Setiap
anak manusia terlahir dengan membawa naluri rasa takut. Semakin besar
pertumbuhan anak,akan semakin terlihat potensi rasa takut itu.
Hanya saja, tingkat rasa takut
seseorang berbeda-beda, begitu pun objek yang menimbulkan juga tidak selalu
sama.Dulu orang takut hewan buas, diciptakanlah senjata berupa tongkat, golok,
atau panah. Atau seseorang berusaha menghindarinya. Dengan rasa takut, manusia
sesungguhnya menjadi kreatif. Orang takut tenggelam di air, diciptakan
pelampung. Lantaran takut lapar, orang menimbun padi atau makanan lain. Karena
takut sakit, banyak orang rajin berolahraga atau menjaga kesehatan.
Membayangkan betapa sengsaranya jatuh miskin, orang bekerja mencari uang dan
menabung. Rasa takut ini menjadi tidak sehat kalau membudaya dan yang menjadi
objek ketakutan adalah hal-hal yang sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan primer
dalam kehidupan.
Lebih tidak sehat lagi kalau rasa
takut itu lalu menjadi beban serta menimbulkan permusuhan dengan orang lain.
Misalnya takut kehilangan jabatan, seseorang berusaha dengan berbagai cara agar
jabatannya abadi. Juga menindas siapa-siapa yang dianggap akan menjadi ancaman
atau pesaing bagi dirinya. Rasa takut yang demikian ini pasti tidak sehat,
bukannya mendorong kreativitas yang konstruktif, melainkan menjadi beban mental
yang destruktif bagi diri dan lingkungannya. Judul tulisan ini,The Culture
of Fear, mungkin saja dianggap berlebihan. Tetapi kalau kita amati, banyak
peristiwa dan perilaku sosial yang menunjukkan munculnya budaya takut.
Kalau Anda hendak naik pesawat
terbang jurusan Amerika Serikat (AS) atau Eropa, ketika masuk boarding room,
pemeriksaannya sangat ketat sampai-sampai terasa risih. Pemerintah Amerika
mengidap rasa ketakutan kalau negaranya kesusupan teroris. Untuk mendapatkan
visa ke AS atau Eropa juga tidak lagi semudah dahulu sebelum terjadi aksi
terorisme. Negara Singapura kapal perangnya sangat canggih untuk ukuran sebuah
negara dengan penduduk sekitar lima juta. Ini akibat rasa takut terhadap
kemungkinan serangan yang datang dari Negara tetangganya. Katanya, para
koruptor juga banyak menyimpan uang di bank Singapura, takut-takut kalau
disimpan di Indonesia akan mudah terbongkar.
Yang cukup mencolok adalah perilaku
para pejabat daerah maupun pusat. Mereka berusaha dengan berbagai cara agar
jabatannya tidak direbut orang. Sementara mereka yang belum menjabat, takut
tidak kebagian, kasak-kusuk, kalau perlu menjatuhkan mereka yang lagi di atas.
Perhatikan saja perilaku para kontestan dalam pilkada maupun pemilu.Antara
nafsu untuk berkuasa bercampur rasa takut untuk kalah atau takut tidak kebagian
jabatan. Makanya perilakunya menjadi emosional. Miliaran uang dihamburkan untuk
membeli suara, dengan harapan kalau menang bisa kembali meskipun dengan jalan
korupsi. Lalu ada calon yang kalah, harta habis pikiran kacau, akhirnya jadi
jatuh miskin dan gila.
Kalau dipikir-pikir, perilaku
sosial kita sudah sangat dipengaruhi oleh budaya takut yang bersifat
destruktif. Banyak orang tua mengejar dan menumpuk kekayaan untuk membahagiakan
anak-cucunya secara tidak rasional lagi. Ada rasa ketakutan terhadap masa depan
anak-cucu secara berlebihan. Ada ibu-ibu yang takut menghadapi hari tua dengan
wajah keriput lalu berusaha melakukan operasi plastik agar mukanya selalu
tampak muda sampai-sampai menggeser perhatian dan pekerjaan lain yang jauh
lebih manfaat. Ada lagi yang rajin ke dukun untuk mempertahankan karier dan
posisinya yang secara alami memang mesti turun dan berganti generasi.
Demikianlah, The Culture of Fear akan mudah muncul pada mereka yang
hidupnya kurang pasrah kepada Tuhan dan hukum alam.
Mereka yang sudah cukup lama
menikmati kedudukan dan materi, namun enggan bersyukur pasti akan selalu
gelisah. Sederet pemimpin di Timur Tengah hari-hari ini pasti tengah dilanda
rasa takut terjungkal dari singgasananya, mengikuti drama politik di Tunisia
dan Mesir. Pejabat yang di atas takut jatuh, sedangkan yang di bawah takut
tertindas terus serta tidak kebagian kesempatan untuk naik.
Yang miskin takut menderita dengan
kemiskinannya yang berkepanjangan, lalu yang kaya takut berkurang kekayaannya.
Jangan-jangan tanpa sadar kita semua ikut memupuk budaya takut, lalu kita
ramai-ramai takut terhadap baying-bayang ketakutan yang kita ciptakan
sendiri.(*)
Tulisan ini dimuat pada
Harian Seputar Indonesia, Jum’at 11 Maret 2011
0 komentar:
Posting Komentar