HIDUP
sederhana tidak berarti miskin, pelit, dan menyiksa diri. Sikap ini muncul
justru dari pribadi yang kaya hati, kuat mengendalikan diri, dan peduli
terhadap sesama.
Orang yang biasa hidup sederhana akan lebih jernih memandang
dan membaca dunia sekitar karena melihatnya dengan hati yang lebih bening,
tidak terhalang aksesori untuk memancing pujian orang. Dalam bentuk bangunan
fisik, bangunan sederhana yang amat anggun dan sangat magnetis tentu saja
Kakbah. Sejak dari warna, bentuk hingga isinya serba sederhana, tetapi di balik
kesederhanaannya itu Kakbah menyimpan sejarah dan cita-cita sangat mulia yang
diwariskan Nabi Ibrahim untuk mengajak umat manusia agar mengenali siapa
dirinya.
Bahwa seluruh manusia itu pada
dasarnya bersaudara.Semuanya berasal dari Allah dan semuanya akan kembali
kepada-Nya. Tokoh-tokoh besar penggubah jalan sejarah dan pembangun peradaban
besar umumnya hidup secara sederhana. Yang besar adalah jiwanya, menjulang
tinggi cita-cita dan nalar kreatifnya. Sampai sampai soal makan, pakaian, dan
tempat tinggal tidak dipikirkan kecuali sebatas menjaga kesehatan dan keamanan
dirinya untuk berkarya. Tokoh yang masih mudah dikenang, di luar jajaran Nabi,
adalah Mahatma Gandhi, Ayatullah Khumaini, dan Nelson Mandela.
Mereka begitu sederhana gaya
hidupnya. Kita jadi prihatin dan merenung, mengapa politisi dan pejabat tinggi
kita terjebak ke dalam alam pikir dan gaya hidup yang dangkal? Yang menempatkan
gaya hidup konsumtif dan kekayaan materi sedemikian tingginya sehingga tidak
segan-segan melakukan korupsi yang berakibat pada kehancuran martabat negara,
bangsa, rakyat, dan dirinya sendiri. Sikap sederhana muncul jika seseorang
lebih menghargai kualitas hidup yang lebih dalam, bukannya pada kemasan atau
gaya hidup yang lebih menampakkan kulit luar saja.
Orang yang sangat mementingkan
kemasan luar bisa jadi tengah mengalami krisis kepercayaan diri. Atau memang
sudah dari dulu terbiasa hidup serbamewah dan glamor. Bagi seorang pemimpin
sangat penting membiasakan hidup sederhana agar tidak tercipta jarak yang
menganga dengan rakyat. Yang lebih penting dari hidup sederhana adalah pada perilaku
dan tutur katanya. Bisa jadi seseorang melimpah kekayaannya, tetapi itu tidak
membuatnya silau dan ia tidak menjadi tawanan dari kekayaannya.
Harta adalah instrumen atau pelayan
yang mesti mengabdi kepada pemiliknya, jangan terbalik. Ada orang berpendapat,
sebagian masyarakat kita sudah termanjakan oleh gaya hidup konsumtif dengan
biaya mahal sejak masa Orde Baru. Bangunan hotel, restoran, mal, dan showroom
mobil selalu bermunculan yang kemewahannya jauh mengalahkan bangunan sekolah,
universitas, dan gedung kesenian.
Masyarakat Indonesia juga dikenal
sebagai pangsa pasar yang sangat subur bagi produk telepon genggam dan parfum
produk mutakhir. Di Jakarta Selatan terdapat lebih dari 10 mal dan pusat-pusat
belanja yang cukup mewah. Itu pun selalu ramai dikunjungi orang. Ketika terjadi
krisis ekonomi dan lingkungan, terutama akibat banjir dan macet, keluarga kelas
menengah kita sangat mudah berkeluh kesah dan hampir putus asa bagaimana
mengatasinya.
Kita memang sudah begitu lama hidup
dimanjakan oleh berbagai fasilitas pembangunan mewah warisan Orde Baru meskipun
dari uang utang luar negeri sehingga berat kalau diturunkan gaya hidupnya. Yang
berbahaya adalah jika mental ini menular kepada anak-anak kita. Pada generasi
awal, yaitu generasi pejuang yang mengadu nasib merintis karier di kota besar,
mereka masih memiliki ingatan atau mental database bagaimana hidup susah.
Namun generasi baru yang terlahir
di masa Orde Baru yang merasa serba berkecukupan, lalu sekarang situasi
memburuk, mental mereka tidak cukup kuat menghadapi kerasnya kehidupan. Mungkin
faktor ini ikut mendorong untuk memilih jalan pintas tanpa memperhatikan halal
haram. Lalu orang tua pun ingin melestarikan status quo pada wilayah comfort
zone bagi dirinya dan keluarganya sehingga, lagi-lagi, tidak segan-segan
melakukan korupsi. Sesungguhnya gaya hidup sederhana sudah dicontohkan oleh
para pejuang pendiri bangsa.
Dulu pun pernah pula semasa Pak
Harto muncul seruan hidup sederhana. Namun rupanya sekadar seruan, tidak
terwujud dalam pelaksanaan. Di lingkungan pendidikan pun terjadi krisis
pendidikan character building. Ambisi untuk lulus ujian nasional
menjadi agenda utama setiap sekolah dengan mengurangi perhatian pada
pengembangan bakat dan pendidikan karakter.
Padahal, sebuah bangsa akan bangkit
dan maju kalau pemerintah dan masyarakatnya kompak berani hidup sederhana, lalu
diikat oleh semangat dan cita-cita untuk membangun kebanggaan sebagai sebuah
bangsa dan negara sebagaimana yang dicontohkan oleh peristiwa historis Sumpah
Pemuda 1928. Dari sisi materi, mereka sederhana hidupnya, tetapi sangat kaya
dengan imajinasi, cita-cita mulia, dan altruistis, yaitu perasaan bahagia dan
bermakna hidupnya dengan banyak memberi, bukannya mengambil atau menerima belas
kasih orang.(*)
0 komentar:
Posting Komentar