Ketika diajarkan
agama, anak kecil seringkali melontarkan pertanyaan spontan yang sangat
logiskritis sehingga orang tua terhenyak dan sulit menjawab.
Maka itu, ada
ungkapan, setiap anak terlahir membawa kapasitas sebagai filsuf, yang senang
bertanya secara radikal, tanpa beban apa pun, termasuk soal Tuhan. Pertanyaan
radikal ini justru seringkali terhalangi dan kemudian melemah karena sikap
orang tua yang melarang. Alasannya bisa macam-macam, pokoknya jangan bertanya
soal agama dan Tuhan. Nanti Tuhan marah.
Jadi, sejak
kecil anak sudah dikenalkan Tuhan yang pemarah ketika tidak melaksanakan salat
misalnya, padahal usia anak-anak belum diwajibkan salat dan puasa. Itu semua
semata sebagai proses pendidikan. Dalam tradisi filsafat dan teologi dikenal
istilah “argumen ketuhanan” yang perlu dibedakan dari kata “bukti”. Argumen
mengenai ada Tuhan dan sifat-sifat-Nya misalnya mendasarkan pada konstruksi
pemikiran logis berdasarkan premis-premis yang ada, baik premis yang diambil
dari kitab suci maupun hasil penalaran.
Sedangkan bukti
biasanya berlaku pada wilayah empiris yang bisa dibuktikan dengan pancaindra.
Karena berbicara tentang Tuhan yang menjadi objek bahasannya bersifat abstrak,
metafisis, supragaib, metaempiris, baik yang percaya ada Tuhan maupun yang mengingkarinya
masing-masing memiliki argumen yang logis. Dengan demikian, percaya pada Tuhan
semata mengandalkan argumen filosofis mesti siap dikritik titik lemah bangunan
argumennya.
Tak ada argumen
yangsempurnadanmemuaskan semua pihak. Sepanjang sejarah pemikiran ketuhanan dan
keagamaan para sarjana, ulama, teolog, dan filsuf selalu terlibat dalam adu
argumen dan kita mewarisi kekayaan intelektual yang amat kaya dan beragam.
Hanya, kita seringkali tidak siap mental dan intelektual untuk menerima dan melihat
kekayaan penafsiran serta argumen keagamaan sehingga muncul konflik karena
perbedaan keyakinan.
Ketika berbicara
keyakinan, sesungguhnya sudah melangkahi wilayah argumen penalaran karena di
situ sudah melibatkan keyakinan hati dan emosi yang ikut berperan. Dalam bahasa
Arab maupun Inggris terdapat beberapa istilah dan kata kerja yang menarik
direnungkan ketika berbicara soal ketuhanan misalnya: I argue, I think, I
believe, I guess, I perceive, I know, I trust, dan sebagainya.
Keyakinan dan
kepercayaan pada Tuhan selalu memerlukan argumen penalaran, tetapi wilayahnya
sudah melampaui kekuatan argumen. Immanuel Kant berkata: My belief starts
when my reason stops. Dia ingin menekankan tentang kekuatan dan sekaligus
keterbatasan nalar ketika memasuki wilayah ketuhanan. Ini bisa dibaca dalam
bukunya: The Limit of Pure Reasondan The Practical Reason.
Jadi, dalam
kehidupan beragama yang akarnya pada kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan,
penalaran itu sangat diperlukan untuk membangun argumentasi mengapa seseorang
bertuhan. Mengapa kita percaya pada keabadian jiwa. Mengapa kita percaya ruh
tidak mati. Mengapa nanti mesti ada hari pengadilan dengan hakim yang
maha-adil.
Berbagai
argumentasi filsafat membantu menjawab berbagai pertanyaan fundamental itu
secara logisrasional, namun pada akhirnya kekuatan agama berada pada wilayah
keyakinan. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang masuk ke wilayah
keyakinan dengan fanatik dan emosional, sementara apa yang diyakini
bertentangan dengan hasil kajian penalaran kritis. Manusia hidup tidak mungkin
lepas dari kepercayaan dan keyakinan pada kekuatan di luar dirinya.
Contoh yang riil, kita mesti yakin dan percaya pada dokter ketika hendak berobat. Kita mesti percaya pada apoteker ketika membeli obat bahwa yang diberikan bukanlah racun. Kita mesti percaya pada pilot ketika hendak naik pesawat. Kita mesti percaya dan yakin ketika menyimpan uang di bank akan kredibilitasnya. Seseorang tidak mungkin hidup dalam keraguan terus-menerus.
Bisa sakit jiwa. Tetapi, mesti diingat, tidak semua kepercayaan dan keyakinan yang dibela mati-matian itu mesti benar. Maka itu, ada orang yang merasa tertipu dan menjadi korban atas keyakinannya. Sejarah banyak mengajarkan pada kita dalam keyakinan yang salah ini. Dulu orang yakin bahwa bumi itu datar. Ternyata ilmu pengetahuan membuktikan keyakinan itu salah. Karena kekuatan ilmu pengetahuan dan penalaran, banyak kemudian kepercayaan seputar ketuhanan yang berguguran.
Contoh yang riil, kita mesti yakin dan percaya pada dokter ketika hendak berobat. Kita mesti percaya pada apoteker ketika membeli obat bahwa yang diberikan bukanlah racun. Kita mesti percaya pada pilot ketika hendak naik pesawat. Kita mesti percaya dan yakin ketika menyimpan uang di bank akan kredibilitasnya. Seseorang tidak mungkin hidup dalam keraguan terus-menerus.
Bisa sakit jiwa. Tetapi, mesti diingat, tidak semua kepercayaan dan keyakinan yang dibela mati-matian itu mesti benar. Maka itu, ada orang yang merasa tertipu dan menjadi korban atas keyakinannya. Sejarah banyak mengajarkan pada kita dalam keyakinan yang salah ini. Dulu orang yakin bahwa bumi itu datar. Ternyata ilmu pengetahuan membuktikan keyakinan itu salah. Karena kekuatan ilmu pengetahuan dan penalaran, banyak kemudian kepercayaan seputar ketuhanan yang berguguran.
Terjadi evolusi,
kritik, perubahan, dan penalaran ulang tentang ketuhanan. Dulu ada orang
mempertuhankan planet-planet dan yang dianggap paling besar adalah matahari
sehingga muncul kata “Sunday”. Hari libur untuk menyembah dewa
matahari. Ada juga Saturday, hari untuk menyembah dewa Saturnus. Kalau
Monday, berarti hari bulan.
Demikianlah
seterusnya, semua keyakinan ketuhanan dan keagamaan akan selalu dihadapkan pada
kekuatan ilmu pengetahuan dan penalaran logis. Kepercayaan dan keyakinan pada
Tuhan tidak akan mati, tapi alur argumentasinya akan selalu berkembang sehingga
sangat mungkin memengaruhi persepsi objek atau sosok yang diyakininya.
0 komentar:
Posting Komentar