Pengantar
Beberapa saat sebelum tulisan ini disiapkan, saya di SMS
oleh panitia penyelenggara seminar Didasmen PP Muhammadiyah. Menurut panitia,
Didasmen bekerjasama dengan Ma’arif Institut akan menyelenggarakan Seminar
tentang Filsafat Pendidikan Muhammadiyah. Setelah saya terima TOR kegiatan dan
membaca dasar pemikiran diselenggarakannya kegiatan serta item-item pokok
tentang Pendidikan dalam Muhammadiyah, rasanya saya tinggal mengiyakan dan
mengamini saja rumusan-rumusan visi dan
misi Pendidikan Muhammadiyah. Rumusannya bagus dan telah menyentuh puncak
idealism tujuan pendidikan Islam pada umumnya. Kalau saya diundang dan tampil
dalam forum ini, lalu sumbangsih apa yang akan saya berikan? Saya bel panitia
ulang, mohon pamit untuk tidak dapat hadir sebagai pembicara karena saya
kebetulan baru menyiapkan Laporan Pertanggungjawaban Jabatan sebagai rektor
yang akan segera berakhir pada bulan Juni ini. Panitia buru-buru menjawab
permohonan maaf saya dengan mengatakan bahwa saya menjadi pembicara yang sangat
diharapkan kedatangannya. Jangan sampai tidak datang pak, kata panitia.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya dapat kiriman e
mail tulisan Prof Dawam Rahardjo, yang menurut pengirimnya akan diterbitkan
bersama tulisan-tulisan para penulis yang lain di Universitas Paramadina. Saya
juga diminta untuk menyumbangkan tulisan. Saya baca tulisan mas Dawam. Saya
jumpai isi tulisannya bertolak belakang sama sekali dengan puncak-puncak cita-cita dan idealism pendidikan
Muhammadiyah yang secara sekilas terwakili dan tercantum dalam proposal
kegiatan Didasmen yang saya terima lebih dulu. Itulah situasi psikologi
kebatinan dan intelektual saya, ketika mau menulis tulisan ini. Judul diatas
tidak hanya sekedar ditulis tetapi kontennya memang menggambarkan respond
kegelisahan akademik saya pribadi ketika berhadapan dengan dua tuntutan yang
saling bertolak belakang. Idealisme versus realisme dalam konsep dan praktik
pendidikan Islam dan Muhammadiyah. Tulisan ini juga saya siapkan sebagai kata
pengantar sebuah buku hasil penelitian tesis tentang Muhammadiyah di CRCS UGM
yang akan segera terbit menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta.
Filsafat Pendidikan Islam Berbasis Kajian Islamic
Studies Tingkat Kesarjanaan
Tulisan ini ditulis dengan latar belakang pengalaman
saya berdiskusi dengan mahasiswa program doktor selama mengajar mata kuliah
Metode Studi Islam di IAIN Sunan Ampel, Surabaya selama hampir 5 tahun
terakhir, juga mengajar mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer pada program
doktor di UIN Sunan Kalijaga selama lebih dari 7 tahun, dan mengajar Filsafat Ilmu pada program S 3,
studi hukum, Universitas Islam Indonesia dan
belakangan (20l0) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mahasiswa saya sangat
plural. Kebanyakan adalah dari latar belakang NU. Selain NU, juga ada Muhammadiyah,
Persis, mungkin al-Khairat, bahkan beberapa dari lingkungan gerakan salafi.
Mereka tidak dapat dikatakan sebagai mahasiswa biasa, karena mereka adalah
dosen di berbagai Perguruan Tinggi, baik
negeri maupun swasta, guru, da’i, tokoh-tokoh pesantren, pegiat LSM, dan
juga tokoh-tokoh yang memimpin organisasi sosial-kemasyarakatan.
Setelah bergumul dan berdiskusi serius dengan para
mahasiswa, rata-rata 14 kali pertemuan dalam satu semester, saya punya kesan –
bisa jadi tidak sepenuhnya benar – bahwa Islamic Studies atau Dirasat
Islamiyyah yang mereka miliki, Pertama, belum tersentuh oleh isu-isu modernitas
dan lebih-lebih postmodernitas. Isu-isu
seperti pluralitas dan dialog antar budaya dan agama, hak-hak asasi manusia,
agama sipil (civil religion), globalisasi – termasuk isu global salafism,
Muslim minority, fikih aqalliyyah dan fikih aghlabiyyah, gender mainstreaming
(Fiqh al-nisa’ al-mu’asir), human development index dan begitu seterusnya. Kedua, tingkat level pemikiran keislaman
mereka masih terkurung – untuk tidak mengatakan terjebak – dengan isu taklid
dan ijtihad pada wilayah yang biasa dijumpai dalam Ulum al-Din, tetapi belum
mengenal tradisi keilmuan Islam yang baru, yang lebih menekankan pada naqd atau
critique terhadap aliran pemikiran keislaman yang manapun. Ketiga, para
mahasiswa yang nota bene sebagian besar adalah para pimpinan dan tokoh di
masyarakatnya masing-masing merindukan model diskusi keislaman yang akademik,
terbuka, transparan dan akuntabel, dan bukannya diskusi keislaman yang mengusung
pemikiran keislaman yang tertutup, yang bercorak ta’ifiyyah-madzhabiyyah.
