Pendekatan Hermeneutik Dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan: Proses Negosiasi Komunitas Pencari Makna Teks, Pengarang Dan Pembaca



 Amin Abdullah
30 April 2010
“Oleh karena keadaan dan lingkungan sosial (juga ekonomi, politik, budaya, Iptek) berubah dan berkembang, maka peran yang dimainkan oleh berbagai riwayat akan berubah dan berkembang juga. Sebuah riwayat yang hanya memiliki sedikit pengaruh sosial-politik di suatu masa tertentu dapat berubah akan memiliki pengaruh begitu besar pada masa yang lain. Sebuah riwayat yang cukup masuk akal untuk dipahami, dipegangi dan dipedomani pada suatu masa tertentu dapat saja berubah menjadi tidak masuk akal untuk dipedomani pada masa yang lain”
Khaled Abou El Fadl: Teks, Pengarang dan Pembaca

Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik tidak begitu populer  dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah hermenutik pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap hermeneutik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah yang populer digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian al-Qur’an di lingkungan Islam. Lewat buku Speking in God’s name : Islamic Law, Authority and Women, Khaled Abou El Fadl (guru besar hukum Islam di UCLA School of law, Amerika Serikat) hendak menyatakan dan menegaskan bahwa pemahanan tentang hermeneutik sebenarnya tidaklah seperti itu. Dalam buku yang ditulis dalam bahasa Inggris setebal  361 halaman dan terjemah Indonesia menjadi Atas Nama Tuhan : Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif 617 halaman, ia hendak menjelaskan secara akademis dan memotret secara lebih dekat bagaimana sesungguhnya proses dan prosedur cara kerja pendekatan hermeneutik : Pertanyaan pokoknya adalah bagaimana sesungguhnya hubungan antara Teks (Text) atau nas, Penulis atau Pengarang (Author) dan Pembaca (Reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran hukum Islam pada khususnya dan pemikiran Islam umumnya. Lebih khusus lagi, ia menyoroti secara lebih tajam bagaimana sesungguhnya mekanisme perumusan dan pengambilan keputusan fatwa-fatwa yang dikeluarkan baik oleh pribadi-pribadi, tokoh-tokoh masyarakat dan lebih-lebih lembaga-lembaga dan organisasi keagamaan pada umumnya. “Kompetensi” dasar seperti apa yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang, kelompok, organisasi-organisasi atau institusi-institusi keagamaan yang berani mengatasnamakan diri atau lembaganya sebagai pemegang tunggal penafsir dan sekaligus pelaksana perintah “Tuhan”?. Alat uji sahih seperti apa yang diperlukan untuk mengetes atau menguji validitas klaim otoritas ketuhanan yang melekat dalam fatwa-fatwa keagamaan?. Mengapa tiba-tiba muncul fenomena umum dalam dunia praxis keagamaan Islam era modern apa yang ia sebut sebagai “authoritarianisme”, atau  lebih tepat disebut “menggunakan kekuasaan Tuhan” (Author) untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang Pembaca (Reader) dalam memahami dan menginterpretasikan teks (Text) dan ditindaklanjuti dengan keinginan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan publik dengan menepikan begitu saja untuk tidak menyebut menyingkirkan jenis pemahaman dan interpretasi yang dikemukakan oleh pihak lain dalam dinamika pergumulan dan percaturan fatwa-fatwa keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat secara luas?.

Berbeda dari tradisi hermeneutika di lingkungan Biblical Studies, hermeneutika dalam studi keislaman, khususnya yang terurai dalam buku Khaled Abou El-Fadl, dipicu oleh persoalan penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh ahli-ahli hukum agama Islam pada CRLO (Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions/al-Lajnah al-daimah li al-buhuts al-ilmiyyah wa al-ifta’) yang dibaca secara luas dan sekaligus dirisaukan oleh para akademisi di belahan dunia yang berpenduduk mayoritas muslim dan lebih-lebih dalam konteks masyarakat minoritas Muslim yang tinggal di dunia Barat. Fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang wanita yang dianggap sangat problematik oleh Khaled (selanjutnya, kadang saya sebut penulis) antara lain fatwa keagamaan Islam tentang pelarangan wanita mengunjungi makam suami, wanita mengeraskan suara dalam berdo’a, wanita mengendarai atau stir mobil sendiri, wanita harus didampingi seorang pria mahramnya. Fatwa-fatwa tersebut dianggap oleh penulis buku ini sebagai tindakan merendahkan untuk tidak menyebutnya menindas wanita yang tidak dapat ditolerir pada era sekarang ini. Fatwa-fatwa yang berlindung dibawah teks (nas) mengklaim bahwa itulah yang sebenarnya “dihendaki oleh Tuhan”. Sampai-sampai Khaled bertanya “jika memang para pria yang lemah moralnya, mengapa harus wanita yang menderita?”. Jika pria memang lemah, mengapa mereka pula yang harus memimpin keluarga dan negara?.

