30 April 2010
“Oleh karena keadaan dan lingkungan sosial (juga
ekonomi, politik, budaya, Iptek) berubah dan berkembang, maka peran yang
dimainkan oleh berbagai riwayat akan berubah dan berkembang juga. Sebuah
riwayat yang hanya memiliki sedikit pengaruh sosial-politik di suatu masa
tertentu dapat berubah akan memiliki pengaruh begitu besar pada masa yang lain.
Sebuah riwayat yang cukup masuk akal untuk dipahami, dipegangi dan dipedomani
pada suatu masa tertentu dapat saja berubah menjadi tidak masuk akal untuk
dipedomani pada masa yang lain”
Khaled Abou El Fadl: Teks, Pengarang dan Pembaca
Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat
pendekatan hermeneutik tidak begitu populer
dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Jangankan
menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan
sosial-keagamaan, mendengar istilah hermenutik pun orang sudah antipati.
Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap hermeneutik. Yang paling
mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah yang populer digunakan
di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain dikaitkan dengan
pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang hendak diterapkan
dalam kajian al-Qur’an di lingkungan Islam. Lewat buku Speking in God’s name : Islamic
Law, Authority and Women, Khaled Abou El Fadl (guru besar hukum Islam di UCLA
School of law, Amerika Serikat) hendak menyatakan dan menegaskan bahwa
pemahanan tentang hermeneutik sebenarnya tidaklah seperti itu. Dalam buku yang
ditulis dalam bahasa Inggris setebal 361
halaman dan terjemah Indonesia menjadi Atas Nama Tuhan : Dari Fikih Otoriter ke
Fikih Otoritatif 617 halaman, ia hendak menjelaskan secara akademis dan
memotret secara lebih dekat bagaimana sesungguhnya proses dan prosedur cara
kerja pendekatan hermeneutik : Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana
sesungguhnya hubungan antara Teks (Text) atau nas, Penulis atau Pengarang
(Author) dan Pembaca (Reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam
pada khususnya dan pemikiran Islam umumnya. Lebih khusus lagi, ia menyoroti
secara lebih tajam bagaimana sesungguhnya mekanisme perumusan dan pengambilan
keputusan fatwa-fatwa yang dikeluarkan baik oleh pribadi-pribadi, tokoh-tokoh
masyarakat dan lebih-lebih lembaga-lembaga dan organisasi keagamaan pada
umumnya. “Kompetensi” dasar seperti apa yang sesungguhnya dimiliki oleh
seseorang, kelompok, organisasi-organisasi atau institusi-institusi keagamaan
yang berani mengatasnamakan diri atau lembaganya sebagai pemegang tunggal
penafsir dan sekaligus pelaksana perintah “Tuhan”?. Alat uji sahih seperti apa
yang diperlukan untuk mengetes atau menguji validitas klaim otoritas ketuhanan
yang melekat dalam fatwa-fatwa keagamaan?. Mengapa tiba-tiba muncul fenomena
umum dalam dunia praxis keagamaan Islam era modern apa yang ia sebut sebagai
“authoritarianisme”, atau lebih tepat
disebut “menggunakan kekuasaan Tuhan” (Author) untuk membenarkan tindakan
sewenang-wenang Pembaca (Reader) dalam memahami dan menginterpretasikan teks
(Text) dan ditindaklanjuti dengan keinginan untuk mengimplementasikannya dalam
kehidupan publik dengan menepikan begitu saja untuk tidak menyebut
menyingkirkan jenis pemahaman dan interpretasi yang dikemukakan oleh pihak lain
dalam dinamika pergumulan dan percaturan fatwa-fatwa keagamaan dalam kehidupan
bermasyarakat secara luas?.
Berbeda dari tradisi hermeneutika di lingkungan Biblical
Studies, hermeneutika dalam studi keislaman, khususnya yang terurai dalam buku
Khaled Abou El-Fadl, dipicu oleh persoalan penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa
keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh ahli-ahli hukum agama Islam pada CRLO
(Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions/al-Lajnah
al-daimah li al-buhuts al-ilmiyyah wa al-ifta’) yang dibaca secara luas dan
sekaligus dirisaukan oleh para akademisi di belahan dunia yang berpenduduk
mayoritas muslim dan lebih-lebih dalam konteks masyarakat minoritas Muslim yang
tinggal di dunia Barat. Fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang wanita yang
dianggap sangat problematik oleh Khaled (selanjutnya, kadang saya sebut
penulis) antara lain fatwa keagamaan Islam tentang pelarangan wanita
mengunjungi makam suami, wanita mengeraskan suara dalam berdo’a, wanita
mengendarai atau stir mobil sendiri, wanita harus didampingi seorang pria
mahramnya. Fatwa-fatwa tersebut dianggap oleh penulis buku ini sebagai tindakan
merendahkan untuk tidak menyebutnya menindas wanita yang tidak dapat ditolerir
pada era sekarang ini. Fatwa-fatwa yang berlindung dibawah teks (nas) mengklaim
bahwa itulah yang sebenarnya “dihendaki oleh Tuhan”. Sampai-sampai Khaled
bertanya “jika memang para pria yang lemah moralnya, mengapa harus wanita yang
menderita?”. Jika pria memang lemah, mengapa mereka pula yang harus memimpin
keluarga dan negara?.
