Anda
tidak perlu Tuhan untuk berperang. You don’t need God for a war,
demikian John Micklethwait, pemimpin redaksi majalah The Economist,
bersama Adrian Wooldridge seorang kolumnis, dalam karyanya God is Back. Buku
setebal 405 halaman ini menyajikan fakta sosial seputar kebangkitan keyakinan
agama yang meramaikan panggung politik global di awal abad ini.
Jika Anda naik pesawat terbang dan
mendarat di Bandar Udara Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, Anda akan
disambut tulisan selamat datang: Music City, USA. Menurut Micklethwait,
mestinya ditambah lagi dengan papan nama: Faith City, atau Jesus City, bahkan
lebih mengena: Southern Baptist City, mengingat di kota ini terdapat sedikitnya
700 gereja, 65 persen penduduknya mengaku religius. Nashville juga dikenal
sebagai kota produsen buku-buku dan kaset keagamaan yang diekspor ke seluruh
dunia. Banyak penyanyi papan atas melakukan rekaman lagu-lagu keagamaan di kota
ini, sebut saja Hank Williams, Johnny Cash, atau Carrie Underwood.
Penggemar lagu-lagu gereja tak akan
sulit mencari kaset semisal Jesus Remembered Me, Jesus Dies for Me, How Can
You Refuse Him Now?, I Talk to Jesus Everyday, dan lainnya. Suasana batin
ini jauh berbeda dengan akhir abad ke-19 ketika seluruh universitas papan atas
AS menggusur ke pinggir posisi agama. Now God is returning to intellectual
life, tulisnya. Dulu orang belajar agama dianggap aneh atau semacam hobi bagi
sekelompok orang, tetapi sekarang belajar agama merupakan hal yang lumrah,
bahkan suatu kebutuhan.
Rapuhnya institusi keluarga dan
berkembangnya demoralisasi sosial telah ikut mendorong pertumbuhan agama yang
sangat mengesankan. Dikatakan, Islam and Pentecostalism today occupy a
”social space” analogous to early twentieth century socialism. Marx has
reemerged in the guise of radical imams and Pentecostal preachers.
Pisau bermata dua
Janji-janji surga dunia ideologi
besar marxisme dan kapitalisme yang tidak kunjung tiba telah ikut mendorong
agama untuk tampil kembali. Ada kerinduan dan harapan masyarakat modern
terhadap agama. Namun, agama yang berkembang dalam masyarakat yang kian
mengglobal ini tampil semakin warna-warni, beragam paham dan keyakinan.
Keragaman agama ini sekaligus juga potensial menimbulkan konflik. Oleh karena
itu, kehadiran kembali agama ini dalam waktu yang sama juga menimbulkan
ketakutan, dikhawatirkan akan semakin mengintensifkan konflik dan perang atas
nama Tuhan. Ketakutan ini cukup beralasan mengingat perang atas nama Tuhan
memang memiliki sejarah panjang.
Konflik agama bisa dibedakan
menjadi dua, yaitu konflik internal antarsekte dan konflik eksternal, yaitu
melawan agama lain. Konflik antara Protestan dan Katolik dan antara Sunni dan
Syiah, misalnya, telah menelan korban ribuan nyawa dan menyisakan luka di
antara mereka. Dalam ranah global, dua agama yang selalu menyimpan konflik
adalah antara Kristen dan Islam. Agama Yahudi terbatas hanya untuk keturunan
Israel, Hindu lebih berpusat pada rakyat India, Tao dan Konghucu untuk
orang-orang China Daratan dan perantauan, dan Shinto lebih banyak bagi
masyarakat Jepang.
Namun, konflik internal antarsekte
juga sangat fenomenal. Di kawasan Timur Tengah, terutama Irak dan Lebanon,
konflik berdarah-darah antara kelompok Sunni dan Syiah diperkirakan masih akan
berlanjut terus. Contoh ini bisa ditambah dengan menyajikan kasus Ahmadiyah di
Indonesia yang dihujat dan diserang oleh mayoritas Sunni. Bukanlah mustahil,
kalau suatu saat Syiah membesar sangat mungkin akan muncul konflik seperti di
Irak.