Latar belakang tersebut mengilhami saya untuk
mengawinkan terlebih dahulu diskusi filsafat pendidikan Islam dan Muhammadiyah
dengan Islamic Studies (Dirasat
Islamiyyah), sebelum melangkah lebih lanjut dalam dunia praksis pendidikan.
Tanpa perkawinan yang harmonis dan lenggeng antara keduanya, agaknya basis
filsafat pendidikan Muhammadiyah seperti yang tergambar dalam proposal kegiatan
disinggung diatas akan selalu tidak sambung dengan permasalahan dan isu-isu
baru yang dihadapi oleh peradaban umat manusia seperti yang digelisahkan oleh
Prof Dawam Rahardjo.
Tulisan singkat ini tidak akan menguraikan hal-hal yang
detil dan panjang lebar, tapi hanya akan fokus pada tiga poin, sebagai bahan
untuk merumuskan ulang filsafat pendidikan Islam dan Muhammadiyah yang berbasis
pada hasil penelitian dan kajian keislaman yang kuat. Tiga item tersebut adalah
pertama, masalah status akademik-scholarship dari studi keislaman. Kedua, rekonstruksi
epistemologi pemikiran keagamaan dan keislaman dan ketiga terkait dengan
persoalan leadership-kepemimpinan yang peduli kepada kedua masalah tersebut dan implikasi nya pada pembinaan
umat.
Status Akademik-Scholarship Studi Keislaman di
Perguruan (Tinggi) Muhammadiyah.
Problem pertama adalah status akademik-scholarship,
yaitu wawasan hermeneutis dalam studi keislaman kontemporer. Dalam usianya yang
ke 100 tahun, Muhammadiyah yang
mempunyai seratus lima puluh lebih Perguruan Tinggi di tanah air, namun baru 2
atau 3 tahun lalu membuka program doktor dalam studi keislaman (Islamic
Studies/Dirasat Islamiyyah) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dapat
diduga saya kira bagaimana jauhnya gap tingkat literasi dan kedalaman
scholarship – kesarjanaan bidang Islamic Studies di Perguruan Tinggi
Muhammadiyah. Kalau saya tidak salah mengamati, kajian keislaman di Perguruan
Tinggi Muhammadiyah di tingkat 1 dan mungkin juga S 2 masih dalam kategori Ulum
al Din, atau kalau boleh meningkat lebih tinggi sedikit pada level al-Fikr
al-Islamiy. Tapi belum masuk ke level Islamic Studies atau Dirasaat Islamiyyah.
Saya membedakan antara ketiganya. (2009,
261-298). Sebagai akibatnya, langsung maupun tidak langsung, tokoh-tokoh persyarikatan
di segenap lapisan, para da’i dan ulama
Muhammadiyah kesulitan memposisikan
diri, bersikap dan memberi fatwa ketika
mereka dihadapkan dengan isi-isu baru yang melibatkan Ulum al-Din, al- Fikr
al-Islamiy dan social sciences dan
humanities kontemporer. Belum lagi menyebut sains. Perdebatan hangat tentang
keabsahan hermeneutik digunakan untuk analisis keilmuan keislaman di tanah air
selama hampir 10 tahun terakhir adalah contoh yang paling konkrit adanya gap
wawasan dan horizon keilmuan Islamic Studies yang saya maksud.
Masalah ini disadari betul oleh Farid Esack,
-intelektual Muslim dari Afrika Selatan-, sebagai tantangan signifikan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu dalam melihat
hubungan dengan the other (al-akhar) dalam Islam (1997: 114-115). Bagi Esack, mengidentifikasi siapa diri kita
(self) dan siapa orang lain (other) adalah kunci dari eksklusifitas dan
inklusifitas dalam agama-agama, dan secara etis, akan menjadi beban sejarah atau
masalah sosial yang sangat kompleks . Dua istilah yang seringkali dalam
al-Qur’an dikaitkan dengan soal ini
adalah iman dan kufr. Istilah iman pada beberapa tempat dalam al-Qur’an diganti
dengan islam sebagai istilah kunci untuk mengidentifikasi diri
(self-identification). Tafsir atas istilah-istilah seperti islam, iman dan kufr, menurutnya, menyebabkan
terjadinya rigiditas dan kekakuan hubungan social dalam teologi Islam. Bahkan,
istilah-istilah tersebut digunakan untuk mengukur kental-tidaknya keberpihakan
kelompok-kelompok (ta’ifiyyah – diniyyah) dan pencirian terhadap kelompok
etnis-etnis tertentu (etnoreligious).