Begitu juga pendapat atau fatwa keagamaan yang
mengatakan bahwa wanita harus berdo’a atau melakukan salat di suatu tempat yang
paling tersembunyi, tak tampak oleh pandangan, atau wanita harus menyerahkan
seluruh jiwa-badannya kepada suami kapanpun suami menghendakinya, atau
keselamatan wanita sangat tergantung pada kepuasan atau keinginan suami, atau
wanita akan mengisi sebahagian besar tempat yang tersedia bagi penduduk neraka,
kesemuanya ini dianggap oleh penulis sebagai tindakan offensif-oppressif dan
merendahkan wanita yang tidak berdasar secara moral. Apa yang digelisahkan dan
dipertanyakan oleh Khaled Abou El Fadl sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali
baru karena hampir bersamaan waktunya, pertanyaan serupa juga muncul di tanah
air. Pusat-pusat Studi Wanita di lingkungan Institut Agama Islam Negeri dan
Lembaga-lembaga Studi Wanita yang lain di berbagai Perguruan Tinggi dan Lembaga
Swadaya Masyarakat telah mengupasnya. Yang terasa baru dari penulis buku ini
adalah cara mendekati dan menelaah persoalan ini lewat pendekatan hermeneutis
yang mendalam-tajam, serta implikasinya dalam studi keislaman secara menyeluruh
serta konsekwensinya dalam praktik keagamaan Islam dalam kehidupan sehari-hari
dalam berbagai persoalan dan isu-isu yang lain.
Persoalan penafsiran nas-nas keagamaan Islam yang bias
gender ini dijadikan penulis sebagai dasar pijakan untuk menyelami dan
mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme penafsiran, pemahaman,
perumusan, pemilihan, pengambilan kesimpulan dan pengambil keputusan yang
dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok, organisasi dan institusi
keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam. Dari sini persoalan pelik
muncul. Pertanyaan mendesak seperti diungkap di depan yang dikemukakan oleh
pendekatan hermeneutik adalah : Mengapa dalam dunia modern sekarang ini
terdapat gejala umum yang mudah sekali ditangkap diberbagai tempat adanya
kecenderungan yang kuat oleh umat beragama, khususnya, Islam untuk
mengambilalih begitu saja kekuasaan (otoritas) Pengarang (Author), dalam hal
ini adalah otoritas Ketuhanan, untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang yang
absolut (despotism) yang dilakukan oleh Pembaca (Reader) teks-teks atau nas-nas
keagamaan?. Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling
benar hanyalah “keinginan Pengarang” (the Will of Author), maka dengan mudah
para Pembaca (Reader) menggantikan posisi Pengarang (Author) dan menempatkan
dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas
kebenaran. Disini lalu terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat
dan menyolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya “Pembaca” (The Reader) dan
“Pengarang” (The Author), dalam arti bahwa Pembaca tanpa peduli dengan
keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi
Tuhan (Author) yang tidak terbatas.
Khaled Abou El Fadl, berulangkali menjelaskan dalam
bukunya bahwa penggantian secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara
kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca (Reader) adalah
merupakan tindakan dispotisme dan sekaligus merupakan bentuk penyelewengan
(corruption) yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak bisa dibenarkan
begitu saja, tanpa kritik yang tajam dari community of interpreters (masyarakat
penafsir) yang ada disekitarnya.
Permasalahan teks : ketertutupan atau keterbukaan
makna
Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun adalah
suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (Divine instruction) selalu
bertumpu pada “teks” (Kitabah; qauliyyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya
bersandar pada alat perantara “bahasa” (lughah). Bahasa inilah yang menjadi
sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan
adalah hasil kesepakatan komunitas dan ciptaan budaya manusia. Huruf, kata,
kalimat, anak kalimat, kata sifat,
sangat tergantung pada sistem simbol. Sedang simbol itu sendiri
memerlukan bantuan dan dukungan asosiasi-asosiasi tertentu, gambaran-gambaran,
juga emosi para pendengar, yang sangat bisa jadi berubah dari waktu ke waktu.
