Hidup itu bagaikan permainan catur.
Manusia bebas bergerak ke mana dia mau, namun pola gerakannya terikat dengan
ketentuan yang sudah pasti. Perhatikan saja permainan catur, setiap aktor yang
berada di atas papan terikat dengan pola gerakan yang sudah pasti. Jika
dilanggar, permainan catur jadi buyar.
Analogi ini bisa juga diterapkan pada permainan lain,
misalnya sepak bola. Pemain bebas bergerak melampiaskan kemerdekaannya, namun
tetap ada batasan yang mengikat dan mesti dipatuhi. Demikian juga halnya dalam
panggung kehidupan. Tuhan memberi anugerah kebebasan atau kemerdekaan, namun
manusia diikat oleh berbagai kepastian dan keterbatasan.
Batas yang paling mudah dilihat dan tidak bisa ditawar
adalah keterbatasan fisiknya. Alam membatasi manusia tidak bisa terbang seperti
burung atau menyelam ke dasar laut bagaikan ikan, sekalipun manusia memiliki
kebebasan berimajinasi untuk melakukannya. Baru nanti dengan kreasi akalnya
manusia menciptakan pesawat terbang atau kapal selam untuk dikendarai. Batasan
yang paling nyata dan pasti tentu saja umur.
Diskusi apakah manusia memiliki kebebasan berpikir dan
bertindak menjadi semakin rumit dan mengundang perdebatan abadi ketika dibawa
ke ranah teologi dan ilmu sosial. Benarkah tindakan seseorang murni hasil
pilihan dan kreasi dirinya ataukah tanpa disadari digerakkan oleh aktor lain
yang mendominasi?
Terdapat mazhab dalam teologi Islam yang menyatakan
bahwa manusia tak ubahnya wayang, sedangkan Tuhanlah sang Dalang yang
menggerakkan. Dalam ilmu sosial dan psikologi juga terdapat pikiran serupa.
Bahwa pikiran dan tindakan seseorang itu tanpa disadari merupakan pengaruh
luar, baik lingkungan, genetik, pendidikan, struktur politik, dan lain
sebagainya. Sampai tingkat tertentu manusia memang tetap memiliki kebebasan,
namun terdapat kekuatan luar yang tidak sanggup dia kontrol dan tolak yang
begitu dominan memengaruhi dan menggerakkan perilakunya.
Contoh yang paling mudah diamati adalah setiap anak
terlahir di luar pilihannya. Selanjutnya akan diasuh oleh lingkungan budayanya
yang sangat memengaruhi perasaan, pikiran, dan perilakunya, seperti dalam
berbahasa, selera makan, dan sistem kepercayaan yang dianutnya. Bahkan faktor
geografis tempat lahir dan tumbuh juga memengaruhi pola hidupnya.
Secara teoretis setiap orang memiliki kebebasan yang
dengannya menjadi syarat sebuah tindakan akan dikatakan baik atau buruk.
Tindakan apa pun tanpa adanya kebebasan untuk memilih akan sulit dikategorikan
baik atau buruk, jika hal itu dilakukan secara terpaksa atau kehilangan akal.
Itulah sebabnya orang yang hilang akalnya, anak kecil, atau terpaksa, hukuman
tidak berlaku.
Bahkan untuk berislam dan beriman pada Tuhan
disyaratkan adanya pilihan bebas, bukan karena paksaan. Paksaan akan merampas
ketulusan. Namun, sekali lagi, secara sosiologis dan psikologis perlu disadari
bahwa perilaku seseorang ternyata juga dipengaruhi dan digerakkan oleh
faktor-faktor yang bekerja di luar dirinya.
Dengan demikian kita dituntut bersikap bijak, jangan
mudah menghakimi dan menyalahkan orang lain karena tindakan apa pun pasti ada
faktor luar yang kadang kala memaksanya untuk melakukan. Hanya orang-orang yang
memiliki daya kritis, kepribadian kuat dan mampu menjaga integritasnya yang
sanggup melawan dorongan luar yang akan merusak kefitrian orang yang selalu
menginginkan kebaikan, kebenaran, keindahan,dan kedamaian.
Meminjam istilah psikologi, dalam setiap orang
terdapat archetype, sebuah struktur kejiwaan yang juga dipengaruhi sistem
sosial tempat seseorang lahir dan tumbuh. Archetypes are nothing more than
the deep structures in the psyche and social system, kata Carol S Pearson.
Dalam bahasa sains, archetype ini disebut fractals,
sebuah struktur yang menyangga dan bekerja bagi eksistensi semesta ini. Jadi,
archetype ini tampaknya sebuah kombinasi antara potensi diri yang senantiasa
melekat, kebebasan berkehendak dan memilih, serta kekuatan pengaruh lingkungan
yang ketiganya berperan mengarahkan tindakan seseorang.
Dengan memahami archetype, seseorang akan sangat
terbantu melihat posisi dirinya dalam setiap langkah hidupnya karena archetype
akan menyajikan dan menjelaskan potret diri dalam adegan serial drama dan film
kehidupan yang tiap hari kita jalani.
Esai-esai selanjutnya akan mencoba menjelaskan tujuh
archetype manusia dengan harapan kita lebih mengenal “siapa diriku” dan “tokoh
apa” yang saat ini tengah kita perankan. Jadi, benarkah tindakan manusia
memiliki kebebasan? Ternyata jawabannya bisa panjang lebar.
0 komentar:
Posting Komentar