Pengantar
Kesuksesan film bertema keagamaan Islam, Ayat-Ayat
Cinta, yang diangkat dari novel Habiburrahman El-Shirazy dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo
sungguh menyisakan banyak pertanyaan bagi insan perfilman, pengamat film,
penulis naskah, produsen film, penonton, cerdik pandai dalam dunia film,
sarjana komunikasi, bahkan para sarjana
agama (religion scholars). Mereka sedang
mencari jawab mengapa film tersebut meraih sukses besar?
Berminggu-minggu bertengger dalam a box-office? Ditonton tidak kurang dari 4 juta penonton,
di antaranya adalah presiden RI? Yang
akhirnya, perlu diangkat menjadi tajuk
seminar khusus tentang Sinema, Media dan Islam, oleh Jogya-NETPAC Asian Film
Festival (JAFF).[1]
Membahas agama dan media, dan lebih-lebih lewat tinjauan
hermeneutis, menurut Stewart Hoover dan Knut Lundby, setidaknya perlu
melibatkan analisis tiga pilar teori
yaitu teori agama, teori budaya dan
teori media. Ketiganya perlu dilihat
secara utuh-saling-terhubung (interrelated web) antara yang satu dan yang lain.
Tidak bisa membahas yang satu dan meninggalkan yang lain.[2] Dengan dipandu
oleh triangulasi teori ini, makalah ini akan mencoba menjelaskan mangapa film
Ayat-Ayat Cinta sukses besar, tanpa memperoleh tanggapan yang
miring-negatif dari para ulama, audience
dan penonton pada umumnya ? Pertama, akan menjelaskan entitas agama lewat kacamata hermeneutika
keagamaan (Islam), Kedua, objektifikasi agama dalam kehidupan sosial-budaya
(living culture), dan ketiga bagaimana insan media, dalam hal ini penulis novel dan sutradara
film, dapat mengolah, mengubah, mendialogkan, menjembatani, dan mendamaikan
‘ketegangan’ antara agama dan budaya dalam masyarakat, dalam bingkai alur
ceritera riil maupun imajinatif yang menarik-memikat lewat layar lebar film.
Hermeneutika Keagamaan Islam : Text, Author dan
Reader
Agama sebagai sumber legitimasi nilai (sebagai checker
dan balancer) tindakan manusia sampai kapanpun memang tak terbantahkan.
“Kehadiran” Tuhan dalam masyarakat (theodicy) yang kemudian disebut oleh
Peter L. Berger sebagai “langit suci”
(the sacred canopy) yang melindungi masyarakat dari situasi ketidakbermaknaan
(meaningless), kekacauan (chaos), dan
keputusasaan (hopeless) juga tak terbentahkan.[3] Menjadi problematik ketika
keberagamaan yang “otentik” ini kemudian
dihadirkan, diinterpretasikan, dan diekspresikan keluar dalam ragam bahasa- sosial-budaya yang menyejarah dan membudaya dalam
masyarakat. Kesadaran beragama
manusia kemudian menjelma dalam tiga kelompok wilayah besar yaitu,
wilayah idea (thought; pemikiran), action (tindakan; perilaku) dan fellowship
(persekutuan; persyarikatan).[4] Ketika agama memasuki dataran atau altar historis-sosial-kultural seperti ini,
maka problem penafsiran atau hermeneutik muncul dengan sendirinya. Hermeneutik
adalah perbincangan tentang persoalan
pemahaman atau penafsiran manusia
(fiqh al-tafsir; fiqh al-ta’wil) terhadap realitas yang ada disekelilingnya,
termasuk di dalamnya agama dan kehidupan sosial-budaya-ekonomi-politik-hukum
yang mengitarinya (al-nas wa ma haulahu) baik yang menyangkut tentang teori,
metode, pendekatan, filosofi, aliran-aliran, tokoh, maupun tema, isu-isu
aktual dan begitu seterusnya.
Dalam hermeneutika keagamaan dan studi keislaman
kontemporer dikenal analisis hermeneutis dengan menggunakan skema segi tiga :
Text, Author dan Reader.[5] Penulis berpendapat bahwa wilayah Text (teks)
adalah sangat penting bagi umat beragama. Lebih-lebih teks kitab suci.[6]
Sebegitu pentingnya, sehingga tanpa disadari kadang-kadang ia meninggalkan
dimensi rasionalitas-kritis dan masuk
dibawah tekanan dan tuntutan dimensi psikologis manusia. Jika telah kehilangan
dimensi rasionalitas-kritisnya, maka
sitiran dan kutipan kitab suci bisa berubah menjadi sangat peka dan
over-sensitive, dan cenderung emosional bahkan tak menutup kemungkinan dapat
berubah menjadi kekerasan (violence) psikis maupun pisik. Meminjam
bahasa filsafat ilmu, wilayah
kitab suci itu adalah wilayah nonfalsifiable (tak dapat difalsifikasi/tak dapat
disalahkan). Teks kitab suci adalah taken for granted bagi semua umat
beragama.[7] Sedangkan yang menjadi kajian penting dan menarik dalam
hermeneutika kontemporer adalah wilayah kajian teoritik sekaligus praxis yang
berada dalam dua wilayah cakupan dua kaki segitiga, yaitu wilayah Author dan Reader.[8] Kedua wilayah
inilah yang terkait dengan masalah
kemanusiaan yang sesungguhnya. Inilah wilayah historisitas kemanusiaan yang
debatable, qabilun li al-niqasy wa al-taghyir (bisa didiskusikan,
diperbincangkan, didialogkan, disesuaikan, diadaptasikan, dan diubah dimana
perlu) karena dinamika masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan, globalisasi ekonomi dan media, hubungan internasional yang semuanya punya dampak yang cukup
signifikan pada sendi-sendi kehidupan manusia.