Dengan begitu tampaknya “bahasa” memiliki realitas
objektif tersendiri, karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan
sepihak, baik oleh Author (Pengarang) maupun oleh Pembaca (Reader). Ketika
seseorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai media komunikasi,
dialog atau menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka harus memahami
keterbatasan-keterbatasan yang melekat didalamnya. Keterbatasan-keterbatasan
tersebut dibuat secara alami oleh para pengguna bahasa itu sendiri, baik oleh
pengalaman-pengalaman pendengar secara sosial maupun kultural. Oleh karena
kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka
pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok yang manapun, baik oleh
Pengarang (Author) maupun oleh Pembaca (Reader) secara sepihak. Pemahaman teks
seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara Pengarang (Author),
Teks (Text), dan Pembaca (Reader). Ijtihad sebenarnya terkandung arti adanya
peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen pelaku
tersebut. Dengan demikian, ada proses penyeimbangan antar berbagai muatan
kepentingan yang dibawa oleh masing-masing pihak dan terjadi proses negosiasi
(negotiating process) yang terus menerus, tak kenal henti, antara ketiga pihak.
Setiap aktor harus dihormati dan peran masing-masing pihak harus
dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Setiap pihak yang terlibat dalam
diskursus tidak diperbolehkan menguasai, menekan dan mendominasi pihak lain
dalam menentukan makna teks yang ingin dicari secara bersama-sama. Dengan
demikian, proses pencarian makna akan tetap terus terbuka lebar sampai
kapanpun, dan tidak ada finalitas yang berujung pada kesewenang-wenang disini.
Inilah sesungguhnya makna terdalam dari ungkapan dalam hukum Islam bahwa
“setiap mujtahid adalah benar”. Jika kemungkinan munculnya pemahaman baru
tertutup, maka adagium tadi tidak ada gunanya.
Permasalahan hubungan antara Pengarang (Author) dan
Pembaca (Reader): Menghindari kesewenang-wenangan dan pemaksaan pemahaman.
Ketika proses pemahaman teks yang sesungguhnya bersifat
interpretif (banyak pilihan makna dan penafsiran) ditutup (pintu ijtihad
ditutup), maka seseorang atau kelompok telah memasuki wilayah tindakan yang
bersifat sewenang-wenang (despotic). Jika seorang Pembaca (Reader) mencoba
menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau memaksa tafsiran
tunggal, maka tindakan ini beresiko tinggi untuk melanggar integritas Pengarang
(Author) dan bahkan Teks itu sendiri.
Biasanya, seorang Pembaca (Reader), baik sebagai
individu, keluarga, kelompok,
masyarakat, organisasi atau institusi penyimpul fatwa keagamaan (seperti
Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinion (CRLO), Bahsul
Masail, Majlis Tarjih, Dewan Hisbah, Komisi fatwa MUI), madzhab, aliran
pemikiran keagamaan tertentu tergoda untuk menyatakan : “Saya (individu,
kelompok, organisasi, institusi) mengerti benar apa yang dimaksud oleh
Pengarang (Author), dan saya (individu, kelompok, organisasi, institusi) juga
mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Teks, maka pengetahuan saya tersebut
tidak bisa tidak pasti dan harus bersifat tegas dan final”. Tipe pernyataan
baik secara eksplisit maupun implisit seperti itu mempunyai asumsi kuat bahwa
Pembaca (Reader) merasa diberi mandat dan diberi kuasa penuh untuk mengakhiri
peran yang semestinya juga dimainkan oleh Pengarang (Author) dan juga oleh Teks
(nas). Penentuan makna atau pengambilan kesimpulan secara sepihak oleh Pembaca
(Reader) seperti itu menggantikan dan sekaligus menghilangkan peran Pengarang
(Author) dan Teks (Text). Penentuan makna secara sepihak inilah sebagai jenis
“interpretive despotism” (kesewenang-wenang penafsiran). Dengan begitu apa yang
dimaksud oleh Khaled dengan “authoritarianism” adalah tindakan seseorang,
kelompok atau lembaga yang “menutup rapat-rapat” atau membatasi Keinginan Tuhan
(the Will of the Divine), atau keinginan terdalam maksud teks (Text) dalam
suatu batasan ketentuan tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan
tersebut sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, final, dan merupakan
hasil akhir yang tidak dapat dibantah.
