Dr Adian Husaini
Senin (23/4/2002)
malam, di satu TV swasta, seorang bintang tamu, perempuan anggota DPR,
berucap: dulu kiprah perempuan hanya
berkisar pada “dapur”, “sumur”, dan
“kasur”. Sekarang, sudah lebih maju. TV-TV lain pernah juga menampilkan
sosok-sosok perempuan yang dianggap
sukses, maju, dan perkasa: mulai anggota DPR, pilot pesawat tempur, penyelam,
petinju, sopir truk, tukang ojek, sopir bus, sampai tukang tambal ban.
Ungkapan yang memandang remeh urusan “dapur”, “sumur”, dan “kasur” sering kali terdengar. Beberapa profesi bagi perempuan dianggap maju
karena kiprahnya tak lagi berkisar seputar
“dapur”, “sumur”, dan “kasur”.
Suatu saat, dalam sebuah rapat, saya mendengar seorang dosen (perempuan)
berucap: “Saya tidak suka, kalau ada buku anak
yang masih menulis: ayah membaca koran, ibu memasak di dapur!”
Kita tentu sepakat,
perempuan harus “maju”, “pandai”, “bebas dari penindasan” dan sebagainya! Masalahnya, yang “maju”
apanya? Kadangkala, demi mengejar “kemajuan”, berbagai cara dilakukan! Ada buku berjudul Isu-isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Menengah (Pusat Studi Wanita UIN Yogya, 2004). Buku ini mengkritisi buku ajar di Madrasah
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah, yang dianggap bias gender. Contoh: di buku Pelajaran Fiqh, Kelas 4 Ibtidaiyah, ada gambar laki-laki
sedang bekerja membangun masjid. Gambar
semacam itu dikomentari: “Gambar yang ditampilkan nampak bias, sebab jika
dicerna bahwa gambar tersebut membawa dampak pada perempuan itu tidak dapat
bekerja menjadi tukang (membangun masjid), yang dapat menjadi tukang itu adalah
laki-laki.” (hal. 36).
Ada lagi buku berjudul: Pemahaman Islam dan Tantangan
Keadilan Jender (Pusat Studi Jender,
IAIN Walisongo Semarang (2002), yang isinya mengecam diskriminasi gender
dalam hal pembedaan batas aurat antara laki-laki dan perempuan: “
Aurat laki-laki ditentukan hanya antara pusar dan lutut, sedangkan aurat
perempuan meliputi seluruh tubuhnya (ada yang mengecualikan muka dan dua
telapak tangannya). Ketentuan ini memberi kebebasan dan kelonggaran kepada kaum
laki-laki. Sebaliknya, menekan kaum perempuan... Adilkah diskriminasi semacam
ini?” (hal.134-135).
Sebagai solusi, agar tak diskriminatif, dipinjam
pendapat Muhammad Syahrur, pemikir liberal asal Syiria: tubuh perempuan yang wajib ditutup HANYA
daerah antara dan bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan pantat. (hal.
141). Soal diskriminasi aurat laki-laki
dan perempuan juga pernah dikecam Jurnal Perempuan edisi 47: “RUU-APP secara
nyata mendiskriminasi perempuan. Sebagai contoh, dengan dicantumkannya definisi
mengenai bagian tubuh tertentu yang
sensual yaitu “sebagian payudara perempuan”. Sementara sebagian payudara
laki-laki tidak dikatakan sensual.” (hal. 36-37).
Agar perempuan
benar-benar “maju”, soal “kepala keluarga” juga diusik! Contoh, buku berjudul: Bias Jender dalam
Pemahaman Islam (Pusat Studi Jender IAIN Walisongo Semarang (2002),
menyimpulkan: kepala rumah tangga tidak
harus laki-laki: “Dalam pemahaman ini, kepemimpinan keluarga dapat dipegang
oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadl dan
infaq-nya lebih baik. (hal. 91).