Dalam kajian wilayah Author (penafsir, pengarang,
pencipta, penulis novel, pembuat scenario film, pelaku sejarah pada era
tertentu) dan Reader (penafsir,
pengamat, peneliti, community of researchers, penonton, kritikus film ) inilah,
ketiga ranah kehidupan keagamaan
yang disebut Joachim Wach sebagai
idea (pemikiran), action (tindakan) dan fellowship (persekutuan) menjadi
wilayah kajian yang sangat penting dalam hermeneutika keagamaan. Munculnya
berbagai aliran dan kelompok penafsir agama (seperti diuraikan oleh Tariq
Ramadan ada 6 trend besar pemikiran keislaman kontemporer), perlunya penafsiran
ulang terhadap corak pemahaman (fikih) era tertentu (seperti belakangan muncul
pemikiran tentang ‘fikih’ minoritas
Muslim Eropa, yang dalam beberapa hal tertentu perlu berbeda dari fikih
mayoritas Muslim di Pakistan, Mesir, Saudi Arabia dan lain-lain),[9] silang
pendapat, saling beradu argumen dan kritik (antara Muslim yang dicitrakan
sebagai Fundamentalis dan Moderat),[10] agenda rekonstruksi dan reformulasi pemikiran Islam (seperti
keprihatinan dan sekaligus usulan yang diajukan oleh ulama-intelektual muslim
Progressif)[11] yang dipicu oleh perkembangan situasi sosial, ekonomi, budaya,
iptek, hubungan internasional dan begitu seterusnya, menjadikan “agama” sebagai institusi yang
memberi legitimasi nilai menjadi bagian
persoalan kemanusiaan yang tak pernah kunjung selesai dan selalu menarik untuk
diperbincangkan. Lebih-lebih pada masa transisi dari era industri ke informasi, dari sentralisasi ke
desentralisasi, dari dulunya semata-mata
bertumpu pada tatanan sosial dan agama yang sangat hirarkis ke pengembangan individu-individu berbasis
pada pengelompokan jaringan-jaringan (networks).[12] Lagi-lagi mengikuti bahasa
Berger, terjadi keterhubungan yang sangat kompleks dan kesinambungan yang tidak
putus antara eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi agama yang
berjalan berkait kelindan antara ketiganya.
Tiga Proses Siklis Kehidupan Beragama:
Eksternalisasi, Objektifikasi dan Internalisasi
Dalam hidupnya yang fragile (lemah, sakit, mati, tak
berdaya), manusia selalu memerlukan pelindung suci untuk dapat melindungi diri
dari segala kepungan kelemahannya. Pelindung yang suci ini disebut Tuhan oleh
teologi. Tuhan dijadikan sebagai postulasi dan asumsi dasar untuk menjamin
keselamatan hidupnya dari segala macam gangguan, ancaman dan kesulitan. Postulasi atau asumsi dasar
ini tidak dapat difalsifikasi sama sekali. Non-falsifiable postulated alternate
realitiy adalah matra bagi semua agama. Matra
yang sui generis atau unik ini tidak dimiliki oleh pengalaman dan
disiplin ilmu yang lain. Pengalaman yang menggetarkan dan sekaligus
mengagumkan. Kategori yang “suci”
(Sacred) dalam kehidupan. Pengalaman otentik yang oleh umat Islam disifati dengan 99 sifat Tuhan (al-asma’ al-husna). Pengalaman dan
perjumpaan otentik dengan Zat yang Maha
Agung , yang disebut-sebut sebagai
Non-falsifiable postulated alternate reality (Realitas alternatif yang
diasumsikan pasti benar adanya dan tidak bisa disalahkan/difalsifikasi),[13]
rupanya tidak dapat telanjang-abstrak-ngawang-ngawang (Jawa). Pengalaman ini
tidak cukup hanya terdiam statis dalam psyche (Mind) manusia. Pengalaman ini
perlu keluar dari psyche (Mind) dan membentuk “budaya” sehari-hari yang dapat
mengikat, mengatur, membimbing dan
mengawasi ritme kehidupan manusia
(Matter). Manusia sebagai “subjek” sangat berperan aktif dalam mengkonstruk dan
membangun pranata sosial yang dapat melindunginya dari berbagai ancaman dan
godaan. Pranata sosial yang dibentuk oleh manusia adalah bentuk eksternalisasi
dari pengalaman beragama umat manusia. Disini terbentuk hubungan dialektis
antara manusia dan masyarakatnya. Dalam batasan logika ini, manusia merupakan
“subjek” yang eksis-aktif-otonom dan kemudian membentuk masyarakat berikut
pranata sosial yang menyertainya. Ada relasi timbal balik antara mind dan
matter dalam konsep Berger.[14]
Ketika pengalaman batin, esoteric, mendalam, ruhaniah
manusia ini diekspresikan dan diungkapkan keluar, lewat pranata sosial yang
dikukuhkannya, maka ia dengan sendirinya
membentuk proses Objektifikasi.
Meskipun masih ada hubungan dengan pengalaman
yang disebut Non-falsifiable postulated
alternate reality, tetapi bentuk ekspresi keluar ini, pada gilirannya,
akan terpisah dari akar tunggangnya. Setidaknya ada 7 wilayah hasil proses
objektifikasi agama dalam masyarakat
yang ditandai oleh para ilmuan sosiologi agama dan studi agama-agama.
Pertama, Percaya atau mengimani adanya suatu Zat Maha Agung (Believe certain
things). Kedua, Melakukan aktifitas dan kegiatan tertentu yang dilakukan secara
teratur-berulang-ulang (Perform certain activities). Ketiga, Menanamkan
otoritas dan kewibawaan pada pemimpin dan tokoh-tokoh panutan yang dipercaya
dan dijadikan rujukan (Invest authority in certain personalities). Keempat,
Menghormati kitab suci dan teks-teks yang dianggap otoritatif (Hallow certain texts).
Kelima, Mencatat dan mendokumentasikan berbagai peristiwa sejarah yang penting
(Tell various stories). Keenam, Membentuk kelompok sosial yang kemudian menyepakati kode etik, hukum, syari’ah dan sistem moral (Legitimate morality).
