M. Amin Abdullah**
“Since wars begin in the minds of men, it is in the
minds of men that the defences of peace must be constructed” (Preamble, UNESCO
Constitution 1945)
Pengantar
Setidaknya ada 5 hal dalam kehidupan umat manusia yang
biasa menjadi sumber pertengkaran, percekcokan dan konflik, yaitu agama, etnisitas,
ras, suku dan golongan. Kerusakan, kekerasan dan konflik diberbagai tempat di
dunia seperti di Palestina, Kashmir, Thailand, Pakistan, India, bekas
Yugoslavia, Etiopia, Somalia, Nigeria, Chesnya, Pilipina, Indonesia tidak bisa
lepas dari salah satu dari 5 faktor tersebut atau gabungan antara yang satu dan
lainnya (interseksional)[1]Tulisan pendek ini akan difokuskan pada
bahasan agama (pendidikan agama) untuk perdamaian, mengingat cukup tingginya
grafik kerusuhan dan konflik baik secara samar-samar maupun terang-terangan
berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan agama. Bahkan badan dunia,
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sejak tahun 1994, telah mengagendakan
secara resmi tema besar “Religions for Peace” (Agama-agama untuk Perdamaian).
Komisi Pendidikan untuk Perdamaian PBB (Peace
Education Standing Commission) telah mengidentifikasi adanya 3 wilayah penting
yang melibatkan masyarakat secara luas dalam Pendidikan Perdamaian.
- Pendidikan
keagamaan (Religious education) dan pendidikan antar keagamaan (Inter-religious
education).
- Pendidikan
masyarakat yang bebas dari kekerasan (violence) serta konflik.
- Pendidikan
lingkungan dan pendidikan untuk pengembangan sosial-ekonomi.[2]
Tugas Pokok Pendidikan Keagamaan
Tugas pokok pendidikan adalah untuk melakukan
pembaharuan dan penyegaran dari ”dalam” intern masing-masing kelompok pemeluk
agama-agama itu sendiri. Kekuatan penggerak dari pendorong untuk melakukan
pembaharuan dan penyegaran sebenarnya terletak dan terinspirasikan dari
pengalaman pokok dari setiap kelompok agama yakni, Ajaran Sang Budha bagi para
pemeluk agama Budha, Taurat bagi pemeluk Yahudi, Jalan Yesus bagi orang-orang
Kristen dan Pesan Perdamaian dari al-Qur’an bagi pemeluk agama Islam.[3] Sangatlah penting bagi pendidikan keagamaan (Religious
Education) untuk berasumsi bahwa tugas internalnya adalah untuk memperkenalkan
”sistem tanggungjawab bersama” (system of responsibility) kepada
generasi muda sesuai dengan panduan ajaran agama masing-masing. Ketika para
pemeluk agama-agama mengenal dengan baik akar-akar fundamental kepercayaannya
dan ketika mereka mengenal dengan baik akar-akar kebudayaan dan agamanya
sendiri, maka mereka sesungguhnya telah membekali diri landasan dasar untuk
dapat melakukan dialog (perjumpaan, perkenalan, perbincangan) dengan
sungguh-sungguh dengan masyarakat atau komunitas lain, diluar diri dan
kelompoknya.
Semua jenis pendidikan keagamaan (religious
education) seharusnya dibekali dengan cara metode dan jalan baru yang lebih
menekankan pada ”penghormatan”, dan ”penghargaan” kepada masyarakat dan pemeluk
agama lain serta mengenal tata cara hidup dan nilai-nilai yang mereka jadikan
sebagai panduan kehidupannya. Generasi muda hendaknya dipersiapkan untuk selalu
siap hidup bersama orang, kelompok atau masyarakat pemeluk agama lain tanpa
terlalu dibebani oleh beban-beban psikologis dan hambatan-hambatan
sosial-kultural yang bersumber dari sikap buruk sangka (prejudice), tetapi
lebih diarahkan pada kemampuan untuk mendengar dan saling belajar dari orang
atau kelompok lain. Cara demikian akan membuka cara berpikir baru dan cara
melihat persoalan kehidupan bersama dengan pandangan yang lebih segar dan
terbuka.