Untuk mencegah dan menghindarkan diri, kelompok, dan
lebih-lebih organisasi keagamaan dari tindakan sewenang-wenang yang secara
tergesa-gesa mengatasnamakan sebagai penerima perintah Tuhan, Khaled
mengusulkan 5 persyaratan sebagai katup pengaman supaya tidak dengan mudah
melakukan tindak sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa keagamaan yaitu
kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi atau lembaga untuk
mengontrol dan mengendalikan diri (restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan
berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang
masuk akal (reasonableness) dan kejujuran (honest). Kelima-limanya dijadikan
sebagai acuan parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan
teks sebelum pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya
memang mengemban sebagian perintah Tuhan.
Menghidupkan kembali peran yang berimbang antara
Teks, Pengarang dan Pembaca
Dalam studi Kritik Literer (literary criticism)
diperoleh penjelasan bahwa pengarang teks harus selalu mempertimbangkan apakah
ia akan tetap berada pada kebiasaan tertentu ataukah harus melampaui
kebiasaan-kebiasaan tersebut sehingga harus berani menghadapi berbagai
konsekwensi yang ditimbulkan. Sesungguhnya, begitu sebuah teks dilahirkan, ia
memiliki dunia kehidupan, hak-hak dan integritasnya sendiri.
Banyak teks mati baik di tangan para pengarangnya
sendiri maupun di tangan para pembacanya. Teks-teks yang tidak mampu
membebaskan diri dari tekanan kekuasaan pengarangnya atau tidak dapat memberi
inspirasi segar bagi para pembacanya dengan berbagai tingkat subtilitasnya atau
tidak mampu merangsang dengan berbagai nuansa makna yang terkandung di dalamnya
akan mengalami nasib yang menjemukan, mudah ditebak, kaku dan tertutup.
Sedangkan teks yang mampu menjaga keterbukaannya akan tetap hidup, relevan, dan
bergetar kuat. Meskipun demikian, teks memerlukan bentuk lain dari gerak
pembebasan. Teks memerlukan tidak hanya bebas dari lingkungan dan jeratan
dominasi serta kekuasaan pengarangnya yang berbau paternalistik, tetapi juga
harus dapat terbebas dari tindak sewenang-wenang para pembacanya yang
menyebabkan sulit bernapas dan bergerak. Jika teks memang memegang peran
penting dalam kehidupan, maka harus dipelihara adanya dinamika proses penentuan
makna secara “demokratis”. Dengan begitu, makna tidak boleh digenggam,
dicengkeram, dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh salah satu atau
beberapa aktor yang membelakanginya. Perimbangan kekuasaan dalam penentuan
makna perlu terus menerus dijaga dan dipelihara antara Pengarang (Author),
Pembaca (Reader) dan Teks (Text). Dominasi atau kekuasaan yang berlebih pada
salah satu pihak akan menyebabkan kebuntuan intelektual (intellectual
stagnation). Menurut Khaled, kebuntuan intelektual seperti itulah yang
dipertontonkan dengan begitu jelas oleh fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang
wanita yang dikeluarkan oleh CRLO dalam menentukan makna teks secara sepihak.
Mungkinkah upaya mendinamisir pemaknaan teks dilakukan
oleh umat Islam yang sejak semula corak kebudayaannya memang dikenal sebagai
penyangga utama budaya teks (hadarah al-nas), yang dibedakan dari budaya ilmu
dan budaya falsafah?. Kemungkinan itu tetap saja ada. Setidaknya ada dua pilar
penyangga yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan kembali
semangat ijtihad seperti diurai dimuka dan mengurai benang kusut yang
membelenggu dinamika pemikiran Islam pada umumnya dan pemikiran hukum Islam
khususnya. Dua pilar dimaksud adalah pilar normativitas dan pilar historisitas.
Pilar normativitas diperoleh dari teks al-Qur’an, surat Yusuf ayat 76, yang
menyatakan dengan tegas bahwasanya “wa fauqa kulli dzi ‘ilmin alim”, yang saya
terjemahkan secara bebas sebagai berikut : “Dan diatas setiap orang, kelompok,
organisasi atau institusi keagamaan yang merasa pandai, mesti ada orang,
kelompok, organisasi, atau institusi keagamaan lain yang lebih pandai lagi”.
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada finalitas dalam beragama.
Petunjuk al-Qur’an ini dengan tegas dan gamblang sangat bernuansa hermeneutis,
sekaligus menepis anggapan sementara kalangan yang meragukan perlunya
pendekatan hermeneutik dalam studi keislaman seperti diungkap dimuka. Tampak
sekali bahwa adanya ruang relativitas dalam budaya Muslim dimanapun berada
justru penting dan perlu digarisbawahi sekarang ini. Ruang relativitas tersebut
sangat diperlukan untuk menghidupkan kembali semangat dan kemampuan mengoreksi
dan memperbaiki paham, keyakinan, praktik-praktik ajaran agama, termasuk
fatwa-fatwa keagamaan yang barangkali tidak sesuai dengan nafas atau ruh ajaran
al-Qur’an dan semangat perkembangan jaman.