Jika menilik al-Qur’an,
kita tidak bisa menghindar dari
teks-teks al-Qur’an yang nampaknya sangat mendorong tumbuhnya eksklusifitas
keagamaan. Namun, beberapa teks al-Qur’an dapat digunakan oleh para apologis
Muslim untuk merefleksikan istilah-istilah kunci di atas, meski terkadang
dilakukan dengan cara mem-bypass,
terutama ketika mereka menemui “teks-teks yang menyulitkan”, demi terwujudnya dialog lintas iman. Komitmen
pada keduanya, teks dan solidaritas dialog lintas iman ini, mensyaratkan
perlunya transendensi. Oleh Riffat Hassan, kesulitan ini digambarkan sebagai
“inauthentic dialogue based on abbreviations” (Esack, 1997: 115). Teks-teks
ini, faktanya, sangat signifikan bagi
diskursus pluralitas dalam al-Qur’an untuk pembebasan manusia dari berbagai
bentuk diskriminasi rasial dan oppresifitas lain. Banyak penyokong pluralitas
agama untuk tujuan-tujuan pembebasan dan keadilan menginginkan adanya
keselarasan antara missi al-Qur’an dengan partisipasi mereka dalam membangun hubungan
yang baik – harmonis – tulus dengan orang yang berbeda iman.
Pandangan Esack di atas relevan dengan kondisi posisi
awal citra Muhammadiyah sebagai
organisasi keagamaan yang lekat dengan citra
misi anti Kristen sampai pada
kesediaan Muhammadiyah menginterpretasi
kembali teks-teks al-Qur’an serta melakukan peran dan respon untuk mengembangkan
pemahaman pluralitas agama di Indonesia. Kehadiran agama Kristen di Indonesia tidak terlepas dari anggapan
sebagai bentuk hegemoni kolonialisme
Belanda. Akibatnya, Muhammadiyah—bersama kelompok Muslim lain, seperti NU–,
bergerak mengadakan perlawanan terhadap
rezim kolonial yang ingin mendukung dan memajukan aturan-aturan hukum yang
diilhami oleh agama Kristen (lihat hal.
51-9). Buku ini sekaligus menguatkan
teori penetrasi Kristen sebagai faktor penyebab lahirnya Muhammadiyah.
Karenanya, Muhammadiyah memposisikan
diri sebagai suatu cara mempertahankan diri dari pengaruh misi Kristen,
yang mendapat dukungan luar biasa oleh para penguasa kolonial Belanda.
Citra eksklusif dan anti Kristen di tubuh Muhammadiyah berangsur berkurang.
Fikih Negara-bangsa yang dideklarasikan di awal kemerdekaaan, dengan menjadikan
Pancasila sebagai dasar Negara turut membentuk dan merubah strategi
Muhammadiyah. Dengan komitmen untuk membangun keselarasan antara al-Qur’an dan harmonisasi
dalam berhubungan sosial dengan umat beragama lain, termasuk Kristen, dalam
paying Negara Kesatuan Republik Indonesia, Muhammadiyah berupaya menyelesaikan
problem akademis-scholarship-hermeneutis yang menjadi batu sandung hubungan
antar umat agama di Indonesia. Salah satu bentuk responnya adalah dengan
menyusun dan menerbitkan Buku “Tafsir Tematik al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial
Antar Umat Beragama”, menjelang diselenggarakannya Muktamar Muhammadiyah ke-44
di Jakarta, 8-11 Juli 2000. Tafsir
Tematik ini menyimpulkan bahwa
perspektif pluralistas agama merupakan salah satu prinsip untuk melihat “orang
lain agama” (the religious other) dan hubungan social antar umat beragama pada
umumnya. Dalam konteks ini, Tafsir Tematik mengelaborasi konsep Ahli Kitab
dalam al-Qur’an, karena dipandang sebagai
prinsip Islam yang sangat penting untuk dipahami dalam rangka membangun
hubungan sosial antar umat beragama. Tafsir Tematik ini menyimpulkan secara berbeda dari penafsiran konvensional selama
ini, yaitu bahwa Ahli Kitab itu terdiri
dari Yahudi, Kristen, Majusi, dan Sabiun. Ahli Kitab sesungguhnya bisa
diperluas sampai Konfusianis, Hindu, dan Budha. Sebab, pendiskreditan komunitas
agama tertentu sesungguhnya dapat dipandang bertentangan dengan semangat
al-Qur’an; yang justru memperkenalkan ajaran toleransi dalam berhubungan dengan
komunitas agama lain (hal. 151-2). Sayang, munculnya Tafsir Tematik ini tidak
diakui secara resmi atau diterima setengah hati
sebagai sebagai produk organisasi
yang mengikat para anggotanya.