Begitu juga pendapat atau fatwa keagamaan yang mengatakan bahwa wanita harus berdo’a atau melakukan salat di suatu tempat yang paling tersembunyi, tak tampak oleh pandangan, atau wanita harus menyerahkan seluruh jiwa-badannya kepada suami kapanpun suami menghendakinya, atau keselamatan wanita sangat tergantung pada kepuasan atau keinginan suami, atau wanita akan mengisi sebahagian besar tempat yang tersedia bagi penduduk neraka, kesemuanya ini dianggap oleh penulis sebagai tindakan offensif-oppressif dan merendahkan wanita yang tidak berdasar secara moral. Apa yang digelisahkan dan dipertanyakan oleh Khaled Abou El Fadl sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru karena hampir bersamaan waktunya, pertanyaan serupa juga muncul di tanah air. Pusat-pusat Studi Wanita di lingkungan Institut Agama Islam Negeri dan Lembaga-lembaga Studi Wanita yang lain di berbagai Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat telah mengupasnya. Yang terasa baru dari penulis buku ini adalah cara mendekati dan menelaah persoalan ini lewat pendekatan hermeneutis yang mendalam-tajam, serta implikasinya dalam studi keislaman secara menyeluruh serta konsekwensinya dalam praktik keagamaan Islam dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai persoalan dan isu-isu yang lain.

Persoalan penafsiran nas-nas keagamaan Islam yang bias gender ini dijadikan penulis sebagai dasar pijakan untuk menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme penafsiran, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan kesimpulan dan pengambil keputusan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok, organisasi dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam. Dari sini persoalan pelik muncul. Pertanyaan mendesak seperti diungkap di depan yang dikemukakan oleh pendekatan hermeneutik adalah : Mengapa dalam dunia modern sekarang ini terdapat gejala umum yang mudah sekali ditangkap diberbagai tempat adanya kecenderungan yang kuat oleh umat beragama, khususnya, Islam untuk mengambilalih begitu saja kekuasaan (otoritas) Pengarang (Author), dalam hal ini adalah otoritas Ketuhanan, untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut (despotism) yang dilakukan oleh Pembaca (Reader) teks-teks atau nas-nas keagamaan?. Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling benar hanyalah “keinginan Pengarang” (the Will of Author), maka dengan mudah para Pembaca (Reader) menggantikan posisi Pengarang (Author) dan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran. Disini lalu terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan menyolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya “Pembaca” (The Reader) dan “Pengarang” (The Author), dalam arti bahwa Pembaca tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas.

Khaled Abou El Fadl, berulangkali menjelaskan dalam bukunya bahwa penggantian secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca (Reader) adalah merupakan tindakan dispotisme dan sekaligus merupakan bentuk penyelewengan (corruption) yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak bisa dibenarkan begitu saja, tanpa kritik yang tajam dari community of interpreters (masyarakat penafsir) yang ada disekitarnya.

Permasalahan teks : ketertutupan atau keterbukaan makna
Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun adalah suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (Divine instruction) selalu bertumpu pada “teks” (Kitabah; qauliyyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara “bahasa” (lughah). Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah hasil kesepakatan komunitas dan ciptaan budaya manusia. Huruf, kata, kalimat, anak kalimat, kata sifat,  sangat tergantung pada sistem simbol. Sedang simbol itu sendiri memerlukan bantuan dan dukungan asosiasi-asosiasi tertentu, gambaran-gambaran, juga emosi para pendengar, yang sangat bisa jadi berubah dari waktu ke waktu.