Ketuju, Materialisasi simbol-simbol keagamaan (Material and artistic dimensions) dalam wujud bangunan
seni arsitektur tempat ibadah, pahat,
suara, tari, lukis, kaligrafi, karawitan, sinematografis, dan seterusnya yang dapat membantu
menyatukan, mengkonsentrasikan dan menarik perhatian para pengikutnya.[15]
Ketujuh item Objektifikasi agama tersebut , dengan
segala dinamika dan kompleksitasnya, masyarakat akan mengkonstruk kesadaran
manusia untuk berperilaku tertentu sesuai aturan yang berlaku dengan irama
dinamika internal dan eksternal masyarakat. Dengannya manusia
berhubungan dan bergaul dengan
lainnya , dengan etnis, ras, kelas, sex dan pengikut agama lain sehingga
tercipta sub-relasi dari relasi besar antara manusia dan masyarakatnya.
Keseluruhan pola interaksi, dinamika internal dan eksternal, pranata sosial
yang terbentuk dan produk-produk sosial lainnya, pada gilirannya, bersama-sama
dengan proses eksternalisasi dan objektifikasi yang terus berjalan akan diserap
lagi oleh manusia sebagai bagian dari
masyarakat. Proses terakhir ini disebut dengan internalisasi. Nilai-nilai dan
norma-norma yang hidup dalam masyarakat
secara simultan dapat diterima, dipegang teguh, dan dijalankan-diamalkan,
tetapi pada waktu yang sama juga ada yang bisa dipertimbangkan ulang, diuji kembali,
dikritisi, diseleksi, dan bahkan
ditolak. Dalam proses yang amat
kompleks ini, manusia menjadi subjek yang otonom tetapi sekaligus juga heteronom,
mempunyai kebebasan tetapi juga terdeterminasi oleh masyarakat dan
lingkungannya. Dapat mentaati aturan-aturan dan norma-norma sosial-agama yang
dibangun dan disepakati oleh masyarakat,
tetapi pada saat yang sama juga dapat mengkritisi pemahaman-pemahaman,
aturan-aturan, norma-norma,
kesepakatan-kesepakatan dan pranata sosial yang dulu pernah diciptakan
dan disepakati oleh generasi terdahulu
tetapi sekarang tidak lagi
relevan dengan kebutuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan sosial-kemasyarakatan. Ini
selaras dengan yang diungkapkan Alf G. Linderman sebagai berikut :
“… Thus, where stories and meta-stories used to be
shared stories in the local context, such stories can still in a sense be
shared but now in a much more complex fashion. All elements of one individual’s
meta-story might be shared with others, but all elements do not necessary have
to be shared by the same group of people. Individuals can compose their own stories by
combining elements from different contexts.”[16]
Budaya Popular di Tangan Novelis dan Sineas Muslim
Dalam telaah
analisis (sosiologi) agama dan budaya sekaligus seperti diatas, maka
agama—apapun agama itu—selalu mengandung hubungan trialektis antar ideas,
action dan fellowship. Hubungan trialektis antara eksternalitas, objektifitas
dan internalitas. Lalu, apa hubungan antara media, dalam hal ini adalah film, dan (sosiologi) agama ? Pertanyaan yang muncul adalah
mengapa film yang bertema keagamaan, dalam era modernitas
dan global seperti saat sekarang ini,
masih mampu menarik perhatian
jutaan penonton, menjadi a box office berminggu-minggu, dan memiliki daya tarik
luar biasa melebihi daya tarik film-film non-keagamaan? Mengapa film keagamaan
yang genuine masih dapat menarik jumlah
penonton yang sedemikian besar ?[17] Mengapa tidak ada resistensi dari (majelis)
ulama dan tokoh masyarakat, dan pimpinan organisasi keagamaan? Mengapa mereka
seolah-olah menyatakan ‘amin’ (setuju)
saja terhadap semua yang terungkap dan
tersaji dalam film tersebut? Mengapa
tidak ada kritik ? Hal ini sungguh
penting, untuk dijadikan bahan kajian dan sekaligus sebagai tolak ukur
film-film keagamaan yang akan datang, yang ingin meraih sukses. Para insan film sendiri “terkagum-kagum”,
dan ingin mencari tahu “whyness”nya
kesuksesan film yang secara genuine dapat mengangkat tema keagamaaaan, tetapi
mampu meraih simpatik khalayak luas.
Biasanya, film keagamaan tidak begitu menarik untuk ditonton, karena
kalau tidak dogmatik, ya kontroversial. Menurut penulis, lewat telaah analisis
sosiologi agama dan budaya, suksesnya
novel dan film tersebut karena Pertama,
penulis novel maupun sutradara film
Ayat-Ayat Cinta mampu melakukan terobosan tafsir keagamaan secara
kreatif-sinematografis dan sekaligus mampu menampilkan altar kontekstual-sosiologis terhadap nilai-nilai
Islam yang adil dan toleran kepada seluruh umat manusia, baik laki-laki dan
perempuan, dengan cara memenuhi semaksimal mungkin ke tujuh wilayah objektifikasi agama dalam ranah kehidupan
sosial-budaya masyarakat dengan utuh dan baik. Kedua, penulis novel dan
sutradara masih mampu menyelamatkan aspek penting dan distingtif dari
entitas agama, yaitu apa yang disinggung
diatas sebagai wilayah non-falsifiable postulated alternate realities. Agama memang berbeda dari aktifitas ekonomi,
sosial, biologi, psikologi dan begitu seterusnya, tetapi ia tak bisa pisah
seluruhnya dalam poses historisitasnya di tengah pergumulan budaya yang hidup. Ketiga, tidak adanya penolakan dari
masyarakat Muslim, ulama lebih-lebih, karena penulis novel dan sutradara film
mampu mentransformasikan, membungkus dan mengemas ulang ketegangan-ketegangan
dogmatik antara wilayah aqidah (system
of belief), fikih (hukum; legal system) dan
tawasuf-sufism (the art of spirituality)
yang-selalu-saja-ada-dalam-wilayah-dalam (intern)-agama (Islam) dalam kemasan
budaya popular – lewat karya sinematografik yang
tersaji secara kontekstual-sosiologis dengan jitu.