Rekonstruksi Epistemelogi Pemikiran Keagamaan dan
Keislaman
Tantangan kedua adalah kebutuhan rekonstruksi
epistemologi pemikiran keagamaan. Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang
berwatak sosio kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon
berbagai perkembangan kehidupan,
termasuk dalam merespon kemajemukan agama di Indonesia. Spirit
ini mendorong Muhammadiyah
berupaya terus untuk memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi
manhaj pemikiran keislamannya (hal. 89).
Muhammadiyah menetapkan konsep Tajdid wa al-iftikar, sebagai program pembaharuan terrencana dan
terstruktur yang diletakkan di atas bangunan refleksi motivitas dan
historisitas dan aplikasinya pada realitas kehidupan nyata Islam dalam kontek
sosial-kemasyarakatan dalam arti luas. Muhammadiyah berharap Islam benar-benar menjadi rahmatan lil alamin dan
pemikiran Islam siap menerima kontribusi dari semua lapisan baik dalam
masyarakat muslim (insider) maupun non muslim (outsider). Pemikiran Islam ini dibangun dan
dikembangkan dengan bersumberkan pada wahyu, akal, ilham atau intuisi dan
realitas untuk mendukung universalitas Islam sebagai petunjuk bagi manusia
menuju kesalehan individual dan kesalehan sosial (hal. 93).
Dalam merumuskan metodologi pemikiran Islam,
Muhammadiyah merujukkan pada dua macam
kebenaran, yaitu kebenaran ikhbary; yang bersifat suci dan bukan obyek kajian
dalam pemikiran Islam, dan kebenaran
nadhary; dengan anggapan bahwa Islam
tidak berada dalam ruang hampa. Nash-nash atau wahyu yang diintepretasi selalu
berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan pengarang, pembaca maupun
audiensnya, yang mengisi rentang waktu
–dulu, kini, dan mendatang. Lingkaran
hermeneutis ini meniscayakan suatu perubahan terus-menerus dalam melakukan
interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh perubahan-perubahan yang
berkesinambungan dalam realitas masa kini, baik individu maupun masyarakat,
sehingga dibutuhkan cara pembacaan baru atas teks-teks dan realitas tersebut (hal. 94).
Sudah cukup lama
saya menangkap kesan bahwa pemikiran Muslim terlalu rigid dan puritan.
Persperktif puritan dalam memecahkan persoalan sosial-kemasyarakatan akan menyulitkan para anggotanya untuk dapat
berpikir sintesis, elastis dan pragmatis berbasis analisis keilmuan.
Literatur-literatur pemikiran Muslim yang ada lebih banyak mengajukan satu
pilihan berpikir dan kurang memberi
ruang pada pemikiran-pemikiran alternatif. Pola pemikiran satu pilihan ini
jelas sangat menyulitkan untuk melakukan
transformasi pemikiran dan cenderung mengarah pada pola pemikiran normatif
semata. Di sinilah perlunya kerja keras untuk meletakkan secara proporsional
dimensi empirisme dalam bangunan epistemologi pemikiran keislaman,
sehingga menjadi bagian yang utuh dengan
dimensi spiritualitas dan moralitasnya.
Sebab, jika umat Islam tidak mau mengalami, memahami, dan bergumul
dengan proses perubahan pola pikir yang diakibatkan perkembangan sejarah, budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta munculnya struktur bangunan pemikiran keagamaan
yang baru dalam merespon perubahan tersebut, maka akan berakibat pada semakin
jauhnya antara “doktrin” dan ‘realitas” dan akan mudah terjebak pada bentuk
respon sosial-intelektual yang bernuansa “al-ghazwul-al-fikry”, yang lebih
cenderung ideologis-politis (Abdullah, 1996: 261-62 dan 1995: 119-20).