Dialog antar iman atau antar kepercayaan hanya dapat
menumbuhkan rasa ”saling percaya” (trust) jika para peserta dan patner dialog
dapat memahami bahwa mereka tidak sedang dipaksa masuk dalam skenario dogmatik
yang tidak saling terhubung antara satu kepercayaan dan lainnya. Ini berarti
bahwa partner dialog harus mencoba belajar memahami berbagai jenis dan macam
kepercayaan/iman dari sudut pandang orang yang memiliki kepercayaan itu sendiri
dan secara empatik dan simpatik bersedia meneliti tradisi-tradisi keagamaan dan
tulisan-tulisan yang dimiliki oleh teman partner dialog. Mereka secara
bersama-sama harus menghormati dan menghargai perbedaan yang memang ada
diantara mereka dan mencoba memahami alasan dan argumen mengapa ada perbedaan
diantara mereka.
Dimensi Religiousitas Umat Manusia Jangan
Dimarginalkan
Dimensi keagamaan religiosity dalam pendidikan
seringkali di marginalkan dan diabaikan oleh para pendidik. Pendidikan umum,
pendidikan tehnik, pendidikan humaniora, pendidikan sosial, pendidikan
keterampilan, pendidikan biologi, matematika, kimia, fisika seringkali tidak
peduli terhadap hal-hal yang terkait dengan isu keagamaan, karena “ agama”
dianggap berada diluar wilayah mereka. Bahkan ironisnya pendidikan agama yang
diselenggarakan oleh kelompok agama “tertentu” (Particular religion) seringkali
juga memarginalkan – untuk tidak menyebutnya “meremehkan” – realitas konkrit
keberagamaan (Fundamental religiosity) yang dimiliki oleh kelompok lain,
yang tidak seagama. Fundamental religiosity ini seringkali diabaikan
hanya semata-mata karena “mereka” berbeda agama dari agama yang kita miliki.
Para pendidik lupa bahwa anak-anak dan generasi muda seharusnya dibekali,
dilengkapi dan diberi “etos”, “nilai”, “keyakinan”, “kebutuhan” untuk hidup
bersama (to live together) orang atau kelompok lain, dan diajari
bagaimana menghormati teman sejawat manusia sebagai manusia, dilatih untuk
mempunyai rasa tanggungjawab terhadap seluruh ciptaan yang hidup dan bernyawa,
dilatih bagaimana mereka nantinya peka dan cepat tanggap terhadap hal-hal yang
mengarah kepada kebencian, kekerasan dan seluruh perkembangan baru dan
kecenderungan dalam kehidupan manusia yang mengancam kehidupan bersama.
Mobilisasi Pendidikan untuk Perdamaian
Jaringan kerjasama sosial dan sumber-sumber pendidikan
yang sangat luas, yang dimiliki oleh masyarakat agama di Indonesia (dan juga masyarakat
dunia) perlu dimobilisir untuk mempromosikan dan melipatgandakan upaya-upaya
untuk pendidikan perdamaian. Masing-masing komunitas agama secara
sendiri-sendiri dapat mengambil inisiatif untuk mereview dan memperbaharui
kembali pedoman umum (guideline), silabus, buku-buku teks dan bahan-bahan ajar
yang lain, khususnya yang terkait langsung dengan bagaimana mereka
menghadirkan, menjelaskan, menggambarkan, melukiskan, menerangkan tentang
agama-agama yang dianut orang atau kelompok lain dan pandangan hidup (world
views) mereka yang berbeda dari yang kita miliki.
Masyarakat beragama dapat mendorong terus dan
mendukung diadakannya kontak dan kerjasama diantara para teolog (ahli-ahli
agama), guru-guru agama dari berbagai kepercayaan dan keimanan yang berbeda
serta secara terus menerus memperbaiki dan menyempurnakan sistem pelatihan dan
pembelajaran calon-calon pendidik dan pengajar agama, para calon pimpinan agama
(Klergi, ulama, kyai, da’i, missionaris, pekerja sosial, pimpinan organisasi)
dalam hal yang terkait dengan “pengetahuan“ mereka tentang pandangan hidup
(world views) dan sistem kepercayaan yang dianut oleh pemeluk lain, diluar
agama yang dipeluknya sendiri.
