Salah satu aspek puasa adalah mengubah
satu variabel jadwal makan dan minum, tetapi ternyata dampaknya sangat besar
bagi kaum muslim di seluruh dunia.
Ibadah puasa merupakan salah satu ibadah
mahdlah atau ibadah pokok yang menjadi kewajiban perseorangan sehingga tidak
bisa diwakilkan sekalipun kepada orang terdekatnya. Ini menjadi salah satu indikasi bahwa ibadah
puasa merupakan ibadah yang menuntut tanggung jawab pribadi. Keberhasilan
menjalaninya pun menjadi indikasi keberhasilan individu dalam menahan diri
untuk tidak melakukan aktivitas rutin sehari-hari yang merusak puasa seperti
makan dan minum di siang hari.
Banyak sekali aspek puasa yang telah digali para
ahli dengan berbagai perspektif, misalnya aspek psikologis, keagamaan, dan
kesehatan. Dari sisi psikologis, puasa memiliki dampak positif karena
dianggap mampu membantu mengasah rasa empati kita terhadap mereka yang tidak
mampu dan terpaksa harus menahan lapar dan haus hampir setiap hari. Bagi
golongan yang kurang beruntung secara ekonomi, derita tidak makan dan minum
bukan lagi kewajiban, tetapi menjadi sesuatu keniscayaan pahit yang ditemui
setiap hari.
Adapun dari sisi keagamaan, puasa tentu saja
hukumnya wajib. Menjalankannya akan mendapatkan pahala dan meninggalkannya
adalah dosa. Namun yang lebih penting adalah puasa merupakan sebuah bentuk
ibadah yang paling private antara Tuhan dan manusia. Hanya Tuhanlah yang
tahu apakah seseorang betul-betul menjalankan ibadah puasa dengan sempurna
ataukah tidak. Bisa saja seseorang berpura- pura menahan lapar dan haus di
hadapan sesamanya, tetapi dia tak akan bisa menipu Tuhan dalam menjalani ibadah
puasanya.
Adapun dari aspek kesehatan, puasa dianggap
memiliki dampak positif karena dengan menjalani puasa, organ pencernaan kita
rehat sesaat dan ibarat mobil dia mengalami turun mesin setelah bekerja tanpa
henti dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, ada efek
rejuvinasi atau penyegaran yang membuat mesin tersebut akan berfungsi lebih
baik dari sebelumnya. Masa jeda tersebut ternyata bukan menurunkan daya, tetapi
melipatgandakannya.
Berhenti sejenak dari sebuah rutinitas dan menaruh rutinitas tersebut dalam tanda kurung or bracketing out sesungguhnya menjadi sebuah kebutuhan dan keniscayaan agar kita memiliki kesempatan untuk berkontemplasi menemukan makna dan nilai dari sesuatu yang kita anggap biasa karena saking sudah sedemikian akrabnya.
Berhenti sejenak dari sebuah rutinitas dan menaruh rutinitas tersebut dalam tanda kurung or bracketing out sesungguhnya menjadi sebuah kebutuhan dan keniscayaan agar kita memiliki kesempatan untuk berkontemplasi menemukan makna dan nilai dari sesuatu yang kita anggap biasa karena saking sudah sedemikian akrabnya.
Sebagaimana halnya dalam berhubungan dengan pasangan, kawan maupun dengan atasan atau bawahan, bila semuanya dijalani hanya sebagai sebuah rutinitas, tanpa upaya menaruhnya dalam sebuah ruang untuk kita renungkan, maka apa yang didapatkan dari hubungan tersebut hanyalah keterpenuhannya sebuah ”kewajiban” atau ”kebiasaan” atau ”kelaziman” semata tanpa kedalaman makna.
Ibarat membaca lembaran-lembaran tulisan dalam
buku, kedekatan atau proximity antara pandangan kita dan buku yang kita baca
justru bisa mengaburkan apa yang tertulis di sana sehingga tak ada kalimat yang
bisa terbaca, apalagi memahami maknanya. Demikian pula halnya dengan cara kita
menjalani rutinitas hidup sehari-hari seperti makan, minum, mengekspresikan
emosi secara spontan, semuanya seolah sesuatu yang tak memiliki signifikansi
apa-apa selain terpenuhinya kebutuhan fisik saja.
Dalam kondisi seperti itu, manusia cenderung untuk
menganggap semuanya itu sebagai sebuah kelaziman. Dengan adanya kewajiban
puasa, karenanya, manusia diberi kesempatan berhenti sejenak untuk
mengobjektivikasi, merenungkan betapa kehilangan kebiasaan makan, minum yang
selama ini dianggap rutinitas tersebut ternyata tidak mudah dan betapa dibutuhkan
kesabaran untuk menjalaninya.
Dengan demikian, akan tumbuh sebuah penghargaan
dan memosisikan aktivitas yang biasa tersebut menjadi sesuatu yang istimewa.
Setiap ada kesempatan untuk menikmati hidangan atau minumantidaklagi
hanyasebuah aktivitas yang sifatnya pleasure saja, tetapi akan menciptakan
ruang-ruang untuk bersyukur dan memetik makna yang lebih mendalam lebih dari
sekadar menghilangkan lapar dan haus.
Lewat puasa kita diajak memasuki spektrum
kehidupan yang lebih luas dan dalam, tentusaja bagi mereka yang mampu melakukan
transendensi diri, bukan sekadar berpuasa secara formal dan rutin. Kalau ini
yang terjadi, tak lebih hanya perubahan jadwal makan dan minum belaka.
0 komentar:
Posting Komentar