Dengan begitu tampaknya “bahasa” memiliki realitas objektif tersendiri, karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak, baik oleh Author (Pengarang) maupun oleh Pembaca (Reader). Ketika seseorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai media komunikasi, dialog atau menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat didalamnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut dibuat secara alami oleh para pengguna bahasa itu sendiri, baik oleh pengalaman-pengalaman pendengar secara sosial maupun kultural. Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok yang manapun, baik oleh Pengarang (Author) maupun oleh Pembaca (Reader) secara sepihak. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara Pengarang (Author), Teks (Text), dan Pembaca (Reader). Ijtihad sebenarnya terkandung arti adanya peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiga elemen pelaku tersebut. Dengan demikian, ada proses penyeimbangan antar berbagai muatan kepentingan yang dibawa oleh masing-masing pihak dan terjadi proses negosiasi (negotiating process) yang terus menerus, tak kenal henti, antara ketiga pihak. Setiap aktor harus dihormati dan peran masing-masing pihak harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Setiap pihak yang terlibat dalam diskursus tidak diperbolehkan menguasai, menekan dan mendominasi pihak lain dalam menentukan makna teks yang ingin dicari secara bersama-sama. Dengan demikian, proses pencarian makna akan tetap terus terbuka lebar sampai kapanpun, dan tidak ada finalitas yang berujung pada kesewenang-wenang disini. Inilah sesungguhnya makna terdalam dari ungkapan dalam hukum Islam bahwa “setiap mujtahid adalah benar”. Jika kemungkinan munculnya pemahaman baru tertutup, maka adagium tadi tidak ada gunanya.

Permasalahan hubungan antara Pengarang (Author) dan Pembaca (Reader): Menghindari kesewenang-wenangan dan pemaksaan pemahaman.
Ketika proses pemahaman teks yang sesungguhnya bersifat interpretif (banyak pilihan makna dan penafsiran) ditutup (pintu ijtihad ditutup), maka seseorang atau kelompok telah memasuki wilayah tindakan yang bersifat sewenang-wenang (despotic). Jika seorang Pembaca (Reader) mencoba menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan ini beresiko tinggi untuk melanggar integritas Pengarang (Author) dan bahkan Teks itu sendiri.

Biasanya, seorang Pembaca (Reader), baik sebagai individu, keluarga, kelompok,  masyarakat, organisasi atau institusi penyimpul fatwa keagamaan (seperti Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinion (CRLO), Bahsul Masail, Majlis Tarjih, Dewan Hisbah, Komisi fatwa MUI), madzhab, aliran pemikiran keagamaan tertentu tergoda untuk menyatakan : “Saya (individu, kelompok, organisasi, institusi) mengerti benar apa yang dimaksud oleh Pengarang (Author), dan saya (individu, kelompok, organisasi, institusi) juga mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Teks, maka pengetahuan saya tersebut tidak bisa tidak pasti dan harus bersifat tegas dan final”. Tipe pernyataan baik secara eksplisit maupun implisit seperti itu mempunyai asumsi kuat bahwa Pembaca (Reader) merasa diberi mandat dan diberi kuasa penuh untuk mengakhiri peran yang semestinya juga dimainkan oleh Pengarang (Author) dan juga oleh Teks (nas). Penentuan makna atau pengambilan kesimpulan secara sepihak oleh Pembaca (Reader) seperti itu menggantikan dan sekaligus menghilangkan peran Pengarang (Author) dan Teks (Text). Penentuan makna secara sepihak inilah sebagai jenis “interpretive despotism” (kesewenang-wenang penafsiran). Dengan begitu apa yang dimaksud oleh Khaled dengan “authoritarianism” adalah tindakan seseorang, kelompok atau lembaga yang “menutup rapat-rapat” atau membatasi Keinginan Tuhan (the Will of the Divine), atau keinginan terdalam maksud teks (Text) dalam suatu batasan ketentuan tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan tersebut sebagai sesuatu hal yang tidak dapat dihindari, final, dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat dibantah.

Untuk mencegah dan menghindarkan diri, kelompok, dan lebih-lebih organisasi keagamaan dari tindakan sewenang-wenang yang secara tergesa-gesa mengatasnamakan sebagai penerima perintah Tuhan, Khaled mengusulkan 5 persyaratan sebagai katup pengaman supaya tidak dengan mudah melakukan tindak sewenang-wenang dalam menentukan fatwa-fatwa keagamaan yaitu kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan diri (restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness) dan kejujuran (honest). Kelima-limanya dijadikan sebagai acuan parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang mengemban sebagian perintah Tuhan.