Tujuh syarat (bisa lebih dan bisa kurang, tergantung
alur ceritera yang diperlukan)
objektifikasi (sosiologi) agama yang penulis maksud ada dalam novel
Ayat-Ayat Cinta, antara lain adalah sebagai berikut : Ayat-Ayat Cinta
menceriterakan perjoangan hidup pemuda Indonesia bernama Fahri (identitas
kultural Islam Indonesia) anak penjual tape[18] (institusi ekonomi kelas
menengah kebawah). Setelah sekolah atau mondok di pesantren (Institusi pendidikan
Islam pra-modern yang terus hidup hingga sekarang dan telah membudaya dalam
kehidupan umat Islam), sambil menyelesaikan sekolah tsanawiyah dan aliyah
(institusi pendidikan modern selevel dengan sekolah) yang ada di pondok
pesantren itu, ia berjoang melanjutkan studi ke al-Azhar (institusi pendidikan
Islam yang kharismatik-karena usianya yang lebih dari l000 tahun; keinternasionalan Islam).
Sebagai seorang Muslim, segala peri kehidupan tokoh
utama Fahri merujuk kepada ajaran Islam yang sebenarnya (Belief system;
aqidah). Hidupnya benar-benar terencana, kapan ia harus menyelesaikan S 1,
kapan dia harus menyelesaikan S 2 bahkan
S 3 dan kapan dia harus berumah tangga[19] (Kritik sosial kepada para seniornya
di Mesir yang jarang selesai kuliah tepat waktu, dalam semua jenjang). Semuanya
sudah terjadwal rapi (Birokrasi akademik modern-Eropa yang masuk dan diterima dalam sistem
pendidikan Islam; ada ketegangan kreatif dan dialog budaya Islam dan Eropa
dalam sistem birokrasi-administrasi pendidikan). Kerja keras selama di Mesir
(Mencoba mengikuti kebiasan para seniornya yang bekerja pada musim panas dulu
di negara-negara Eropa), juga selama 2
bulan pada musim haji di Saudi Arabia, Fahri menghidupi dirinya dengan bekerja
sebagai penerjemah[20] (mencoba keluar dari jeratan budaya para pendahulunya
yang ternyata menyita banyak waktu dan tidak segera selesai kuliah dan tidak
segera lulus) yang diterbitkan oleh penerbit di tanah air (keluar dari tradisi
seniornya yang tidak sekreatif Fahri dalam memanfaatkan peluang dan
kesempatan).
Sebagai pemuda yang saleh, taat beribadah (Perform
certain activities), bertangggungjawab, ulet belajar (Ethics and morality),
berjoang keras membiayai kehidupan (Believe certain things dalam etos-perilaku
ekonomi modern; menentang etos pasrah
pada nasib[21] yang biasa ada dalam paham teologi jabariah), ia diincar, paling
tidak, oleh empat orang gadis cantik (Social (inter)action yang berdimensi
luas, melibatkan system of law and
morality; hallow certain text). Maria, putri
Boutros Girgis, tetangga satu flat yang Kristiani (Hallow certain text;
dialog keras antara system of classical
dan modern Islamic law and morality; modern-international relation) tapi
mencintai al-Qur’an[22] (Dialog antar agama; hubungan sosial antar umat
beragama, hallow certain texts), Nurul Azkiya , putri Kiai kondang di Indonesia
(Keterpanggilan ulang untuk kembali kepada nilai-nilai primordialisme-lokalism-religionism);
Noura, tetangga tempat kostnya[23] (Neighborhood yang baik; kehidupan sosial
sehari-hari yang pasti ditemui tanpa preasumsi-preasumsi keagamaan maupun
etnis; dan Aisha, gadis Jerman keturunan Turki-Palestina (Mencoba keluar dari
ikatan primordialisme-lokalisme-keindonesiaan; kembali menghadapi dilemma
realitas global dan trans-nasionalisme
yang menuntut cara berpikir keagamaan yang baru) yang bertemu di metro[24] (Transportasi
modern membuka segala macam pilihan-pilihan hidup era modern; kondisi dan ruang
kehidupan yang berubah) yang ternyata
keponakan kawannya di al-Azhar (International relation and communication;
menjelaskan bahwa Fahri dulu dan sekarang memang telah berbeda; badan dan
pengalaman kecilnya memang di pesantren Indonesia, tapi ia sekarang telah
mendunia-metropolitan dengan pergaulan
internasionalnya yang luas.
Novel dan Film Ayat-ayat Cinta sarat dengan pesan-pesan
bagaimana seorang muslim atau muslimah berhadapan dan bergumul dengan realitas
kehidupan kontemporer era modern-globalisasi yang penuh warna-warni dan
keberagamaan. Ada pahit dan manis, ada
keraguan dan kegetiran, tetapi juga ada janji-janji kemudahan, ada nilai-nilai
yang statis dan sekaligus ada nilai-nilai yang dinamis disitu, namun
semuanya disajikan dan dikemas dalam
sajian yang santun, halus dan sopan. Nilai-nilai Islam mana yang harus bertahan
dalam pusaran waktu dan perubahan jaman yang amat dahsyat ini ? Tanpa
dipaksa-paksa dan didorong-dorong,
nilai-nilai keberagamaan dan budaya Islam pasti akan berhadapan dengan nilai-nilai dan budaya agama lain, berhadapan
dan berdialog dengan nilai-nilai modernitas, kemudian diuji kekonsistensiannya,
tapi ada juga sebagian umat Islam yang
terpaksa (Muslim migrant di Eropa, Amerika, Australia) harus pandai-pandai dan berani menghadapi
realitas baru, beradaptasi dengan lingkungan terdekatnya (Fikih minoritas),
tanpa harus terganggu dan diganggu oleh fikih atau pemikiran keagamaan
mainstream atau mayoritas, harus mentatati
dan menghormati keberadaan orang atau kelompok lain (aturan dan hukum negara
dan warga tempat para migrant Muslim ini mencari mata pencaharian), bagaimana seseorang agamawan yang baik dapat
beradaptasi dengan lingkungan barunya dan apa batas-batas kebolehan
mengadop tata cara dan kebiasaan hidup kelompok lain di luar
kelompoknya, atau semuanya memang telah tertutup rapat (pintu ijtihad ditutup)
dan menjelma menjadi ghetto minded, yang eksklusif, Intolerant, militant, radikal dengan berbagai implikasi dan
konsekwensinya?
