SECARA
historis-politis, cukup validkah kita mempertentangkan antara Barat dan Islam?
Pertanyaan inilah yang secara provokatif tapi logis dibahas oleh Graham E
Fuller dalam karya terbarunya A World Without Islam (2010).
Fuller yang sekarang menjadi
profesor sejarah di Simon Frase University (Kanada) pernah menjadi orang
penting di lingkaran CIA sehingga memiliki data lapangan yang kaya dan
ketajaman analisis sebagai sosok akademisi. Menurut Fuller, tanpa kehadiran
Islam pun sesungguhnya Barat dan Timur Tengah sejak berabad-abad lalu sudah
terlibat konflik dan peperangan. Abad lalu jika disebut Barat berarti Eropa.
Tapi sekarang simbol kekuatan Barat direbut oleh Amerika Serikat (AS).
Namun sesungguhnya sentimen dan
akar konflik serta perebutan hegemoni regional dan agama antara Barat dan Timur
Tengah sudah berlangsung berabad-abad. Bahkan itu terjadi di lingkaran Kristen
sendiri, baik konflik antara Protestan dan Katolik yang berdarah-darah maupun
antara Katolik Roma dan Katolik Timur Tengah. Bukankah ketiga agama yang selalu
terlibat konflik––Yahudi, Kristen, dan Islam––semuanya lahir di kawasan Timur
Tengah? Fuller menulis: “In today’s world, ‘Islam’ has become the bumper
sticker for America, the default cause of many of our problems in the Muslim
world. In the past we have gone in to do battle with anarchists, Nazis,
Facists, communists – today it is ‘radical Islam’(hal 8).
”Bagi AS,Islam dikonstruksi
sedemikian rupa sebagai sasaran tembak untuk melakukan konsolidasi kekuatan
Barat dalam upaya menguasai dan menjarah sumber alam Timur Tengah, sementara
bagi negara-negara Timur Tengah, Islam dijadikan perekat untuk melakukan
perlawanan terhadap Barat. Padahal posisi Islam hanyalah komplementer saja yang
datang belakangan.Tanpa Islam persaingan Barat versus Timur Tengah akan tetap
berlanjut, yang sekarang ini Timur Tengah dalam posisi kalah.
Lagi-lagi Fuller mengingatkan,“
Actually,in many senses there is no “Muslim world” at all, but rather many
Muslim worlds, or many muslim countries and different kinds of Muslims.”
Jadi yang namanya “duniaIslam” sebagai sebuah entitas politis-ekonomis secara
solid dan kohesif sesungguhnya tidak ada, sebagaimana juga tidak ada “Barat”
yang tunggal. Secara politis dan ekonomis negara-negara muslim mempunyai agenda
dalam negeri masing-masing dan bahkan mesti dibayar dengan perang untuk
mempertahankan kepentingan komunalisme regional dan indentitasnya.
Konflik yang terjadi antara Suriah,
Irak, Iran, Arab Saudi, dan Mesir hanyalah kelanjutan persaingan etnis dan
regional jauh sebelum Islam datang. Begitu pun persaingan antara Gereja Roma,
Konstantinopel, dan Ortodoks Timur yang berpusat di Suriah dan Palestina sudah
berlangsung ratusan tahun. Kemuliaan agama selalu saja tercoreng dan
terkooptasi oleh negara yang secara laten berambisi memenuhi nafsu kekuasaan
politik dan ekonominya.
Meski Kristen lahir di wilayah
Arab, agama ini berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Namun sengketa dan klaim
mazhab atau sekte tidak pernah hilang. Beberapa sekte Kristen Ortodoks Timur
yang menggunakan bahasa Arab dan Yunani mengklaim dirinya paling dekat dengan
tradisi Yesus. Namun mereka sadar sebagai pihak yang kalah dalam persaingan
politik dan ekonomi dari sekte Kristen yang berkembang di Barat.
Klaim sebagai komunitas paling
dekat dengan tradisi Islam yang otentik juga dikembangkan oleh masyarakat
muslim Arab Saudi sehingga memandang umat Islam non-Arab seperti Turki dan
Indonesia sebagai umat Islam pinggiran (periferal). Meski dikenal sebagai
kantong umat Islam terbesar, Islam Indonesia dianggap rendah kadar
keislamannya. Lingkungan masyarakat Barat pun baru belakangan ini semakin tahu
Indonesia sebagai the largest muslim country, terutama setelah Barack Obama
menjadi Presiden AS yang belum lama ini berkunjung ke Indonesia dan pidatonya
diikuti oleh rakyatnya.
Dunia baru tahu bahwa ternyata di
Indonesia, demokrasi dan Islam tidak perlu dipertentangkan. Adapun peristiwa
terorisme yang mengatasnamakan Islam memang kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Namun sungguh ceroboh kalau kasus ini digeneralisasi untuk memberi label dunia
Islam.
Di satu sisi, radikalisme dengan
simbol keagamaan dimunculkan oleh para militan Islam untuk meraih dukungan
secara masif, tapi di sisi Barat simbol ini sengaja digunakan untuk menciptakan
musuh baru setelah komunis ambruk. Di dunia ini begitu banyak pemerintah sah
yang semula oleh lawan politiknya, yaitu imperialis Barat, dianggap teroris.
Jadi, menyebut “dunia Islam”sebagai satu entitas politik, ekonomi, dan
kebudayaan perlu dipertanyakan kesahihannya.(*)
0 komentar:
Posting Komentar