Menghidupkan kembali peran yang berimbang antara Teks, Pengarang dan Pembaca
Dalam studi Kritik Literer (literary criticism) diperoleh penjelasan bahwa pengarang teks harus selalu mempertimbangkan apakah ia akan tetap berada pada kebiasaan tertentu ataukah harus melampaui kebiasaan-kebiasaan tersebut sehingga harus berani menghadapi berbagai konsekwensi yang ditimbulkan. Sesungguhnya, begitu sebuah teks dilahirkan, ia memiliki dunia kehidupan, hak-hak dan integritasnya sendiri.

Banyak teks mati baik di tangan para pengarangnya sendiri maupun di tangan para pembacanya. Teks-teks yang tidak mampu membebaskan diri dari tekanan kekuasaan pengarangnya atau tidak dapat memberi inspirasi segar bagi para pembacanya dengan berbagai tingkat subtilitasnya atau tidak mampu merangsang dengan berbagai nuansa makna yang terkandung di dalamnya akan mengalami nasib yang menjemukan, mudah ditebak, kaku dan tertutup. Sedangkan teks yang mampu menjaga keterbukaannya akan tetap hidup, relevan, dan bergetar kuat. Meskipun demikian, teks memerlukan bentuk lain dari gerak pembebasan. Teks memerlukan tidak hanya bebas dari lingkungan dan jeratan dominasi serta kekuasaan pengarangnya yang berbau paternalistik, tetapi juga harus dapat terbebas dari tindak sewenang-wenang para pembacanya yang menyebabkan sulit bernapas dan bergerak. Jika teks memang memegang peran penting dalam kehidupan, maka harus dipelihara adanya dinamika proses penentuan makna secara “demokratis”. Dengan begitu, makna tidak boleh digenggam, dicengkeram, dan ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh salah satu atau beberapa aktor yang membelakanginya. Perimbangan kekuasaan dalam penentuan makna perlu terus menerus dijaga dan dipelihara antara Pengarang (Author), Pembaca (Reader) dan Teks (Text). Dominasi atau kekuasaan yang berlebih pada salah satu pihak akan menyebabkan kebuntuan intelektual (intellectual stagnation). Menurut Khaled, kebuntuan intelektual seperti itulah yang dipertontonkan dengan begitu jelas oleh fatwa-fatwa keagamaan Islam tentang wanita yang dikeluarkan oleh CRLO dalam menentukan makna teks secara sepihak.

Mungkinkah upaya mendinamisir pemaknaan teks dilakukan oleh umat Islam yang sejak semula corak kebudayaannya memang dikenal sebagai penyangga utama budaya teks (hadarah al-nas), yang dibedakan dari budaya ilmu dan budaya falsafah?. Kemungkinan itu tetap saja ada. Setidaknya ada dua pilar penyangga yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan kembali semangat ijtihad seperti diurai dimuka dan mengurai benang kusut yang membelenggu dinamika pemikiran Islam pada umumnya dan pemikiran hukum Islam khususnya. Dua pilar dimaksud adalah pilar normativitas dan pilar historisitas. Pilar normativitas diperoleh dari teks al-Qur’an, surat Yusuf ayat 76, yang menyatakan dengan tegas bahwasanya “wa fauqa kulli dzi ‘ilmin alim”, yang saya terjemahkan secara bebas sebagai berikut : “Dan diatas setiap orang, kelompok, organisasi atau institusi keagamaan yang merasa pandai, mesti ada orang, kelompok, organisasi, atau institusi keagamaan lain yang lebih pandai lagi”. Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada finalitas dalam beragama. Petunjuk al-Qur’an ini dengan tegas dan gamblang sangat bernuansa hermeneutis, sekaligus menepis anggapan sementara kalangan yang meragukan perlunya pendekatan hermeneutik dalam studi keislaman seperti diungkap dimuka. Tampak sekali bahwa adanya ruang relativitas dalam budaya Muslim dimanapun berada justru penting dan perlu digarisbawahi sekarang ini. Ruang relativitas tersebut sangat diperlukan untuk menghidupkan kembali semangat dan kemampuan mengoreksi dan memperbaiki paham, keyakinan, praktik-praktik ajaran agama, termasuk fatwa-fatwa keagamaan yang barangkali tidak sesuai dengan nafas atau ruh ajaran al-Qur’an dan semangat perkembangan jaman.