Film keagamaan Ayat-Ayat Cinta berhasil memadukan dan
mempertautkan antara normativitas
al-Qur’an dan al-Sunnah dengan perkembangan historisitas kemusliman kontemporer
lewat dialog para tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Semua peristiwa dalam
novel merupakan refleksi dan implementasi dari ruh dan spirit al-Qur’an dan
as-Sunnah dan dikuatkan oleh nas-nas-nas al-Qur’an dan al-Sunnah (Believe certain things; Hallow certain
texts) dan dibarengi kata-kata bijak para ulama Islam dengan rujukan yang valid
(Ideas and thought; Telling various
stories). Tidak heran, jika muncul kutipan ayat-ayat al-Qur’an, al-Hadits
(Hallow certain texts), atsar (Invest
authority in certain personalities), qaul atau pendapat ulama dan
sarjana Barat (Legitimate academic authorithy). Dari sini tampak bahwa novel
dan film ini tampil beda dari novel dan film-film yang selama ini ada. Film yang mengangkat kehidupan sosial-budaya Islam agaknya tidak bisa lepas dari
pengalaman fundamental keislaman tersebut.
Pengalaman fundamental tersebut, kemudian dilandingkan dan dihadirkan dalam konteks pergumulan historis-sosiologis-kultural kehidupan
umat – khususnya kawula mudanya – sehari-hari. Historitas keberagamaan
ini sudah barang tentu penuh dengan tafsir heremenutis oleh para aktor yang
dipilih oleh penulis novel dan sekaligus sutradara film, yang terekam dalam
wilayah action (perbuatan; tingkah laku sosial) maupun dalam wilayah fellowship
(persahabatan, pergaulan, persekutuan, organisasi, lembaga-lembaga,
institusi-institusi, pranata-pranata sosial). Proses eksternalisasi dan
objektifikasi dan pada gilirannya internalisasi ada disini.[25] Bagaimana
nilai-nilai agama , yang semula cuma bersifat eksklusif, tiba-tiba saja harus
dimaknai ulang lewat diskusi dan dialog tentang pluralitas, toleransi dan
kerukunan umat beragama, peran wanita dalam masyarakat kontemporer,
poligami, pemahaman nation-state (jati
diri bangsa), dan kritik sosial.
Topik-topik ini sangat relevan dengan
permasalahan kontemporer umat Islam dalam era globalisasi dan modernitas sekarang
ini. Tema ini sangat diminati oleh banyak anak
muda yang memang sedang mencari jati diri. Tetapi tidak disukai generasi
tua yang lebih menginginkan status quo dalam segala hal, lebih-lebih dalam hal
keberagamaan.
Dalam pluralitas etnis diwakili oleh latar etnik
tokoh-tokoh dari Mesir Koptik (Kristen), Turki, Indonesia, Amerika dan
lain-lain. Sedangkan pluralitas aqidah (Belief system; ideas dan thought)
diwakili oleh Islam, Kristen Koptik, Pluralitas budaya dan adat diwakili Arab, Mesir, Indonesia, Turki,
Jerman dan seterusnya. Tampak bahwa penulis novel dan sutradara sangat memahami
kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi dan sedang mendera umat Islam
dimanapun mereka berada ketika berhadapan dengan isu-isu modernitas dan tantangan pluralitas. Yang berbeda dari
uraian sosiologi agama, yang umumnya menyandarkan kekuatannya pada data-data
empiris di lapangan, dan juga berbeda dari theology-kalam yang umumnya berdasar
pada kekuatan konseptual-filosofis, kelebihan
novel yang diangkat di layar kaca lebar ini adalah terletak pada kekuatan
suggestif-imaginatif yang dimaterialisasikan dalam bentuk audio visual (Material and visual dimension
of religion).[26]
Setelah pluralitas dijadikan asumsi dasar yang tak
terbantahkan dan tak terpisahkan dalam kehidupan sosial-keagamaan kontemporer,
maka meluncurlah persoalan berikutnya yaitu bagaimana umat
Islam seharusnya mengolah hati (heart),
mengambil sikap (attitude) dan mengatur perilaku (bahaviour)? Pilihan penulis
novel untuk memilih sikap hidup dan perilaku yang toleran dan kerukunan umat
beragama tampak tercermin dalam
kehidupan bertetangga (neighborhood) yang baik antara Fahri dan kawan-kawan
yang Muslim dengan keluarga Boutros Girgis yang Kristen Koptik.[27] Juga
bagaimana sikap Fahri dan Aisha terhadap Alicia (wartawati Amerika yang
tertarik dengan ajaran Islam)[28]. Setting kehidupan sosial ini memang sangat
mirip dengan kehidupan sosial di Indonesia dimana jumlah dan prosentase umat
Islam dan Kristen hampir-hampir mirip dengan kondisi demografi sosial Mesir.
Kondisi seperti ini akan berbeda jika setting sosialnya diambil dari Saudi
Arabia dan Nigeria[29] misalnya.