Padahal, menurut pasal 70, draf sementara RUU-Kesetaraan
dan Keadilan Gender (RUU-KKG), semua bentuk diskriminasi akan “dipidana dengan pidana penjara paling
lama …. (….) tahun dan pidana denda paling banyak Rp … (….).”
***
Karena memandang
rendah urusan “dapur”, “sumur” dan “kasur”, ada yang berpikir, menjadi anggota
DPR, gubernur, menteri, duta besar, presiden, lebih mulia ketimbang menjadi Ibu
Rumah Tangga. Perempuan disuruh bangga karena tak lagi hanya mengurus “dapur”, “sumur” dan “kasur”. Negara
pun dipaksa mengikuti pola pikir ini! Negara wajib menyediakan jatah minimal
30% anggota DPR untuk perempuan. Meskipun diskriminatif, tapi demi
kemajuan perempuan, harus ditetapkan. Katanya, ini indikator kemajuan bangsa!
Targetnya, kesetaraan nominal 50:50 di ruang publik antara laki-laki dan
perempuan.
Kini, keterwakilan perempuan di DPR RI mencapai 18
persen. Bandingkan angka itu dengan negara lain: di AS keterwakilan perempuan di
parlemen 16,8%; Jepang 11,3%; Korsel 15,6%,
Malaysia 9,9%, Brazil 8,6%.
Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 56,3%,
Nepal 33,2%, Tanzania 36%, dan Uganda 34,9%, Ethiopia 27,8%. (Sumber: Women in
Parliament (November 2011), http://www.ipu.org/wmne/classif.htm).
Apa Rwanda lebih maju dari Jepang? Kini, dalam draf RUU-KKG, tuntutan keterwakilan 30% bagi perempuan diperluas
lagi ke seluruh lembaga pemerintah, non-pemerintah, sampai organisasi kemasyarakatan.
(pasal 4, ayat 2).
Pola pikir ‘gender equality’ nominal 50:50 tampaknya
lahir akibat memandang remeh urusan
“dapur”, “sumur”, dan “kasur”.
Padahal, urusan “dapur” memerlukan Ilmu Gizi yang tinggi. Bahkan, dari
urusan “dapur”, lahirlah restoran-restoran terkenal dengan nama
“Ibu”, Mbok”, “Mak” dan sebagainya.
Kadang, si “Mbok” bisa lebih
terhormat dan lebih besar penghasilannya dibanding gaji anggota DPR!
Urusan “sumur “
tarkait dengan masalah air, yang juga terkait dengan keilmuan, dan berkembang
menjadi industri raksasa. Urusan “kasur” pun tak kalah vitalnya . Dari urusan “kasur” inilah muncul para dokter
spesialis dan terapis alternatif yang sangat diburu banyak orang.
Karena itu, dalam
Islam, laki-laki dan perempuan – apa pun posisinya – wajib mencari ilmu, dari
lahir sampai mati. Tugas dan peran bisa berbeda. Seorang
professor pernah bercerita. Suatu saat istrinya – yang juga professor—berkata:
“Pak, saya lelah, saya mahu berhenti bekerja!”
Sang professor menjawab: “Itu enaknya kamu jadi perempuan! Boleh berkata
seperti itu! Kalau saya, tidak boleh berkata begitu. Sebab, itu kewajiban
saya!”
Jadi, jangan pandang remeh urusan “dapur”, “sumur” dan
“kasur”! Sudah terbukti, kepiawaian meramu “dapur”, “sumur”, dan “kasur” telah
membuat sejumlah perempuan mampu mengatur elite-elite negara, tanpa
perlu begadang pagi siang malam membahas Undang-undang, lalu berurusan dengan
KPK pula!
Dan bagi Muslimah shalihah, posisi apa pun tak masalah.
Yang penting untuk ibadah; menggapai bahagia, bersama ridha Allah dan ridha
suami yang saleh. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)
NB.
Artikel ini, dengan sedikit editing telah dimuat di
halaman opini, Harian REPUBLIKA, Rabu 25
April 2012
0 komentar:
Posting Komentar