Pilar kedua diperoleh dari historisitas praktik budaya intelektual Muslim sepanjang abad. Prasa yang biasa dikutip oleh penulis dan pengarang Muslim di bagian akhir tulisannya “wa Allahu a’lam bi as-sawab” (Dan Allahlah yang lebih Mengetahui yang terbenar). Ungkapan ini juga sangat bernuansa hermeneutis. Namun disini perlu penafsiran dan pemaknaan baru, karena seringkali para penulis yag menggunakan prasa ini, dalam sikap hidup bermasyarakat dan sikap intelektualnya masih juga cenderung otoriter-angkuh. Kalimat ini menunjukkan bahwa setiap keputusan hukum yang diklaim pasti oleh pembuatnya sesungguhnya belum tentu dapat memenuhi rasa keadilan pemohonnya. Karena benturan antara keduanya yang sulit dikompromikan, intelektual Muslim lalu buru-buru bersandar kepada Tuhan sebagai penjamin terakhir kepastian dan keadilan. Sampai disini memang bagus, tetapi itu lebih cocok untuk era klasik yang menepikan dimensi sosiologis-antropologis-psikologis manusia. Pada era modern dan lebih lagi era postmodern, untuk mendekatkan “rasa keadilan” (dalam kasus ini adalah penafsiran bias gender dan kasus-kasus lain sejenis) dan “kepastian hukum” (fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh CRLO yang dianggap pasti dan final) haruslah melibatkan partisipasi seluruh masyarakat penafsir (community of interpreters). Dalam prosedur kerjanya, selain menggunakan bukti-bukti teks yang tersedia, juga memanfaatkan pengalaman kultural-sosiologis, mempertimbangkan kebiasan dan perangai psikologis manusia, mencermati nilai-nilai fundamental secara filosofis, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Tanpa melibatkan komunitas atau sekelompok masyarakat penafsir dari berbagai latar belakang keahlian dan keilmuan, agaknya hukum Islam akan mudah terjebak pada authoritarianism dan keilmuan shari’ah yang berimplikasi pada keilmuan Tarbiyah berikut praktik pendidikannya dan keilmuan Dakwah berikut praktik bimbingan dan pengembangan masyarakatnya akan menghadapi tantangan serius pada era kontemporer.

Catatan terakhir
Kajian hukum Islam oleh Khaled Abou El Fadl lewat perspektif hermeneutik tergolong baru, tidak saja untuk pembaca Indonesia, tetapi juga untuk dunia Islam pada umumnya. Hermeneutika yang ia coba hadirkan dalam buku ini berbeda hari kajian hermeneutis yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman, bahkan juga berbeda dari Farid Esack, dan Nasr Hamid Abu Zaid. Disini ada nuansa tersendiri yang hanya bisa diikuti langsung oleh pembaca yang budiman halaman demi halaman dalam buku ini dengan penuh kesabaran. Kajian hermeneutik yang ia tawarkan bersifat inter dan multidisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan : linguistik, interpretive social science, literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku sejak dari mustalah al-hadis, rijal al-hadis, fikih usul fikih, tafsir, kalam yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer.

Buku sejenis ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat pecinta ilmu-ilmu Syari’ah khususnya, dan Kajian Islam pada umumnya. Dengan bukunya ini Khaled ingin mengembalikan ilmu jurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemologi dan sekaligus sebagai metode penelitian (a methodology of inquiry), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter. Dia ingin menghidupkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut diskursus klasik tentang peran ‘aql (intellect), fitrah (intuition), atau husn dan qubh (the moral dan immoral) yang dicetuskan oleh ulama-ulama Islam klasik dan dikembangkan lebih lanjut lewat pendekatan-pendekatan baru yang muncul belakangan.

Wallahu a’lam bi al-sawab.


Disampaikan dalam forum Festifal Pemikiran Khaled Abou El Fadl, Islam dan Tantangan Modernitas, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Gedung PBNU, Jakarta Pusat, 21 Juli 2005.

0 komentar:

Posting Komentar