Masih dalam
permasalahan modernitas, dengan naiknya tingkat pendidikan wanita (the
rise of education) hampir di
seluruh dunia Muslim, maka problem
turunannya adalah gender issues di dunia Muslim. Masih banyak yang dapat dieksplore dan
didalami lebih lanjut disini, karena diskusi dalam novel atau film ini belum
sampai masuk ke problem equity atau
kesetaraan antara pria dan wanita yang lebih pelik. Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Indonesia telah berani memutuskan jumlah perwakilan perempuan atau wanita
di Dewan Perwakilan Rakyat adalah 30
persen dari seluruh anggota Dewan. Bagaimana agama dan partai politik menyahutinya? Novel dan film ini hanya menjelaskan secara
normative bahwa memelihara dan mengangkat derajat kaum wanita adalah bagian tak
terpisahkan dari ajaran agama. Namun, belum menggambar langkah-langkah yang bersifat affirmative terhadap wanita
dalam hal-hal yang terkait dengan urusan publik. Sikap Fahri terhadap
kawan-kawannya putri, juga penjelasan Fahri terhadap Alicia yang menanyakan
tentang pandangan Islam terhadap wanita mencerminkan bahwa problem Gender ini
adalah wilayah hermeneutis yang cukup pelik bagi negara berpenduduk Muslim
tertentu. Persoalan ini masih terus berkembang dan banyak film-film yang
mengangkat tema wanita muslimah yang diproduksi dengan latar belakang kondisi
sosial Iran, Afghanistan, Saudi Arabia sangat menarik untuk disimak dan
diketahui.
Masih terkait erat dengan wanita adalah budaya poligami
di dunia Islam. Penulis novel tampaknya menggarisbawahi bahwa poligami memang
ada rujukannya dalam teks kitab suci[30]
(Hallow certain texts), dan masih cenderung mengikuti budaya patriarchis yang
membolehkan poligami. Hal itu tercermin dalam tampilan keluarga Fahri setelah
menikah. Isu dan tema ini juga masih amat sangat kaya dengan variasi prakteknya dalam budaya-budaya Islam di seantero
dunia. Bagaimana AA Gym, pengasuh pesantren Dar al-Tauhid, Bandung, yang
dulunya sebagai da’i kondang dan muncul hampir di semua stasiun televisi di
tanah air, kemudian tiba-tiba “menghilang” dari peredaran setelah terterpa
kasus poligami yang memang ada rujukannya dalam teks. Secara teks memang valid,
tetapi secara sosial-kultural
dipertanyakan efektivitasnya dalam masyarakat. Hal-hal semacam inilah
yang menjadi kajian keagamaan dengan
menggunakan pendekatan
hermeneutika keagamaan kontemporer yang tidak bisa ditutup-tutupi oleh
siapapun dan dengan alasan apapun. Peristiwa hermeneutis semacam ini sangat
kaya untuk didalami dan dicermati lebih lanjut sebagai bagian tak terpisahkan
dari dampak modernitas (the rise education) bagi wanita dalam hubungannya dengan laki-laki setelah hidup dalam
keluarga. Tema ini masih luas ruang lingkupnya, dan masih perlu waktu untuk
dieksplore oleh novelis-novelis dan sineas-sineas muda kedepan.
Problem nation-state atau negara bangsa juga tidak luput
dari garapan novel dan film ini. Perkembangan sejarah geopolitik internasional
meniscayakan berdirinya negara-bangsa, yang dulunya dicukupkan oleh monarchy,
theocracy, khilafah, kerajaan dan begitu seterusnya. Problem keummatan rupanya
tidak berbenturan dengan ide negara-bangsa yang baru ini. Bahkan menurut tafsir
hermeneutis Fahri, ia telah dapat melihat, berhubungan dan bergaul dengan orang
atau kelompok lain tanpa memandang latar belakang etnis maupun
agama-keimanannya. Tokoh utama Fahri dan tokoh figuran dari Indonesia yang lain
memperlihatkan sikap dan perilaku bangsa Indonesia di negeri orang yang
mencerminkan jati diri keindonesiaan yang tegas dan ramah terhadap siapapun
tanpa memandang etnis dan keimanan atau agama sama sekali.
Tidak semua nilai-nilai yang masuk dari luar – betapapun
modernnya dan terbukanya seorang tokoh seperti Fahri – tetap saja dia dapat
menyeleksi dan mengkritik perilaku dan standar nilai yang dianggapnya tidak
adil. Dalam dialog-dialog para tokoh yang terlibat, dengan cara halus ia
mengkritisi masalah-masalah politik luar negeri Amerika Serikat, kualitas staf
diplomatik negara-negara dunia berkembang dibandingkan kualitas diplomat dari
negara-negara maju. Kehidupan moral,
kehidupan rumah tangga, hubungan muda-mudi, kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat juga sedikit banyak dikritiknya. Artinya, dalam hermeneutika
Islam, terjadi proses negotiating process yang keras dalam berbagai pertemuan dan berbagai
perjumpaaan nilai, tata cara hidup, adat
istiadat, norma , perilaku dan budaya pada umumnya pada tataran dunia global.
Catatan Penutup
Karya film keagamaan yang bagus-berkualitas dan karya
novel yang dijadikan acuannya hanya bisa dilakukan lewat pendekatan hermeneutis
seperti yang dijelaskan di depan.
Hermeneutika Islam bukanlah mengajak menganut relativisme nilai, tetapi
mengajak memperhalus budi dan mempetajam nilai-nilai kesantunan dan kepatutan.
Hermeneutika juga bukan alat untuk meragukan validitas kitab suci – seperti
yang sempat dituduhkan oleh sementara
kalangan – tetapi sebagai alat analisis
keilmuan untuk mencari dasar sumber kebijaksanaan (wisdom), kedalam batin
(spirituality) dan kearifan keagamaan dalam altar hubungan sosial yang plural.
