Rahmat, Barakat, dan Taubat




Prof. Dr. M Amin Abdullah
Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menjelang Ramadan saya memperoleh SMS dalam bahasa Inggris sebagai berikut: Assalaamu’alaikum wr wb. My name is Sya’ban. I would like to remind you that my neighbour Ramadan is visiting you soon with his wife Rezeki and two children Sahur and Iftar. They will be accompanied by three grandchildren Rahmat, Barakat and Taubat. They will leave after 29 or 30 days by Eid airlines. May you and your family  have blessed  journey this Ramadan. Ramadan Kareem.

Isi SMS ini diinspirasikan dari hadis dan dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Intinya, ketika bulan Syaban datang maka itu peringatan akan segera datangnya Ramadan. Bulan Ramadan diumpamakan sebagai suami, yang akan datang bersama istrinya yaitu Rezeki. Juga membawa kedua anak kandungnya, Sahur dan Buka. Juga membawa serta cucunya yaitu Rahmat, Barakat dan Taubat. Mereka akan tinggal di rumah selama 29 atau 30 hari, dan setelah itu akan meninggalkan rumah kita dengan menggunakan pesawat jet bernama Eid (Idul Fitri). Semoga anda sekeluarga mendapat keselamatan dalam perjalanan selama bulan Ramadan .

Di era kecanggihan teknologi informasi, SMS, facebook, dengan mudah masuk ke ruang-ruang privasi. Tanpa diundang mereka berdatangan sendiri. Jika saja dalam sehari ada 10 SMS masuk, maka dalam satu minggu – 3 hari sebelum dan 4 hari sesudah – bisa 70 SMS. Orang sekarang, tanpa harus buka-buka buku hadis yang tebal-tebal dan begitu syarah penjelasannya – mereka dikirimi dan disuguhi potongan-potongan hadis dan juga ayat Alquran yang begitu saja dikutip dan ditransfer tanpa memahami konteks. Jika masih terkait dengan persoalan ritual-peribadatan, saya kira tidak begitu bermasalah meski perlu juga penjelasan menggunakan berbagai disiplin yang diperlukan. Tapi kalau sudah masuk ke ranah publik, wilayah pergaulan dan pergumulan sosial-kemasyarakatan dan lebih-lebih sosial-politik, kutipan hadis dan potongan ayat-ayat Alquran lewat SMS-SMS tadi memerlukan penjelasan dan uraian keilmuan yang jernih-bening dan terbebas dari bias-bias pertarungan kelompok-kelompok  kepentingan.

Kali ini, saya tertarik pada ketiga ‘cucu’ yang dibawa keluarga tadi masuk ke rumah keluarga muslim selama satu bulan Ramadan, yaitu Rahmat, Barakat dan Taubat. Pertama, adalah Rahmat. Banyak kata yang sangat popular di lingkungan masyarakat Indonesia terkait dengan kata Rahmat. Yang paling popular adalah Islam Rahmatan li al-’alamin (Kehadiran Islam dalam masyarakat sebagai rahmat bagi sekalian alam). Dalam pengantar proklamasi Indonesia tahun l945, juga disebut ”Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa”. Sifat rahmat sangat fundamental dalam menjalani kehidupan. Manusia Muslim, tua, muda, pria, wanita, awam (kebanyakan), khas (elite), terpelajar maupun tidak, dewasa, anak-anak, kaya, miskin, santri, abangan, di mana pun mereka berada dituntut untuk bersikap rahmah, ramah, santun, kasih sayang, melindungi sesama. Bila sifat rahmat ini tidak tertanam dari dini, maka konflik akan muncul di mana-mana. Tidak hanya konflik dengan yang lain (the others), tetapi juga konflik dengan diri sendiri. Sifat Tuhan yang utama, al-Rahman dan al-Rahim, adalah inspirator utama untuk menanamkan sifat kasih sayang, santun, welas-asih kepada sesama pada diri masing-masing manusia Muslim. Penganut agama-agama lain juga berlomba untuk menanamkah sifat utama ini dalam komunitasnya masing-masing lewat pendidikan, pelatihan, dan begitu selanjutnya. Training ESQ yang sedang popular sekarang juga sejalan dengan nilai puasa dan agama pada umumnya yang paling dalam ini.