Pilar kedua diperoleh dari historisitas praktik budaya
intelektual Muslim sepanjang abad. Prasa yang biasa dikutip oleh penulis dan
pengarang Muslim di bagian akhir tulisannya “wa Allahu a’lam bi as-sawab” (Dan
Allahlah yang lebih Mengetahui yang terbenar). Ungkapan ini juga sangat
bernuansa hermeneutis. Namun disini perlu penafsiran dan pemaknaan baru, karena
seringkali para penulis yag menggunakan prasa ini, dalam sikap hidup
bermasyarakat dan sikap intelektualnya masih juga cenderung otoriter-angkuh.
Kalimat ini menunjukkan bahwa setiap keputusan hukum yang diklaim pasti oleh
pembuatnya sesungguhnya belum tentu dapat memenuhi rasa keadilan pemohonnya.
Karena benturan antara keduanya yang sulit dikompromikan, intelektual Muslim
lalu buru-buru bersandar kepada Tuhan sebagai penjamin terakhir kepastian dan
keadilan. Sampai disini memang bagus, tetapi itu lebih cocok untuk era klasik
yang menepikan dimensi sosiologis-antropologis-psikologis manusia. Pada era
modern dan lebih lagi era postmodern, untuk mendekatkan “rasa keadilan” (dalam
kasus ini adalah penafsiran bias gender dan kasus-kasus lain sejenis) dan
“kepastian hukum” (fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh CRLO yang dianggap pasti
dan final) haruslah melibatkan partisipasi seluruh masyarakat penafsir
(community of interpreters). Dalam prosedur kerjanya, selain menggunakan
bukti-bukti teks yang tersedia, juga memanfaatkan pengalaman
kultural-sosiologis, mempertimbangkan kebiasan dan perangai psikologis manusia,
mencermati nilai-nilai fundamental secara filosofis, dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Tanpa melibatkan komunitas atau sekelompok masyarakat penafsir
dari berbagai latar belakang keahlian dan keilmuan, agaknya hukum Islam akan
mudah terjebak pada authoritarianism dan keilmuan shari’ah yang berimplikasi
pada keilmuan Tarbiyah berikut praktik pendidikannya dan keilmuan Dakwah
berikut praktik bimbingan dan pengembangan masyarakatnya akan menghadapi
tantangan serius pada era kontemporer.
Catatan terakhir
Kajian hukum Islam oleh Khaled Abou El Fadl lewat
perspektif hermeneutik tergolong baru, tidak saja untuk pembaca Indonesia,
tetapi juga untuk dunia Islam pada umumnya. Hermeneutika yang ia coba hadirkan
dalam buku ini berbeda hari kajian hermeneutis yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman, bahkan juga berbeda dari Farid Esack, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Disini
ada nuansa tersendiri yang hanya bisa diikuti langsung oleh pembaca yang
budiman halaman demi halaman dalam buku ini dengan penuh kesabaran. Kajian
hermeneutik yang ia tawarkan bersifat inter dan multidisipliner, lantaran
melibatkan berbagai pendekatan : linguistik, interpretive social science,
literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku sejak dari mustalah
al-hadis, rijal al-hadis, fikih usul fikih, tafsir, kalam yang kemudian
dipadukan dengan humaniora kontemporer.
Buku sejenis ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat
pecinta ilmu-ilmu Syari’ah khususnya, dan Kajian Islam pada umumnya. Dengan
bukunya ini Khaled ingin mengembalikan ilmu jurisprudensi Islam sebagai sebuah
epistemologi dan sekaligus sebagai metode penelitian (a methodology of
inquiry), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan
otoriter. Dia ingin menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut
diskursus klasik tentang peran ‘aql (intellect), fitrah (intuition), atau husn
dan qubh (the moral dan immoral) yang dicetuskan oleh ulama-ulama Islam klasik dan
dikembangkan lebih lanjut lewat pendekatan-pendekatan baru yang muncul
belakangan.
Wallahu a’lam bi al-sawab.
Disampaikan dalam forum Festifal Pemikiran
Khaled Abou El Fadl, Islam dan Tantangan Modernitas, Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M), Gedung PBNU, Jakarta Pusat, 21 Juli 2005.
0 komentar:
Posting Komentar