Bagi negara-negara yang tidak memasukkan pengetahuan
tentang agama-agama dunia (world religions) sebagai bagian dari silabi sistem
pendidikan mereka dianjurkan untuk mengupayakan adanya wadah atau formula yang
dapat memasukkan pengetahuan tentang agama-agama dunia dalam bagian kurikulum
yang lebih luas sebagai subyek yang terpisah. Ceramah umum, penerjemahan buku,
stadium general, diskusi, temu tokoh, bedah buku, seminar dapat dijadikan wadah
atau ajang untuk memperkenalkan tradisi dan agama yang dimiliki oleh orang atau
kelompok lain dibawah panduan pimpinan sekolah atau program studi. Untuk
mencapai perdamaian dunia bersama-sama dengan para ahli dari pemeluk agama
lain, masyarakat beriman (beragama) dapat merancang metodologi khusus untuk
para guru dan calon guru (dosen) dan juga untuk para pelajar (mahasiswa), untuk
secara empati mampu meletakkan dirinya dalam tempat orang lain, melatih
merasakan dirinya seperti yang dirasakan oleh orang lain. Berlatih bersama
dengan sungguh-sungguh untuk dapat memahami persoalan-persoalan penting yang
sepertinya tidak begitu dikenal oleh pengikut agama lain, untuk bergumul
menyelesaikan dan mencari jalan keluar dari kerapuhan umat kemanusiaan yang sangat
dirasakan oleh masing-masing pengikut agama, untuk menjawab persoalan-persoalan
krusial yang dilontarkan oleh para pengamat dan orang-orang diluar diri kita.
Tantangan ke Depan
- Untuk
menjaga perdamaian dunia lewat hubungan yang harmonis antar umat beragama
perlu dibedakan dan dijernihkan wilayah perbedaan antara “ritual” (sistem
peribadatan) dan “aqidah” (sistem of belief) yang memang harus dipegang
teguh dan dilestarikan terus-menerus (pendidikan untuk keperluan konservasi)
dengan kebutuhan sosial untuk hidup bersama (living together) dalam
masyarakat yang majemuk keagamaan (pendidikan untuk melakukan transformasi).
Kedua sisi pendidikan ini perlu dipertahankan dan dijaga terus
keseimbangannya. Kehidupan sosial bersama memerlukan tata nilai sosial dan
tanggungjawab sosial (Social Responsibility) yang lebih, karena sistem
kepercayaan dan sistem peribadatan yang memang berbeda dari satu kelompok
dan lainnya harus dipersandingkan secara “damai” untuk mencapai kohesitas
sosial dan menjaga tata hubungan sosial yang damai antar pemeluk
agama-agama yang berbeda.
- Dalam
perspektif seperti itu, pertanyaan berikutnya muncul: Bagaimana masyarakat
beragama, baik lewat upaya-upaya individu maupun bersama-sama, menjawab
dan menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul dari ekstriminisme
keagamaan (religious extremism) dan sikap tidak toleran (intolerance)
yang muncul dan tumbuh subur belakangan di lingkungan intern umat beragama
sendiri? Upaya apa yang dilakukan oleh dunia pendidikan (agama) menghadapi
tantangan baru dan cenderung mengglobal ini?
- Masih
terkait dengan itu, apa upaya-upaya konkrit bersama dari masyarakat yang
majemuk secara keagamaan untuk menjawab dan memecahkan problem
disorientasi keagamaan yang terjadi belakangan ini, seiring dengan
cepatnya perubahan tata kelola dunia yang disebabkan oleh cepatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi? Tantangan-tantangan baru
dunia keagamaan dalam hubungannya dengan “perdamaian dunia” sulit
dielakkan oleh siapapun yang berprofesi sebagai pendidik, tokoh agama dan
tokoh masyarakat pada umumnya.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
20 Maret 2007
* Disampaikan dalam Seminar “Pendidikan untuk
Perdamaian Dunia”, diselenggarakan oleh Pasific Countries Social and Economic
Solidarity Association (PASIAD), Semarang, 24 Maret 2007.
** Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Sunan (UIN) Kalijaga, Yogyakarta.
[1] Steven I. Wilkinson, (Ed). Religious
Politics and Communal Violence, New Delhi: Oxford University, Press, 2005,
h. 1-20. Khusus untuk kasus-kasus Indonesia. Lihat Koeswinarno dan Dudung
Abdurrahman (Eds.), Fenomena Konflik Sosial di Indonesia: Dari Aceh sampai
Papua, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
[2] 8th World Assembly, Kyoto 2006, Workbook:
Confronting Violence and Advancing Shared Security, h. 50-53.
[3] Menarik uraian Dr. Ihsan Taufik Ba’drani
tentang “yang tetap (essensial)” dan “yang berubah-ubah” dalam Sunnah dan
Sirah. Disebut bahwa yang paling fundamental dan essensial dalam al-Qur’an
adalah ajakan dan ajaran tentang perlunya “saling berkenalan dan saling
memahami antar bangsa-bangsa dan pemeluk agama-agama di dunia agar dapat hidup
bersama penuh kedamaian. Lebih lanjut al-Tsabit wa al-Mutaghayyir fi
al-Sunnah wa al-Sirah al-Nabawiyyah al-Syarifah, Juz 5.
0 komentar:
Posting Komentar