Jelaslah, sejalan
dengan epistemologi yang dikembangkan,
pemikiran keislaman Muhammadiyah sangat membutuhkan pengeksplorasian
multi pendekatan, meliputi: bayani, irfani dan burhani, disesuaikan dengan obyek kajian–apakah ia berupa teks,
ilham atau realitas, dan pada aspek masalahnya—apakah berbentuk transhistoris,
transkultural atau transreligius. Dalam
pendekatan bayani, dominasi teks sedemikian kuat sehingga peran akal hanya
sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi. Sedangkan pendekatan
‘irfani bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah
dan intuisi, sehingga ia mampu menghampiri agama-agama pada tataran substantif
dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan
adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi
dan ekspresinya (Partucular Pattern), namun memiliki substansi dan esensi yang
kurang lebih sama (General Pattern). Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris,
transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada
orang lain secara elegan dan setara. Sementara
pendekatan burhani atau pendekatan rasional argumentatif mendasarkan
diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika dan metode diskursif. Pendekatan ini
menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber
kajian. Dengan pendekatan burhani, yang telah dikembangkan dan dimodifikasi
sesuai perkembangan the logic of scientific discovery menurut saya,
Muhammadiyah tidak akan terjebak pada
bentuk respon “al-ghazwul-al-fikry”,
seperti dialami sejumlah kelompok Islam lainnya.
Salah satu aplikasi pendekatan burhani dalam memahami
teks (text), termasuk al-Qur’an, dan al-Hadist, menurut Farid Esack ((1997: 49)
ada tiga elemen mendasar: teks itu sendiri (the Text), pencipta teks (the author), dan penafsir (the
interpreter) dan aktifitas penafsirannya. Bagi Esack, teks tidak berdiri
sendiri dan terlepas dari ruang dan waktu, sehingga memahami teks harus
mempertimbangkan konteksnya. Tanpa konteks, teks tidak akan memiliki basis
nilai social dan cultural yang kuat. Namun, untuk menemukan makna yang
asli-otentik, atau arti yang sebenar-benarnya dengan cara mengaitkan teks dengan
kehendak Tuhan sebagai Pencipta teks (the Author of text) al-Qur’an
adalah sesuatu yang problematis. Tidak ada dalam konsep Islam, bahwa setiap
Muslim boleh mengklaim telah dapat memahami pikiran Tuhan sebagai Pencipta teks
atau menyatakan bahwa Tuhan telah membenarkan pemikiran-pemikiran mereka. Jalan
alternatif untuk mengatasi problematika ini adalah melalui inspirasi-intuisi
yang meneladani pendekatan-pendekatan Muslim dalam memahami scripture dan
mempertimbangkan karya-karya kesarjanaan dalam mistisisme dan tradisi Islam
populer. Metodologi kesalehan ini perlu dikombinasikan dengan kemauan ilmiah
untuk memproduksi makna. Kesalehan juga merupakan sedikit upaya untuk
menghilangkan klaim-klaim opini pribadi, kelompok, organisasi, atau sekte-sekte
keagamaan yang vdapat mengakses langsung
kebenaran (truth). Disini, arti penting khazanah intelektual Muslim. Menggali
kembali kekayaan khazanah intelektual Islam era klasik-tengah, yang biasa
disebut al-Turats, sangat penting untuk diakomodasi, diberi tempat dan
dipertimbangkan kembali secara sungguh-sungguh dalam era modern maupun
kontemporer sekarang ini. Disiplin Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah
tingkat scholarship-kesarjanaan, lewat
jenjang akademik S 1, S2 dan S 3, yang
utuh-komprehensif dapat membantu melakukan tugas ini.
Sedangkan penafsir, menurut Esack, dalam menerima teks
dan, kemudian, menghasilkan pemaknaan atas teks tersebut, tidak bisa terlepas
dari konsepsi para penafsir masing-masing dalam aktivitas penafsirannya. Jadi,
proses penafsiran teks-teks keagamaan tidak mungkin bisa menghindari aspek
bahasa, sejarah, dan tradisi – belum lagi menyebut tingkat (kualitas)
pendidikan sang penafsir dan situasi jaman (sosial-politik dan tingkat kemajuan
ilmu pengetahuan manusia) yang mengitari turunnya sebuah teks dan penafsir itu
sendiri. Baginya, setiap aktivitas penafsiran adalah suatu keterlibatan dalam
proses linguistik-historis, karena itu pembentukan tradisi dan keterlibatan ini
terjadi dalam ruang waktu dan tempat tertentu (1997: 49, 63, dan 73-7). Karena itu, dalam konteks pluralitas agama, al-Qur’an secara tegas tidak saja
menerima the other sebagai komunitas
sosio-religius yang sah, namun juga
menerima spiritualitas dan jalan keselamatan mereka.
