Dalam
kehidupan sehari-hari, nama berperan terutama untuk sebutan atau panggilan.Andaikan
orang-orang dan benda-benda di sekitar tanpa nama, bagaimana kita akan
melakukan komunikasi sosial?
Nama bagi seseorang tidak saja
sekadar sebagai panggilan, tetapi ada yang mengandung doa, sifat, dan memiliki
asosiasi dengan marga, orang tua,dan sebagainya. Ketika soal nama dilekatkan
kepada Tuhan, banyak aspek yang menarik dibahas lebih luas dan lebih dalam
lagi. Fungsi nama paling dirasakan urgensinya ketika berhubungan dengan pihak
kedua atau ketiga. Dalam kesendiriannya, Tuhan adalah Dia yang Maha Esa, Maha
Gaib, absolut, tidak terjangkau oleh akal pikiran.
Tapi ketika manusia hendak
mendekati dan menyapa Tuhan, di situ muncul kebutuhan tentang nama. Maka Dia
lalu mengenalkan diri-Nya dengan nama Allah. Dalam tradisi Islam,Tuhan memiliki
nama sebanyak 99, yang paling agung dan mencakup semua nama itu adalah nama
Allah, nama Tuhan yang paling Agung, yang menghimpun semua nama-Nya yang lain (ismul
jami’). Jumlah nama Tuhan yang 99 itu pun masih bisa dibahas lagi.
Bukankah Tuhan Yang Absolut tidak bisa dibatasi nama dan sifat-Nya?
Bukankah kombinasi atau sintesis
dari berbagai nama dan sifat itu akan melahirkan nama dan sifat lain? Itulah
sebabnya ada yang menafsirkan, 99 adalah angka simbolik, dua angka omega
disandingkan, berarti tak terhingga, ibarat menatap matahari, mata tak sanggup
menghitung jumlah cahayanya. Orang mendekati dan menyapa Tuhan dengan sebutan
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.Artinya, pemahaman, persepsi, dan
kebutuhan seseorang kepada Tuhan pasti akan dipengaruhi oleh perkembangan
mental, pikiran, fisik,dan jiwanya. Ketika seseorang dalam kondisi miskin,
merindukan kelimpahan harta, maka dia akan menyapa Allah sebagai yang Maha
Kaya, Pemurah dan Kasih.Ketika sakit, seseorang akan menghadirkan Tuhan Yang
Maha Dokter, Maha Penyembuh.
Waktu dalam situasi sulit, Tuhan
diyakini sebagai Maha Penolong, Maha Pembuka Jalan. Demikianlah seterusnya,
manusia dan umat beragama meyakini Tuhan yang Esa tetapi persepsi,
keyakinan,dan penekanannya berbeda-beda ketika berdoa karena dipengaruhi
kondisi subjektifnya. Kita semua pasti punya pengalaman otentik mengenai
pemahaman dan kebutuhan tentang Tuhan yang berkembang sejak masa kanak-kanak
sampai usia dewasa. Dalam suasana sehat, semuanya serbamenyenangkan, mungkin
rasa kebutuhan dan ketergantungan kepada Tuhan akan berkurang. Tapi ketika
dalam suasana sulit atau kondisi kritis, maut terasa sudah mendekat, pasti
berbeda lagi penghayatan seseorang tentang Tuhan.
Doanya pun mungkin sangat khusyuk.
Jadi, kalau sekarang kita melihat sekelompok orang melakukan demonstrasi dan
meneriakkan “Allahu Akbar” keras- keras dengan nada marah, mungkin dia merasa
tidak aman, merasa kecil, sehingga yang lebih ditekankan adalah Allah Maha
Besar. Yang merasa terancam dan kecil pasti bukan Tuhan, tetapi perasaan
mereka. Dan itu sah-sah saja, tak ada yang salah mengingat perkembangan
pemahaman dan penghayatan seseorang tentang Tuhan memang fluktuatif, tidak
statis. Namun menjadi persoalan kalau perkembangan paham keberagamaan itu lalu
mengeras dan melembaga menjadi gerakan sosial serta menganggap dirinya paling
benar dengan menyalahkan dan menghujat yang lain. Inilah yang muncul
akhir-akhir ini.
Di antara mereka itu adalah
anakanak muda yang memang dalam fase pencarian makna hidup dan jati diri. Dalam
proses pencarian itu mereka menjadi rentan terhadap politisasi kalau yang
bersangkutan memiliki problem psikologis dan ekonomis. Para ulama dan orang tua
sebaiknya menyikapi dengan sabar, cerdas, dan penuh cinta kasih terhadap
anak-anak atau adik-adik kita yang memang tengah dalam proses pencarian yang
kadang-kadang menabrak kemapanan atau tradisi keagamaan yang berlaku.
Namun ketika mereka sudah sampai
pada tindakan destruktif, terlebih melawan UU, itu kewajiban polisi untuk
menyelesaikannya. Saya sendiri mengamati secara dekat, ada sekelompok mahasiswa
yang begitu intensif atau radikal melakukan pencarian dan pengembaraan
intelektual dalam mendalami agama. Ada yang menjadi militan dan dekat dengan
aksi-aksi kekerasan ketika memperoleh stimulasi dari luar kampus. Ada lagi yang
menjadi liberal, memberontak tradisi yang mapan.
Namun, dengan bertambahnya usia,
ilmu pengetahuan, pergaulan, tanggung jawab keluarga, profesi, mereka menjadi
tampak lebih matang dan dewasa memahami agama dan menjalani hidup. Jadi, memang
benar bahwa penghayatan dan ketaatan pada Tuhan itu berkembang. Di hari tua
mungkin Allah lebih dihayati sebagai Yang Maha Pengampun dan Maha Kasih karena
seseorang butuh kedamaian, bukannya kemarahan dan peperangan.
0 komentar:
Posting Komentar