Jadi, meskipun gerakan agama
kembali bangkit, masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebangkitan
agama akan memberikan kehidupan lebih baik di masa depan? Di sini muncul
keraguan di balik God is Back. Tanpa melibatkan Tuhan saja berbagai
peperangan yang sadis dan brutal terjadi di mana-mana. Terlebih lagi jika emosi
agama ikut hadir menambah amunisi peperangan. Micklethwait mengatakan,
kebangkitan agama akan melipatgandakan jumlah orang yang siap untuk saling
berbunuhan dengan alasan agama. Konfrontasi antara nuklir Iran di satu pihak
dan Israel serta Amerika di pihak lain pasti akan menggema ke seluruh dunia dan
orang pun akan segera menafsirkan sebagai perseteruan agama.
Perseteruan antara India dan
Pakistan soal Kashmir pasti akan melibatkan emosi keagamaan meskipun pada
dasarnya merupakan persengketaan wilayah. Belum lagi di Filipina dan Indonesia,
hubungan antara minoritas dan mayoritas Islam-Kristen juga selalu menyimpan
bara konflik. Namun, tanpa melibatkan Tuhan dan agama sesungguhnya manusia
telah mengukir sejarah konflik berdarah-darah dan berkesinambungan. Abad dua
puluh adalah abad paling sekuler dan sekaligus paling berdarah-darah. Apa yang
disebut ”the Godless religions of Nazism and Communism” telah membunuh
puluhan juta manusia. Begitu juga pembantaian di Kamboja, Kongo, dan Rwanda,
kesemuanya sama sekali tidak melibatkan nama Tuhan. Lalu terorisme yang terjadi
di Sri Lanka dan Eropa juga bersifat sekuler.
Dengan kata lain, akar terorisme
tidak selalu dimotivasi oleh agama. Bahkan, dalam berbagai kasus agama
dijadikan jubah dan penambah amunisi, padahal akarnya bisa jadi adanya dominasi
mayoritas terhadap minoritas atau kekuatan asing yang akan menguasai atau
menjarah wilayah bangsa lain.
Politik identitas
Di tengah maraknya gelombang
demokratisasi di berbagai belahan dunia, salah satu konsekuensi yang kurang
diperhitungkan sebelumnya adalah munculnya gerakan politik identitas. Proses
demokratisasi yang tidak disertai penegakan hukum, partsipasi pendidikan dan
kesejahteraan sosial yang merata, maka politik identitas untuk memperjuangkan
kelompok etnis dan agama akan semakin menguat. Fenomena ini mesti dicermati dan
diantisipasi di Indonesia.
Agenda kelompok berdasarkan
kepentingan etnis, daerah, agama, dan parpol mendapatkan ruang manuver secara
leluasa dengan dalih hak asasi dan demokrasi. Indonesia sebagai negara bangsa
yang masih amat muda, sementara korupsi masih akut, lalu pemerintah yang tengah
berkuasa sangat diwarnai politik balas budi dan perkoncoan, sangat rawan untuk
menghadapi menguatnya politik identitas yang jika kebablasan akan memperlemah
demokrasi dan kohesi bangsa. Terlebih lagi jika ideologi transnasional yang
tidak setia pada semangat kemerdekaan RI dan Pancasila ikut bermain.
Jadi, tanpa melibatkan Tuhan saja
potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah terjadi.
Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan ekonomi dan
pendidikan serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang kita
perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarkelompok kepentingan yang tidak
rasional. Slogan Bhinneka Tungal Ika, keragaman dalam kesatuan, beralih menjadi
perseteruan dalam keragaman yang tidak kunjung reda.
*Komaruddin Hidayat adalah
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
**Artikel ini dimuat di Harian
Kompas, Jumat, 15 Januari 2010
0 komentar:
Posting Komentar