ALKISAH, di sebuah desa hiduplah
seorang ulama yang sangat disegani,meski secara ekonomi hidupnya pas-pasan.
Dia berusaha mengajak penduduk di sekitarnya untuk
menyembah Tuhan dengan meninggalkan tradisi dan kepercayaan lama yang suka
menyembah gunung dan pohonpohon besar.Penduduk desa meyakini gunung dan
pohonpohon besar memiliki kekuatan gaib yang bisa menyejahterakan maupun
mencelakakan warga sekitar.
Suatu hari ulama tadi mendapat laporan bahwa tak jauh
dari desanya terdapat pohon yang sering didatangi penduduk untuk meletakkan
sesaji dan melakukan ritual, memohon keberkahan dari pohon yang diyakini
memiliki kekuatan magis itu. Mendengar berita itu, sang ulama mengambil parang
dan bergegas ke sana untuk memberikan khotbah dan kalau perlu menebang pohon itu.
Di tengah jalan,rupanya setan yang menjelma menjadi pemuda gagah dan kekar
telah menghadang.
Dia gembira kalau banyak warga desa yang jadi
temannya.”Mau pergi ke mana,Ustaz?”tanya pemuda tadi. ”Aku akan mengingatkan
penduduk desa agar meninggalkan kepercayaan sesat dan aku akan tebang pohon
yang membuat orang menjadi musyrik,” jawab ulama.Pemuda itu pun menggertak,
”Aku pemilik dan penjaga pohon itu. Siapa pun yang hendak menebang, mesti
melawan aku dulu.” Setelah ulama tadi mencoba berbicara baik-baik tidak mempan,
akhirnya terjadilah perkelahian fisik, antara ustaz yang kecil dan kurus
melawan pemuda yang kekar dan gagah. Pada akhir perkelahian, pemuda tadi kalah.
Maka ustaz mendatangi dan menasihati penduduk yang
sedang menyembah pohon agar membubarkan diri dan mereka tidak mengulangi lagi
perbuatan itu. Selang beberapa hari, rupanya masih saja terjadi ritual
menyembah pohon.Lagilagi sang ustaz pergi untuk memberi khotbah. Di tengah
jalan, setan yang menjelma menjadi pemuda kekar dan gagah mencegatnya, membujuk
agar jangan menebang pohon sambil menyodorkan uang kompromi—katakanlah lima
juta rupiah. Ustaz pun marah, merasa terhina, dan perkelahian tidak
terhindarkan.Lagi-lagi pemuda yang tampaknya lebih kekar dan perkasa itu kalah
melawan ustaz yang kecil dan kurus.
Penduduk pun kembali dinasihati dan diminta tidak
mengulangi. ”Kalau masih mengulangi lagi, pohon akan saya tebang,” kata sang
ulama tegas. Merasa sudah menang, ustaz tadi merasa lega karena telah berusaha
berdakwah mengajarkan tauhid, mengajak warganya ke jalan yang benar, hanya
menyembah Allah. Sungguh kaget, suatu hari ada berita bahwa penduduk lain
berdatangan untuk melakukan ritual serupa, membuat sesaji, dan berdoa pada
pohon yang dianggap angker dan magis itu dalam jumlah lebih besar.
Demikianlah,di tengah jalan ustaz sudah mengira pasti
pemuda tadi kembali akan mencegatnya. Dalam hati berbisik,berapa banyak uang
kompromi yang mau ditawarkan kali ini. ”Kalau saja tawarannya di atas dua puluh
lima juta, lumayan jugalah untuk memperbaiki rumah,” pikir ustaz tadi. Maka
sampailah ustaz tidak jauh dari pohon dan memang benar jumlah penduduk yang
menyembah pohon masih banyak.
Maka dicabutlah parangnya untuk menebang pohon
itu.Namun pemuda tadi menghadang sehingga terjadi perkelahian dengan disaksikan
orang banyak. Keberuntungan kurang berpihak, ustadz tadi akhirnya kalah dan
sungguh malu disaksikan orang banyak.Dia pulang dengan wajah merunduk. Sampai
di rumah dia merenung,merasa kalah,dan dipermalukan. ”Mengapa dulu aku menang
dengan mudahnya melawan pemuda itu,tetapi mengapa sekarang aku kalah?”
keluhnya.
