KATA
agama, sebagaimana juga kata religion,memiliki puluhan definisi sehingga kata
yang sama bisa memiliki makna dan maksud berbeda di antara mereka yang
mengucapkannya.
Di Indonesia ada yang membuat
perbedaan tegas antara agama dan kepercayaan kepada Tuhan. Yang pertama
diyakini datang dari Tuhan melalui Rasul-Nya yang kemudian terabadikan pesan
ilahi itu ke dalam kitab suci, sedangkan yang kedua tidak mengenal konsep
ketuhanan dan kerasulan. Tetapi, kategori yang populer dengan istilah ”agama
langit” dan ”agama bumi” ini juga mengundang perdebatan.
Baik bumi dan langit keduanya
adalah ciptaan Tuhan. Di Indonesia banyak penganut aliran kepercayaan yang juga
meyakini Tuhan sekalipun tidak memiliki konsep kenabian. Dalam berbagai
literatur, umat Buddha hampir tidak pernah bicara tentang Tuhan. Begitu pun
Kong Hu Cu yang lebih dikenal sebagai filsafat hidup. Tetapi, karena terikat
konstitusi negara yang berlandaskan Pancasila, keduanya yang telah resmi diakui
sebagai agama mesti mengakui Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan ini langkah bijak untuk
memperoleh perlindungan hukum dan administrasi karena keberadaan sebuah agama
atau aliran kepercayaan memerlukan perlindungan hukum. Tetapi, urusan keyakinan
yang bersifat pribadi, negara tidak bisa mencampuri. Di Barat pernah terjadi
skeptisisme terhadap lembaga keagamaan karena dianggap korup dan terlibat
berbagai konflik dan perang berdarah-darah.
Munculnya faham
humanisme-sekularisme dan Marxisme antara lain dipicu oleh kebobrokan
organisasi dan penguasa gereja waktu itu yang menekan penalaran ilmiah serta
lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan dengan mengatasnamakan Tuhan. Butuh
waktu sangat lama gereja dan agama-agama di Barat untuk bisa menarik kembali
simpati masyarakat Barat yang sudah merasa hidup damai dan nyaman tanpa agama.
Mereka percaya kepada Tuhan, tetapi enggan bergabung dengan lembaga keagamaan.
Tidak hanya terjadi di Barat yang
mayoritas Kristiani, di dunia Islam pun gejala ini mulai tampak terjadi.
Berbagai ekspresi keagamaan dengan bahasa kekerasan dan kebencian telah
menimbulkan kekecewaan dan skeptisisme di kalangan remaja-remaja dan mereka
yang tengah tertarik mempelajari agama. Saya berjumpa kalangan eksekutif kota
yang tengah tertarik mempelajari Islam yang merasa kecewa melihat materi dan
metode dakwah yang dirasakan kurang tepat bagi kalangan intelektual dan
eksekutif yang pergaulannya lintas agama dan bangsa.
Berbagai tindak kekerasan atas nama
agama yang mendominasi pemberitaan di media massa juga membuat kecewa. Agama
yang selalu dibayangkan sebagai sumber kedamaian, ilmu pengetahuan, dan
kebajikan hidup ternyata diwarnai dengan fanatisme- ekstremisme yang tidak
memberi ruang untuk berdialog dengan santun, cerdas, dan bersahabat. Agama lalu
menjadi pemisah dan sumber kecurigaan serta persaingan yang tidak sehat dalam
kultur sebuah perusahaan atau perkantoran.
Ini sangat tidak sehat dan akan
menggerogoti profesionalitas dan produktivitas kerja. Semestinya agama menjadi
pendorong untuk berlomba dalam berprestasi, sebagai tali pengikat persahabatan
yang saling menghargai perbedaan, bukan penyebar suasana pengap, ruwet, curiga,
dan saling gertak. Orang yang mudah terpancing untuk marah, apa pun alasannya,
akan mudah ditunggangi dan dibelokkan oleh mereka yang menyimpan agenda politik
partisan.
Mereka sangat rentan dimanfaatkan
sebagai ujung tombak untuk melukai atau menusuk kelompok tertentu. Ini sudah
sering terjadi di mana-mana. Ironisnya, banyak di antara mereka yang dijadikan
sebagai ujung tombak merasa jadi pembela agama dan berjuang di jalan Tuhan, dan
seringkali menunjukkannya dengan berperilaku brutal terhadap orang di luar
kelompoknya meskipun sesama muslim. Akhir-akhir ini banyak orang mulai merasa
skeptis terhadap ormas dan gerakan keagamaan karena isu keagamaan yang mencuat
ke permukaan selalu seputar soal kekerasan dan pertikaian.
Media massa pun sering tidak
selektif dan edukatif dalam menyajikan beritanya. Simbol-simbol keulamaan dalam
Islam seperti kiai, ustad, dan habib yang semestinya dijaga kehormatannya,
kemudian tercoreng dan tak lagi memperoleh simpati dan kepercayaan masyarakat.
Padahal di Indonesia ketiganya memiliki konotasi ahli agama atau pendakwah
agama yang dihormati. Terhadap fenomena seperti itu, ada tiga macam bentuk
respons.
Pertama, ada kelompok mayoritas
yang bersikap moderat dan memilih diam, dua kutub lainnya adalah mereka yang
bersuara lantang dan terkesan galak dalam membela Islam, dan mereka yang
bersikap skeptis dan sinis pada organisasi dan gerakan keagamaan. Di Barat
pernah muncul slogan: Spirituality-Yes, Religion-No. Ada lagi ungkapan
lain: Yes to God, No to Religion. Bukan mustahil bahwa di Indonesia
slogan-slogan seperti ini bisa saja berkembang.(*)
0 komentar:
Posting Komentar