Barakat. Kata Barakat atau barakah biasanya berkonotasi hanya sebagai doa atau harapan. Bukan etos yang mengejawantah dan menyatu dalam alam praktik kehidupan sehari-hari di lapangan. Kita selalu berdoa kepada Tuhan semoga rezeki yang kita terima berbarakah, tetapi dalam pratiknya cara-cara mencari dan mengumpulkannya tidak selaras dengan doa yang dilafalkan. Belum lagi jika menyentuh keberkahan dalam total kehidupan. Dalam alam ritual dan pendidikan puasa, tidak hanya doa yang dipentingkan tetapi praktik nyata di lapanganlah yang diprioritaskan. Infaq, sadakah, zakat adalah media untuk memberkati atau mensucikan harta dan kehidupan kita. Dalam alam praktik kehidupan sosial bermasyarakat, hidup yang berbarakah, pastinya adalah sebuah kehidupan yang  memberkati kiri-kanan, mengayomi, melindungi, membantu, mentalitas dan perilaku hidup yang melimpah (abundant mentality), tidak bakhil atau kikir, tidak membebani orang lain. Orang lain di sekitar kita merasa aman bersama kita, tidak ngrasani, apalagi memperolok-olok perilaku sosial-keagamaan kita. Jangan sampai kehadiran kita dirasakan sebagai beban dan  ancaman bagi keberadaan orang lain. Orang atau kelompok lain, dari segi apapun memang berbeda dari kita. Kita perlu selalu berupaya dan mencari cara-cara  yang dapat menjadikan kualitas hidup kita lebih santun di hadapan orang atau kelompok lain. Kepedulian dan kasih sayang terhadap nasib orang atau kelompok lain yang berbeda dari kita adalah salah satu indikator apakah hidup kita – sebagai individu maupun kelompok – berbarkah atau tidak? Ibadah puasa mengingatkan dan memaksa setiap orang Muslim supaya berani bertanya: apakah  kehidupan kita sudah berbarkah bagi kehidupan orang atau kelompok yang lain atau belum? Jika belum, mengapa? Apakah keberagamaan kita sudah bener dan pener? Puasa tidak hanya sekadar imanan (mengimani begitu saja), tetapi juga wa ihtisaban, yaitu berani introspeksi, mengukur dan menghitung-hitung kembali dosa-dosa pribadi dan sosial apa saja yang telah kita lakukan  masing-masing selama setahun lewat ini. Setelah ketemu, lalu diikuti dengan langkah perbaikannya. Jika tidak, maka puasa kita belum mengikuti anjuran hadis nabi tadi.

Taubat. Kadang terlalu berat dan sulit kita memahami apa arti kata taubat. Apalagi taubatan nasuha, lebih berat lagi. Bahkan hampir-hampir tak terjangkau. Mengapa kita dianjurkan bertaubah setiap hari? Ya, karena memang sifat manusia yang dari sononya sudah sangat fragile (mudah pecah, rusak, marah, emosi), yang melekat dalam tatanan biologis maupun psikologis manusia. Manusia sangat rentan dalam segala seginya. Manusia penuh keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam dirinya. Tak ada yang mampu keluar dari keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri manusia. Keterbatan dalam ilmu yang hendak dikuasai, keterbatasan dalam harta yang dimiliki, keterbatasan umur, keterbatasan pengalaman yang sempat dijalani dan begitu seterusnya. Pendidikan yang dilakukan oleh budaya manusia adalah upaya yang disengaja untuk mengurangi belenggu keterbatasan-keterbatasan tersebut. Tidak sepenuhnya berhasil, tetapi ada bangsa yang lumayan maju dan ada yang masih tertinggal. Dalam kondisi seperti itu, lalu agama Islam dan agama-agama dunia yang lain serta budaya lokal menawarkan konsep taubat, repentance, maaf, tepo seliro, selalu ingat batas-batas kemampuan supaya tidak melampaui batas dan kebablasan. Kesombongan dan kecongkakan akan terkurangi kalau manusia ingat dan sadar akan keterbatasan-keterbatasannya dalam hal apapun. Itulah taubat yang genuine, tulus, jujur dan sincere di hadapan Tuhan, namun sekaligus fungsional dalam menjaga keseimbangan kesehatan jiwa pribadi dan menjaga kestabilan kohesi sosial.

Ternyata memang benar bahwa dalam berpuasa terkandung hikmah yang mendalam. Puasa tidak hanya terhenti pada makna ritual-fisiknya (mencegah makan dan minum dari waktu imsak sampai terbenam matahari), tetapi juga makna spiritual-psikologis-sosiologis yang amat dalam. Kalau kita ramai-ramai berpuasa dan melupakan poin penting ini, maka benarlah kata Nabi Muhammad SAW bahwa ”Banyak orang yang melakukan puasa, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga”, karena makna terdalam nya tidak atau belum tersentuh dan tidak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Selamat menunaikan ibadah puasa dan semoga nilai-nilai terdalam dari Rahmat, Barakat dan Taubat dapat membantu membentuk dan memperbaiki karakter umat (Character building) dari waktu ke waktu dan dapat terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.


0 komentar:

Posting Komentar