ada lagi yang mengaku memiliki iman tapi kehilangan rasa malu.
Jika untuk urusan dunia, mereka yang menjaga rasa malu
tampak lebih baik, meski tidak beriman. Tinggal ditambahi saja iman.
Sebaliknya, meski mengaku beriman, tetapi jika tidak disertai sikap malu,
imannya pun tidak membuahkan akhlak mulia dalam kehidupan pribadi maupun
masyarakat. Padahal akhlak mulia atau ihsan merupakan buah yang diharapkan
keluar dari iman.
Allah sendiri memiliki sifat malu. Ini suatu kabar
gembira bagi mereka yang tengah dalam kesulitan agar jangan segan-segan selalu
berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan, mengadu dan mohon pertolongan agar
diringankan semua beban hidupnya. Lebih diutamakan lagi datang dan memohon pada
Tuhan di tengah malam, di saat orang lain umumnya tidur lelap. Tuhan malu pada
hamba-Nya yang bangun di malam hari khusus untuk beraudiensi dengan-Nya,
memohon ampunan, rezeki, dan apa saja yang sangat dihajatkan.
Tuhan malu jika hamba tadi pulang dengan tangan kosong. Jangankan Tuhan Yang Maha Pemurah, kita sebagai manusia saja pasti malu dan tidak tega jika ada pengemis, teman, atau saudara yang datang dari jauh minta pertolongan. Pasti hati kita tergerak untuk membantunya. Kekuatan doa ini banyak diceritakan dan diyakini, terutama oleh para orangtua kita. Banyak keajaiban hidup dan cerita sukses yang sulit dicerna oleh nalar, namun mereka yakin sekali semua itu merupakan buah dari doa yang selalu dipanjatkan kepada Tuhan.
Doa yang paling sering dipanjatkan orang tua adalah
memohon pada Tuhan untuk kebaikan dan kesuksesan anak-anaknya. Saya yakin,
banyak cerita sukses anak muda yang sebagian besar kesuksesannya adalah berkat
doa orang tuanya. Bahkan ada orang tua yang tidak saja rutin bangun salat
malam, khusus berdoa untuk anak-anaknya, bahkan ada yang disertai puasa
Senin-Kamis. Mereka berpandangan, ibadah itu semata untuk Tuhan. Tak ada konsep
kirim pahala.
Namun mereka juga yakin, doa orang berpuasa dan bangun
tengah malam akan lebih diperhatikan Tuhan, mengingat Tuhan malu dan maha
pemurah, sehingga pasti akan mendengarkan dan mengabulkan doa hamba-Nya yang
disampaikan dengan sungguh-sungguh. Dalam sabda yang lain Rasulullah
memberitahukan, doa yang dikabulkan Tuhan adalah yang senantiasa dipanjatkan,
baik waktu senang maupun waktu susah.
Artinya, seseorang itu memang sungguh sungguh
mengingat Tuhan tidak saja waktu mendapat musibah, tetapi juga ketika menerima
kemudahan dan kesenangan. ”Kalau engkau tidak memiliki rasa malu, berbuatlah
apa saja layaknya hewan, karena yang membedakan manusia dan hewan adalah adanya
rasa malu,” Rasulullah mengingatkan.(*)
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia,
29 Mei 2009
0 komentar:
Posting Komentar