Dalam proses tafsir keagamaan yang bercorak hermeneutis memang terjadi pergumulan,
perdebatan dan perbincangan yang keras-alot-sungguh-sungguh (jiddiy)-mendalam
dengan menggunakan seperangkat alat teoritik-keilmuan (Knowledge), pengalaman (experience) dan keterampilan
(skill) yang saling terhubung antara yang satu dan lainnya. Khususnya, ketika
seseorang atau kelompok berjumpa dengan orang atau kelompok lain (the others)
di tengah-tengah persilangan budaya dan agama dalam badai modernitas-globalisasi. Ada proses continuum antara eksklusifitas-inklusifitas,
antara al-asalah dan al-mu’asarah, antara al-tsawabit (yang dianggap tetap dalam
ajaran agama; menyangkut whatness nya agama) dan al-mutaghayyirat (yang berubah-ubah dalam
agama; menyangkut howness nya agama) sampai ia terkunyah, melumat dan mengendap
dalam bentuk pilihan akhir yang matang-argumentatif-rasional meskipun pilihan
terakhir itu pun juga bersifat sementara, sehingga membuka peluang untuk
bergerak kearah lebih baik jika kondisi memang membutuhkan demikian (al-amru
idza dzaqa ittasa’a, wa idza ittasa’a dzaqa).
Novel dan film Ayat-Ayat Cinta adalah karya
hermeneutis-sinematografis terbesar dalam sejarah perfilman di tanah air,
paling tidak dilihat dari jumlah penontonnya.
Karya film keagamaan yang disajikan lewat media budaya popular mempunyai
sumbangsih dalam membentuk budaya dan
kultur Islam yang damai, menghargai keberagamaan-kebhinnekaan dan membawa kemaslahatan
bersama. Pendekatan hermeneutis Islam yang disajikan lewat media film modern
rupanya cukup berhasil, tidak kaku, dalam meramu ke tujuh item objektifikasi
agama dalam tatanan sosial-kultural – yang kemudian dikemas ulang lewat
perantara media film yang menghibur, enak ditonton, edukatif (edutainment), rekonsiliatif, damai,
toleran, tidak grusa-grusu, mendalam, dan bijak. Setiap karya hermeneutis
biasanya selalu diakhiri dengan ungkapan Wallahu a’lam bi al-sawab (dan hanya
Allah lah Yang Paling Tahu mana yang benar) dan Wa fauqa kulli dzi ‘ilmin aliim
– (dan setiap kali ada orang yang pintar-cerdik-bijak pasti masih ada
disana orang lain lagi yang lebih
pintar-cerdik-bijak).
UIN Sunan Kalijaga, 10 Agustus 2008.
[1]Makalah ini disusun atas permohonan panitia
Yogya-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2008,
untuk disajikan dalam seminar
bertajuk Sinema, Media dan Islam,
Lembaga Indonesia Perancis (LIP), Sagan, Yogyakarta, 11 Agustus 2008.
[2]Alf G. Linderman, “Approaches to the Study of
Religion in the Media” dalam Peter Antes, Armin W. Geerzt, Randi R. Warne, New
Approaches to the Study of Religion: Textual, Comparative, Sociological, and
Cognitive Approaches, Vol. 2, Berlin, Walter de Gruyter, 2004, h. 305.
[3]Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a
Sociological Theory of Religion, Garden City, N.J. : Doubleday, l967.
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Langit Suci : Agama Sebagai Realitas
Sosial, terjemahan Hartono (Jakarta: LP3ES, l994, h. 63.
[4]Joachim Wach, Sociology of Religion , Chicago, 1994.
[5]Untuk mendalami metode tafsir keagamaan dalam
studi keislaman yang bernuansa
sosial-hermeneutis dapat ditelaah lebih lanjut Abdullah Saeed, Interpreting the
Qur’an: Towards a Contemporary Approach,
London and New York: Routledge, 2006, h.145-154. Juga Khaled Abou El Fadl,
Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women, Oxford, Oneworld
Publications, 2001.Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Atas
Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta, Serambi, 2004.
[6] Novel Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat Cinta
(2004), yang kemudian di angkat menjadi film keagamaan paling spektakuler dalam
sejarah perfilman di Indonesia, disutradarai Hanung Bramantyo dengan mengambil
judul yang sama menunjukkan bahwa daya tarik dan pengaruh psikologis kitab suci
masih sangat kuat dalam kehidupan umat
manusia. Konotasi pembaca dan pendengar
ketika mendengar dan membaca kata ”ayat-ayat”, maka secara spontan
terarah ke kitab suci. Menggunakan kosa kata “ayat-ayat” saja sudah menunjukkan
kecanggihan penulis novel dan sutradara film dalam memanfaatkan psikologi pembaca dan pendengar.
[7]Menyebut taken
for granted sebenarnya juga menyederhanakan persoalan, karena menurut Tariq
Ramadan setidaknya ada enam aliran
besar tendensi pemikiran Muslim
kontemporer yaitu Scholastic Traditionalism, Salafi Literalism, Salafi
Reformism, Political Literalist Salafism, “Liberal” atau Rationalist”
Reformism, dan Sufism. Masing-masing mempunyai pandangan, asumsi dasar,
keyakinan, dan titik tekan yang
berbeda-beda. Disinilah letak historitasnya. Singkatnya, pemikiran Islam tidak
monolitik. Manusia beragama perlu terbuka dan menerima kehadiran orang,
kelompok atau penafsir lain.Lebih lanjut Tariq Ramadan, Western Muslim and the
Future of Islam, Oxford, University Press, 2004, h.24-30.
[8]Dalam hal ini Farid Esack memberi catatan penting
sebagai berikut “Traditional Tafsir activity, however, always been categorized
and these categories –, etc. Shi’ite, Mu’tazilite, Abbasid, Ash’arite – are
acknowledged to say something about the affiliations, ideology, period, and
social horizons of the commentators. Connections between the subject of
interpretation, the interpreter, and the audience are rarely made. When this is
the case, it is usually done with the intention of disparaging the work or the
author, or they are made to underline the theological prejudices of the author.