Dia lalu ambil air wudu, terus salat mohon ampun dan
petunjuk kepada Tuhan. Dalam salat itu dia pun sadar dan terjawab mengapa dia
kalah. ”Perkelahian pertama dan kedua aku menang karena aku ikhlas, semata
karena Allah,sehingga pemuda yang gagah perkasa sanggup kukalahkan. Adapun yang
terakhir, dalam hatiku sudah ternoda dan tergoda membayangkan uang kompromi
atau sogokan dalam jumlah yang lebih besar, sehingga keikhlasanku tidak bulat,
bahkan rusak, maka aku tidak lagi sakti, bahkan jadi tertawaan setan dan
koncokonconya, meski aku seorang ulama.” Ulama tadi kehilangan the power of
ikhlas.
Masih ada kisah lain yang juga menjelaskan kekuatan
dan keajaiban ikhlas. Di suatu desa terdapat seorang ulama atau ustaz yang juga
disegani oleh warganya. Karena didorong oleh cintanya kepada ustaz, ada seorang
warga desa yang menghadap minta didoakan sambil membawa oleh-oleh singkong dari
kebunnya sendiri. ”Ustaz, ini sekadar hadiah, tak seberapa nilainya. Sebagai
rasa cinta dan syukur, saya membawa singkong dari hasil panen kebun sendiri.
Semoga Ustaz berkenan menerima hadiah ini,” ujarnya
sopan kepada ulama tadi. Ulama tadi terharu dengan kepolosan warga desa
tersebut, sehingga menggerakkan hatinya untuk membalas dengan memberi hadiah.
”Terima kasih kunjunganmu dan hadiah yang Engkau bawa. Semoga ke depan panenmu
semakin banyak. Sebagai rasa terima kasih, terimalah hadiah dari saya, seekor
kambing ini. Mudahmudahan ke depan akan beranak-pinak yang banyak dan sehat-sehat,”
kata ulama dengan ramah.
Betapa gembiranya warga desa tadi dan sangat terkesan
akan kebaikan hati sang ustaz, sekeranjang singkong ditukar dengan seekor
kambing yang gemuk. Selang beberapa hari rupanya ada tetangga yang tahu
kebaikan ustaz tadi. Maka pagi-pagi dia bertamu ke rumah ustaz dengan membawa
hadiah seekor kambing. ”Semoga Ustaz akan membalasnya dengan memberi hadiah
seekor sapi kepada saya,”bisiknya dalam hati.
Demikianlah,warga desa tadi datang bersilaturahmi dan
menyampaikan maksud hati untuk memberi hadiah seekor kambing sebagai tanda
hormat dan terima kasih padanya yang selama ini telah memberikan bimbingan
agama pada masyarakat. ”Terima kasih atas kebaikan hatimu. Sekadar sebagai
tanda terima kasih, ini saya hadiahkan sekeranjang singkong, pasti istri dan
anak-anakmu akan senang,” jawab ustaz sambil tersenyum. Dengan hati kecewa dan
muka agak masam tamu pulang sambil membawa sekeranjang singkong.
Dia menyesal, alih-alih mendapat hadiah sapi yang dia
bayangkan, kambingnya malah ditukar dengan singkong. Dua kisah tadi
kelihatannya sepele.Namun ada pelajaran yang amat berharga. Bahwa keikhlasan
merupakan sumber kekuatan dan kebahagiaan hidup. Ikhlas adalah energi dan
cahaya hati.
Tanpa keikhlasan, daya hidup akan melemah dan dunia
menjadi pengap.Yang muncul serbakurang, caci maki, dan selalu haus akan
pengakuan dan pujian. Ketika keduanya tidak diperoleh, hidup menjadi tidak
nyaman dijalani.(*)
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 26 September 2008
0 komentar:
Posting Komentar