Memelihara kesucian tempat ibadah tidak saja ditujukan agar
terjaganya integritas masyarakat multi agama, namun juga disebabkan
bahwa Tuhan, yang melambangkan puncak
dari semua agama-agama ini, disembah dan
dipuja di dalam tempat suci tersebut
(1997: 161). Oleh karenanya, menurut pemahaman Islam yang genuine dan sudah
berjalan turun temurun, maka dalam situasi sepahit apapun, dalam situasi
konflik antar etnis dan atau agama yang bagaimanapun, maka tempat-tempat ibadah
tetap harus dilindungi dan tidak boleh dirusak oleh siapapun. Sungguh sangat
sulit memahami perilaku manusia beragama era modern yang kadang-kadang dengan
mudah malah merusak tempat ibadah
golongan lain agama dan juga tempat ibadah golongan yang masih dapat disebut
dalam rumpun agama sendiri.
Dalam bingkai dan payung studi keislaman (Dirasat
Islamiyyah) yang utuh-komprehensif di tingkat kesarjanaan serta melalui
pendekatan dialogis antara bayani, irfani dan burhani yang diperluas, maka
Muhammadiyah sesungguhnya dapat mengembangkan
pemikiran Islam kontemporer yang
bisa memahami semua realitas
persoalan keislaman kontemporer dalam rangka mengantisipasi, sekaligus
memandu, gerak perubahan melintasi jaman
era industrialisasi dan globalisasi budaya dan agama. Masalah yang selalu hadir dari kandungan
sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha
menyelesaikannya melalui proses triadik/hermeneutis (hubungan
kritis/komunikatif dialogis) antara normativitas ad-din (al-ruj’u ila al-Qur’an
wa al-sunnah al-maqbulah), historisitas berbagai penafsiran atas din, realitas
kekinian dan prediksi masa depan (hal.
91).
Belajar dari kekurangan dan kelemahan paradigma berpikir
bayani, burhani, dan irfani, lebih-lebih jika paradigm yang satu terlepas dari
yang lain, maka ketiga paradigma berpikir tersebut perlu di “link” an antara
yang satu dan lainnya. Paradigma “integrasi” dan “interkoneksitas” yang belakangan diusung oleh beberapa
Universitas Islam Negeri merupakan upaya untuk mengurangi ketegangan yang
seringkali tidak produktif dalam studi keislaman kontemporer. Untuk menghindari
keterputusan hubungan antara pola pikir pendekatan bayani dari burhani ,
burhani dari irfani; bayani dari irfani dan burhani dan begitu sebaliknya, yang
biasa umum terjadi, maka diperkenalkanlah pendekatan baru yang bercorak
“integrative” dan atau “interkonektif”.
Diharapkan dengan menggunakan paradigma “integrasi” - paradigma ini terasa sedikit ambisius- tidak akan ada lagi ketegangan, karena
mengintegrasikan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan
sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk ke wilayah
“historisitas-profanitas” atau dengan cara sebaliknya, yakni membenamkan dan
meniadakan seluruhnya sisi historisitas keberagamaan Islam ke wilayah
normativitas-sakralitas tanpa reserve. Sedangkan dengan paradigma
“interkoneksitas”, – agak sedikit modes – dapat memahami kompleksitas fenomena
kehidupan yang dihadapi manusia, kompleksitas bangunan keilmuan, baik keilmuan
agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun sains kealaman, dengan klaim-klaim
sepihak yang sulit dibendung atau dicegah. Paradigma “interkoneksinas”
mengingatkan bahwa masing-masing bidang
keilmuan tidak dapat berdiri sendiri (self sufficiency) . Yang diperlukan
sekarang adalah komitmen dan panggilan para ilmuan untuk saling membuka diri,
berdialog, saling menyapa antara satu bangunan ilmu yang satu dengan
lainnya, antara sains dan agama, dengan
cara saling menggunakan dan memanfaatkan cara kerja metodologi maupun unit-unit analisis yang
saling menyilang dan berdialog, sehingga output maupun outcome keilmuannya
tidak terlalu jauh dari harapan masyarakat penggunanya. (lebih lanjut lihat M. Amin Abdullah, 2006.
Islamic Studies, Pendekatan Integratif-interkonektif , Yogyakarta: Pustaka
Pelajar).
Peran Leaders of Influence dalam Persemaian
Perspektif Baru dalam Agama dan Sains
Tantangan ketiga adalah leadership, yakni peran pimpinan
lembaga keagamaan dan strategi pengembangan wawasan kebinnekaan lewat
perjumpaan sains dan agama. Dalam konteks Muhammadiyah, organisasi yang
didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan ini telah melakukan banyak kiprah dalam membangun hubungan harmonis dengan
pemeluk agama-agama di Indonesia dalam format negara – bangsa. Tanpa menghilangkan apresiasi pada kiprah
sebelumnya, saya sepakat dengan analisis Kuntowijoyo, bahwa Muktamar Muhammadiyah
ke-43 di Banda Aceh tahun 1995 lalu merupakan “momentum”–yang bisa jadi tidak
akan terulang kembali– bagi Muhammadiyah dalam
peneguhan peran dan strategi pengembangan pluralitas agama di Indonesia. “Momentum’ tersebut,
barangkali, ditandai oleh rekruitmen sangat menonjol kelompok intelektual
Muhammadiyah dari kalangan akademisi Perguruan Tinggi, yang mengisi semua posisi kepengurusan
Muhammadiyah hasil Muktamar Muhammadiyah ke 43 Banda Aceh tersebut. Sejak
muktamar ini, menurut Kuntowijoyo, Muhammadiyah sebagai gerakan
pembaharuan menjadi memiliki dua wajah,
yaitu sebagai gerakan sosial dan sebagai gerakan intelektual (Shihab, 1998:
xxii).
Gerakan intelektual yang dimaksud oleh Kuntowijoyo,
menurut tafsiran dan bacaan saya adalah gerakan keilmuan yang mampu membangun
semacam school of thought, yang distintingtif warna Indonesian Islamnya, yang
dapat diperhitungkan dan dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat dunia. Muhammadiyah ingin
memasuki tahapan itu di penghujung usia ke seratus tahunnya. Harapan besar dan
impian adanya gerakan intelektual yang disupport oleh para pemimpin
persyarikatan di setiap tingkatan. Namun
gerakan intelektual yang dimaksud dan diimpikan oleh Kuntowijoyo rupanya harus ‘layu sebelum berkembang’.
Gerakan intelektual yang akan
mendampingi dan mengiringi nafas gerakan sosial Muhammadiyah, diterpa
badai (baca: angin lesus) gurun Global Salafism yang bergerak amat sangat cepat
dan memuncak ketika Muktamar Muhammadiyah di Malang tahun 2005. Para leaders,
tokoh dan pemimpin Muhammadiyah di hampir setiap tingkatan, dari pusat sampai
daerah, yang dari semula memang tidak disiapkan untuk dapat bertahan terhadap
terpaan badai, hanyut dalam gumpalan
awan badai dan hanyut (Jawa : klentir)
dalam amukan terjangan air bah yang menyertainya, yang saat itu memang sedang menerjang dan menggulung seluruh dunia Islam
pada umumnya. Pakistan, Saudi Arabia, Kairo, Somalia, Nigeria, Palestina,
Afganistan, Yugoslavia, Chechnya. (Stephen Schwartz, 2002). Selama 5 tahun
terakhir, bekas-bekas terpaan badai gurun masih terasa dan terlihat bekas
nya disana sini.
Bagaimana Muktamar Muhammadiyah ke-46 di kota
kelahirannya, Yogyakarta, 5 tahun setelah badai berlalu? Badai memang bisa
berlalu, tetapi di alam semesta ini tidak pernah ada wilayah yang tanpa badai.
Kecil maupun besar. Puting beliung adalah badai-badai kecil yang biasa hinggap
dan mampir di tanah Jawa. Tapi kalau
besar , seperti badai topan Tornado seperti yang biasa di Amerika Serikat, dia
bisa menghacur luluhkan seluruh bangunan kokoh dan peradaban yang yang pernah
dibangunnya. Para pimpinan persyarikatan, pada setiap lapisan dan tingkatan
perlu disiapkan menghadapi badai yang akan selalu ada. Salah satunya, adalah
merumuskan kembali Fislafat Pendidikan Muhammadiyah ditengah badai gurun Global
Salafism yang merambah dimana-mana.
Mencari rumusan filsafat pendidikan Muhammadiyah?
Ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan. Pertama,
Prinsip Transendensi. Mungkin terlalu tinggi
menggunakan istilah filsafat. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah lagi.
Pastinya, bukan filsafatnya yang
penting, tapi core values yang
terkandung di dalamnya jauh lebih penting. Core values yang dapat mengantar
peserta didik dapat “mandiri”, “otonom”, bermoral, kritis dan memiliki
integritas yang tinggi. Sifat-sifat mulia dan etos yang tinggi inilah yang
dapat memiliki kemampuan untuk melakukan “transendensi: (Spiritual uplifting).
Core values diharapkan akan mengantarkan peserta didik menjadi branding baru
persyarikatan dalam memandu penyelenggaraan pendidikan di lingkungan
persyarikatan Muhammadiyah paska Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta.
Core values tadi dirumuskan atas dasar kajian yang mendalam oleh
Lembaga-lembaga Penelitian dan kelompok-kelompok studi di
universitas-universitas besar di lingkungan persyarikatan.
Kedua, Prinsip Humanisasi : Apapun core values yang akan
dirumuskan ulang oleh para cerdik pandai, cendekiawan dan ulama di lingkungan
persyarikatan Muhammadiyah, yang pasti tidak boleh dilupakan adalah situasi
riil yang dihadapi Perguruan Muhammadiyah di tengah-tengah badai global capitalism. Apakah cita-cita
besar tafsir al-Ma’un KH Ahmad Dahlan masih menjadi obor, pelita dan panduan
bagi perguruan (Tinggi) di bawah persyarikatan Muhammadiyah? Jika masih, apakah
bentuknya masih sama dan sebangun dengan ketika dirumuskan dulu? Kalau perlu
dikembangkan, bagaimana model pengembangannya dan lebih-lebih penerapannya di
lapangan?. Apakah pemahaman kontemporer tentang disable (penyandang
cacat), yang kemudian belakangan lebih popular disebut difable (different
ability), ,orang yang mempunyai kemampuan yang berbeda, sudah menjadi bagian
tak terpisahkan dari visi dan misi perguruan (Tinggi) Muhammadiyah yang baru,
misalnya? Core values yang menyentuh wilayah ini sudah barang tentu akan
membimbing masuk ke wilayah humanisasi tingkat lanjut.
Ketiga, Prinsip Keadilan. Seperti yang diuraikan di
depan, bagaimana Perguruan (Tinggi) di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah
serius mencermati dan menekuni Islamic Studies pada level
kesarjanaan-scholarship, tidak hanya berhenti pada bangunan Ulum al-Diin dan
al-Fikr al-Islamiy? Bagaimana menjaganya kalau sudah ada, dan bagaimana
segera menyelenggarakannya, jika belum
ada? Tidak tertinggal dari perguruan-perguruan atau institusi kecil yang mampu
dan dapat menyelenggarakan Islamic Studies yang lebih baik? Bagaimana nantinya
siswa dan mahasiswa, juga dosen, bahkan
para pimpinan persyarikatan sendiri
sadar bahwa dihadapan mereka ada dua badai yang selalu mengintai, yaitu badai global capitalism dan global
salafism, yang perlu disikapi secara
proporsional dan berkeadilan oleh para dosen, guru, mahasiswa dan
pimpinan persyarikatan? Bagaimana mendidik, mengajar dan mentraining mereka
supaya dapat siap jika diterpa salah satu dari badai tersebut, bahkan bagaimana
jika capitalism dan salafism keduanya datang bersamaaan waktunya, sehingga
sulit dibedakan mana yang salafism dan mana yang capitalism? Prinsip “La
“syarqiyyah” wa la “gharbiyyah”, dan mendahulukan keadilan (I’dilu walau ‘alâ
anfusikum, apalagi dengan orang atau kelompok lain?) merupakan panduan moral
keislaman yang tetap abadi, dimanapun dan kapanpun.
Masih banyak butir-butir pertanyaan yang dapat diangkat
ke permukaaan, tapi lebih baik berhenti sampai disini dan para peserta diskusi
pakar dan para praktisi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah yang akan
melanjutkan sendiri pertanyaan-pertanyaan genuine yang akan menjadi rambu-rambu
penting dalam perumusan ulang filsafat pendidikan Muhammadiyah di era global
capitalism dan global salafism. Wallahu a’lam bi sawab.
Cupuwatu, Sleman, Yogyakarta, 15 Juni 2010
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin.,
1995. Falsafah Kalam Di Era
Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
…………………….., 1996.
Studi Agama: Normativitas dan Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
…………………….., 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi
: Pendekatan Integratif-interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
……………….., 2009 , “Mempertautkan Ulum al-Diin, Al-Fikr
al-Islamiy dan Dirasat Islamiyyah : Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban
Global” dalam Marwan Saridjo (Ed.), Mereka Bicara Pendidikan Islam : Sebuah
Bunga Rampai, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Esack, Farid,
1997. Qur’an. Liberation & Pluralism, England and USA: Oxford.
Oneworld.
Kuntowijoyo, 1998.
“Pengantar”, dalam Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, hal.
xxii.
Meijer, Roel (Ed.), 2009, Global Salafism : Islam’s New
Religious Movement, London : Hurst & Company.
Schwartz, Stephen, 2002, The Two Faces of Islam : The
House of Sa’ud From Tradition to Terror, New York : Doubleday.
Amin Abdullah
Disampaikan dalam forum Diskusi Pakar
“Perumusan Filsafat Pendidikan Muhammadiyah” Auditorium Gedung Pusat Dakwah
Muhammadiyah, Jakarta Pusat, 15 Juni 2010
0 komentar:
Posting Komentar