To date though, little has been written about these connections in an
historical or literary-critical manner or about the explicit or implicit
socio-political assumptions underlying their theological orientations; the
central concern of contemporary hermeneutics”. lebih lanjut Farid Esack, The
Qur’an: A User’s Guide, Oxford, Oneworld Publications, 2005, h.142-3.Cetak
hitam dan cetak miring dari penulis.
[9]Asef Bayat, “Feeling at Home on the Margin”, dalam
ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World)
REVIEW, 21, Spring 2008, h. 5. Edisi khusus ISIM ini bertema khusus tentang
Migrants, Minorities & the Mainstream.
[10]Stephen Sulaiman Schwartz, The Two Faces of Islam:
Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism, New York, Anchor Books, 2003.
Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Dua Wajah Islam: Moderatisme vs
Fundamentalisme dalam Wacana Global, Jakarta, Blantika, 2007.
[11]Omit Safi (Ed ), Progressive Muslims: On Justice,
Gender, and Pluralism, Oxford, Oneworld
Publications, 2005.
[12]J. Naisbitt, Megatrends. Ten New Directions
Transforming Our Lives, New York, Warner Books, l982, h.l32. Tambahan kata-kata
‘agama’ dari penulis.
[13]James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of
Religion : Key Issues, Formative Influences and Subsequent Debates, London dan
New York, T & T Clark International, 2006, h.236.
[14]Peter L. Berger, Op.cit., h. 1-27.
[15]James L. Cox, loq cit, dalam menggarisbawahi
pentingnya item-item tersebut menyatakan: “I argue that identifiable
communities around the world perform certain activities, believe certain
things, invest authority in certain personalities, hallow certain text, tell
various stories and legitimate morality by reference to a non-falsifiable and
purely postulated alternate reality… .These alternate realities are postulated
by those in the community, not by me”.
Cetak miring dari penulis. Sebagai bahan perbandingan Ninian Smart, Dimensions
of the Sacred: An Anatomy of the World’s
Beliefs, London, Fontana Press, l997.
[16]Alf G. Linderman, Op. cit, h. 308.
[17] Belajar dari kesuksesan yang luar biasa ini,
penulis novel, Habiburrahman, sekarang sedang terlibat langsung dalam
seleksi para calon pemeran dari film
berikutnya yang juga akan berjudul sama dengan judul karya novelnya, yaitu
Ketika Cinta Bertasbih. Periksa GATRA, 23 Juli 2008, h. 62-3. Perhatikan
bagaimana penulis novel dan sutradara film masih konsisten menggunakan
bahasa-bahasa agama, seperti bertasbih (Perform certain activities). Tema
‘cinta’ (Legitimate morality) masih dipertahankan karena masyarakat beragama
belakangan sering terlibat konflik, lebih-lebih di era reformasi kehidupan
politik yang berwajah multi-partai yang saling memojokkan dan menyingkirkan,
panggilan untuk merangkul dan mencintai pasti menarik. Cinta, the religion of
Love nya Jalaluddin al-Rumi adalah
bersifat merangkul. Namun, kosa kata cinta dan tasbih dalam budaya agama ini
lagi-lagi diobjektifikasikan lewat
proses penglihatan hermeneutis yang canggih. Pergumulan pranata sosial
keagamaan, kemasyarakatan, pergumulan politik, kegundahan psikologis atas
tekanan ekonomi yang bertubu-tubi, perasaan insecure dalam menghadapi kehidupan
kontemporer, kemudian diangkat dalam narasi novel yang memotret proses
interaksi, pergumulan, dialog, negosiasi, kesepakatan, pemberontakan,
tawar-menawar dalam altar kehidupan
manusia modern-kontemporer-global . Proses manusiawi tersebut kemudian digubah
dalam bentuk audio-visiual dengan menggunakan teknik-teknik pengambilan gambar
dan setting yang menarik untuk disajikan dalam bentuk karya film.
[18] Baca Habiburrahman El Shirazy, Ayat-ayat Cinta,
Jakarta, Penerbit Republika, Cet. XXIII, 2007, h.148.
[19] Ibid., h.142-4.
[20] Ibid., h.68-9 dan 196.
[21] Ibid., h.144.
[22] Ibid., h.23-7.
[23] Ibid., h.73-8.
[24] Ibid., h.41-56.
[25]Dalam proses internalisasi nilai-nilai inilah, film
sebagai media pendidikan memperoleh tempat yang wajar. Pada dataran ini Film as
one voice among others in a complex social conversation dapat diapresiasi.
Dialog, percakapan, pergumulan , refleksi, pembelajaran, pembentukan sikap,
pilihan-pilhan dan keputusan-keputusan yang diambil akan sedikit banyak
mempengaruhi pemirsa-penonton dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya
kedepan.
[26] Film dan media sebagai bagian objek studi agama
memang relatif baru dan masih terus berkembang – masih ongoing process.
Meskipun begitu penulis sependapat dengan Margaret Miles yang mengatakan bahwa
“…to study popular film to explore how film and popular culture contribute to
the structuring of our everyday life experiences and how values and fundamental perspectives
on life and reality are cultivated in the process”. Dikutip dari Alf G.
Linderman, Op. cit., h.313.
[27] Baca Habiburrahman El Shirazy, Op.cit., h.112-4.
[28] Ibid., h.54-5 dan 94-101.
[29] Informasi mutakhir tentang hubungan Islam dan Kristen di Afrika, lebih lanjut
periksa Georg Kirchberger dan John Mansford Prior (Eds.), Bersaing atau
Bersahabat ? Dakwah Islam-Misi Kristen di Afrika, Maumere, Penerbit Ledalero,
2008.
[30] Baca Habiburrahman El Shirazy, Op.cit., h.288, 290,
dan 376-8.
0 komentar:
Posting Komentar