Kita
lelah dan cemas mendengar berita terjadi teror bom yang berulangkali mencuat ke
tengah masyarakat. Bagi otak dan pelakunya mungkin tertawa, merasa berhasil
membuat masyarakat resah dan muncul debat publik bernada marah serta kesal.
Sejauh ini saya tidak begitu kaget
kalau saja yang terjadi sebatas demo dan tindakan kekerasan dengan mengusung
simbol dan retorika agama. Teman-teman di UIN Jakarta telah berulangkali
mengadakan penelitian sikap masyarakat dan pelajar yang hasil temuannya
mengindikasikan munculnya paham konservatisme-radikalisme dalam beragama. Sikap
intoleransi beragama menguat di tengah masyarakat.
Namun, menjadi persoalan serius
ketika muncul tindakan peledakan bom bunuh diri dan sederet rencana peledakan
bom lain yang pasti akan menyusahkan dan mengadu-domba sesama warganegara.
Indonesia yang sejak awal disadari sebagai masyarakat majemuk, baik dari segi
bahasa, suku, dan agama, akan kacau dan goyah kalau radikalisme-terorisme
dibiarkan. Terlebih lagi ketika membajak simbol-simbol Islam untuk kepentingan
materi dan politik.
Mengapa terorisme tetap bertahan
dan selalu membuat resah? Menurut mereka, salah satu penyebab atau stimulannya
adalah karena mereka kecewa dan marah pada pemerintah yang dianggap setengah
hati dalam memberantas korupsi dan gagal menyejahterakan rakyat. Para elite
politik dan sebagian ulama lebih asyik berebut jabatan politik dan kurang
peduli membina pengikutnya. Korupsi dan money politics dijumpai dan
disaksikan sendiri di mana-mana.
Hampir tidak ada yang tanpa uang sogokan
ketika berurusan dengan birokrasi. Terlebih kalau seseorang ingin menjadi
pegawai negeri sipil. Mahasiswa yang kuliah setengah mati untuk mengejar indeks
prestasi yang bagus, tanpa uang dan perkoncoan, sulit untuk mendapatkan
pekerjaan. Rasa marah, kecewa, dan frustrasi menghadapi realitas sosial akan
menjadi sasaran empuk bagi mereka yang menawarkan insentif untuk mengurangi
beban hidup. Maka, semakin banyak jumlah pengedar dan pemakai narkoba.
Ada yang terjerumus dalam pergaulan
bebas demi memperoleh uang dan melepaskan kepengapan.Ada lagi yang merasa
mendapatkan oase ketika bergabung dalam sebuah kelompok pengajian yang
eksklusif. Dari sinilah kemudian berkembang semakin eksklusif, tertutup, merasa
diri mereka paling benar paham keagamaannya, paling lurus dan tebal
imannya,serta paling dekat dengan Tuhannya.Lebih jauh lagi lalu menganggap
kafir dan musuh Tuhan siapa yang di luar kelompok mereka.
Namun,yang perlu diperhatikan,
radikalisme itu bermula dari kekecewaan sosial, lalu berkembang menjadi sikap
keberagamaan yang tertutup. Mereka yang bergabung dengan berbagai forum
pengajian dengan ustaz dan dosen yang berbeda-beda,atau mahasiswa yang aktif di
organisasi yang sudah mapan, tidak mudah terjatuh pada gerakan radikalisme-
destruktif. Jadi, faktor agama tampaknya datang kemudian berperan memberikan
justifikasi dan tambahan amunisi, sehingga menjadi lebih militan dan berani
mati. Sikap demikian ini untuk konteks remaja Palestina mudah dimaklumi.
Tetapi, ketika sikap ini berkembang
di Indonesia, semua ulama dan tokoh-tokoh ormas Islam sangat menyesalkan,
bahkan mengutuk. Indonesia bukanlah darul harb atau daerah perang,
melainkan darul khidmah (daerah pengabdian) atau darud dakwah
(daerah dakwah) yang mesti dilakukan dengan damai, lemah lembut,dan cerdas.
Terlebih lagi para pendiri bangsa dan negara sudah menetapkan fondasi Pancasila
dan motto Bhinneka Tunggal Ika.
Jadi memaksakan salah satu agama
sebagai dasar negara sama saja dengan mengkhianati amanah para pendiri bangsa
yang mayoritas tokoh agama (Islam) dan melawan konstitusi. Yang perlu kita
lakukan, semua pihak mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan dan
kerukunan hidup berbangsa dan bernegara. Pemerintah tidak akan mampu menghadapi
radikalisme- terorisme tanpa dukungan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat juga
tidak akan mampu menghadapi mereka tanpa keterlibatan aktif aparat pemerintah.
Hanya saja,pemerintah mestinya yang
lebih aktif memberdayakan kekuatan masyarakat dan memberikan fasilitas untuk
melakukan langkah strategis dan komprehensif dalam memberantas terorisme-
radikalisme. Tokohtokoh agama,pimpinan ormas, dan intelektual kampus didorong
dan difasilitasi untuk mempersempit ruang gerak pada tataran
ideologis-teologis, lalu pemerintah (polisi dan militer) mempersempit ruang
gerak fisik dan pagar-pagar legalitasnya.
Orang boleh saja kecewa terhadap
kinerja pemerintah dan perilaku para elite parpol. Atau menaruh curiga kepada
kekuatan asing yang ikut bermain. Tetapi, jangan sampai kekecewaan atau bahkan
kemarahan itu menjadi humus bagi suburnya radikalisme-terorisme yang akan
merobohkan rumah Indonesia dan menyengsarakan warganya.
0 komentar:
Posting Komentar