KEMAJEMUKAN penduduk bumi kian hari
kian kita rasakan. Secara fisik memang tidak leluasa bergerak semau kita karena
dibatasi banyak faktor, entah tembok, sungai, lautan atau penjaga wilayah
perbatasan antarnegara.
Belum lagi diperlukan biaya yang tidak murah kalau
bepergian ke luar negeri. Namun secara intelektual, budaya, dan agama,
tembok-tembok itu semakin pendek dan bahkan roboh. Dengan kemajuan teknologi
internetdan televisi,masyarakat secara mudah melakukan ziarah budaya ke rumah
dan wilayah orang lain. Sekarang ini, dengan mudahnya kita mempelajari budaya
dan agama orang lain,tukar-menukar pikiran atau bahkan saling hujat bukan lagi
peristiwa aneh.
Itu semua terjadi dalam dunia gagasan melalui sarana
internet dan buku-buku. Konsep rumah budaya dan agama yang lama telah mengalami
perubahan sangat drastis. Rumah-rumah itu sekarang seakan berdiri tanpa tembok
atau dinding pembatas yang kokoh, tetapi sekadar pembatas diri berupa identitas
dan garis maya yang mudah dilangkahi dan ditembus. Dengan mudah orang
keluar-masuk, melangkahi garis pembatas yang bersifat abstrak.Orang dengan
leluasa melakukan passing-over atau keluyuran ke dunia yang berbeda.
Umat beragama yang berbeda keyakinan bisa saling
berdialog, berantem, berdebat, saling hujat, atau bercanda secara serius maupun
main-main tanpa mesti bertemu secara langsung dan personal. Di sana tak ada
moderator yang mengatur waktu atau majelis ulama yang menetapkan rambu-rambu.
Dalam dunia kuliner, misalnya, saat ini orang tak lagi terikat secara fanatik
terhadap menu warisan orangtua yang diperkenalkan sejak kecil.
Di mal misalnya, jenis makanan mancanegara ramai
dikunjungi para pembeli. Beragam musik terdengar di sana-sini. Anak-anak ABG
yang menginjak umur belasan tahun tak jelas identitas dan jati dirinya.Yang
selalu dikejar adalah bagaimana lulus matematika,bahasa Inggris,dan ilmu
pengetahuan umum dengan mencontreng jawaban ganda yang telah tersedia dengan
tidak perlu memeras otak.Perjuangan hidup mungkin baru dirasa serius ketika
berebut bangku kuliah dan lapangan pekerjaan.
Selebihnya hidup dijalani dengan datar-datar saja.
Rumah-rumah budaya dan agama itu terasa tanpa dinding.Dari dalam mudah
memandang ke luar,sementara dari luar terbuka untuk memandang dan masuk ke
dalam. Doa-doa bersama lintas pemeluk agama sering diselenggarakan. Dialog
antariman menjadi semakin populer dan sering dilakukan. Di Amerika Serikat (AS)
dan Eropa yang basis agamanya Kristen, segelintir sarjana ahli ketimuran dan
khususnya ahli Islam sangat sibuk menerima undangan seminar.
Kampus-kampus bergengsi di sana dianggap belum lengkap
kalau belum memiliki departemen studi keislaman. Sebaliknya, universitas di
Jepang,China,dan Korea Selatan mulai membuka diri dengan menawarkan
program-program internasional dengan pengantar bahasa Inggris sehingga muncul
istilah Asianization of Science and Universities. Tukar-menukar dosen dan
mahasiswa lintas negara semakin intens dilakukan.
Di wilayah Asia Timur, yang tumbuh tidak hanya bidang
ekonomi saja, melainkan juga pusat-pusat ilmu pengetahuan yang hendak menyaingi
keunggulan Barat. Kota-kota besar dan universitas ternama tampil sebagai
miniatur dunia baru dengan suasana budaya dan agama yang plural. Mereka menatap
masa depan dengan referensi baru.Identitas lama para mahasiswanya perlahan
mengalami metamorfosis. Mereka tentu saja masih memiliki memori dan identitas
primordialnya.Namun tidak lagi kuat, yang bertahan sekadar garis lingkar yang
samar sebagai batas psikologis.
Pernikahan lintas suku,bangsa, dan negara bermunculan
yang pada urutannya melahirkan generasi hibrida. Sebuah generasi yang juga disebut
sebagai finger generation ataupun gadget generation yang asyik sendiri
berjam-jam memainkan komputer dan mobile phone untuk menjelajahi dunia. Ketika
membayangkan itu semua,di mana dan bagaimana serta apa yang akan terjadi dengan
bangsa,budaya, dan masyarakat Indonesia? Sejauh ini saya mengamati ada beberapa
universitas yang mewakili budaya dan putra Indonesia serta potensial didorong
agar menjadi world class university.
Namun sebagian besar masih bersifat lokal provinsial.
Sejak dari dosen,karyawan,dan mahasiswa mayoritasnya putra daerah, berbicara
dengan bahasa daerah, dan mimpi-mimpinya juga dibatasi oleh semangat
kedaerahan. Memang ada beberapa universitas yang berperan sebagai katalisator
dan fasilitator bagi lahirnya ”generasi Indonesia” yang pandangan dan komitmen
moralnya sudah ”mengindonesia” dan bahkan mendunia. Namun situasinya harus
didorong terus.
Sayang, energi para petinggi bangsa ini justru lebih
banyak tersedot untuk memenangi persaingan dan perebutan kekuasaan politik,
bukannya turut berperan aktif memikirkan masa depan penduduk bumi yang
dihadapkan krisis ekonomi dan lingkungan. Kadang terpikir, rasanya yang membuat
stabil dan mampu bertahan bangsa ini adalah rakyat menengah ke bawah. Sementara
yang ke atas malah membuat kacau dan bangkrut.
Dalam dunia politik, di mana para caleg begitu
bergairah memasang fotonya di berbagai sudut kota dan desa, benarkah mereka itu
didorong oleh komitmen dan visi membela bangsa dan memperbaiki nasib rakyat
ataukah itu bagian dari agenda mendapatkan lapangan kerja dengan bayangan gaji
tinggi? Mungkin saja ada yang didorong oleh idealisme cinta bangsa. Mereka
obral janji, ”Kalau nanti saya terpilih jadi presiden, gubernur, bupati atau
anggota DPR, saya akan ....”Artinya, kalau tidak terpilih, jangan-jangan mereka
itu tidak akan berbuat apaapa.
Sementara ketika terpilih dan jadi, betulkah mereka
akan memenuhi janjijanjinya? Kalau kita sendiri tidak mampu menjaga dan
membangun bangsa sendiri, tidak mampu menghasilkan generasi unggul yang cinta
bangsa, rumah Indonesia ini sangat terbuka bagi siapa pun yang hendak
masuk.Bahkan modal asing telah masuk ke bilikbilik rumah agama dan budaya kita.
Terima kasih kepada ulama yang selalu mengingatkan
agar keyakinan, paham, dan akidah umat dijaga. Namun pertanyaannya, seberapa
efektifkah menjaga komunitas umatnya ketika tembok-tembok rumah itu telah
tergantikan oleh sekadar garis dan bahkan mereka saling berkomunikasi melalui
internet yang tersedia kapan saja dan di mana saja? (*)
Tulisan ini
pernah dimuat di Seputar Indonesia, 20 Maret 2009
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar