SETIAP mendengar pejabat tinggi masuk tahanan karena
berurusan dengan polisi, kepala saya merunduk, hati bagai tersayat.Terbayang
wajah duka, kecewa, dan marah istri dan anak-anaknya.
Sebagai seorang ayah,saya sangat menyadari betapa
berat beban perasaan yang mesti dipikul ketika sosok ayah, yang menjadi
pengayom, pelindung, dan role model dalam keluarga, tiba-tiba menjadi
bulan-bulanan pemberitaan surat kabar maupun televisi.
Sekali seseorang diberitakan lewat media massa sebagai
penjahat atau koruptor dan kemudian dimasukkan ke ruang tahanan polisi, pasti
keluarga yang bersangkutan bagai terhantam tsunami yang mengobrak-abrik tatanan
dan kedamaian keluarga. Ritme hidupnya berubah.Suasana batinnya galau dan
bingung.
Semuanya berubah drastis, yang tadinya cerah ceria
berubah jadi mendung dan gelap. Bayangkan bagaimana seseorang jungkir balik
bertahuntahun merintis karier, terutama mereka yang datang dari keluarga
sederhana secara ekonomi.Ada di antara mereka yang kuliah di perguruan tinggi
sambil bekerja.Yang begini ini cerita populer.
Ada yang merangkap jadi sopir taksi, jualan di kaki
lima,dan sekian jenis pekerjaan serabutan lain, yang penting memperoleh uang
tambahan untuk ongkos hidup dan kuliah di kota besar. Mahasiswa yang sudah
terbiasa bekerja sambil kuliah biasanya cepat beradaptasi dengan lingkungan
baru dan cepat berprestasi ketika memasuki dunia kerja.
Mereka sudah memiliki bekal mental tahan banting dan
sikap mandiri sehingga lebih matang dan menonjol dibandingkan sarjana yang
hidupnya serbadimanjakan dengan uang dan fasilitas lain oleh orangtua mereka.
Secara pribadi saya banyak mengenal teman yang berhasil meraih gelar doktor di
dalam maupun di luar negeri, sebuah sukses dan loncatan hidup jika dilihat dari
latar belakang ekonomi keluarganya yang sangat sederhana dan berasal dari
kampung.
Biasanya cerita penderitaan hidup masa lalunya
ditutupi dan kalaupun diceritakan hanya kepada teman dekat saja. Di setiap
kampus ternama di Indonesia banyak ditemukan alumni yang sukses secara
akademis, materi dan jabatan politik, yang dulunya mesti bekerja banting tulang
cari uang ketika masih menjadi mahasiswa.
Setelah jadi sarjana dan kemudian berhasil meniti
karier di dunia kerja, tingkat ekonominya membaik, bahkan ada yang melonjak
secara spektakuler.Ada di antara mereka yang pandai bersyukur dengan tetap
menjalani hidup secara sederhana, tetapi ada pula yang seakan lupa diri, balas
dendam terhadap kepahitan masa lalunya.
Jebakan yang selalu mengintip adalah dorongan untuk
memanjakan anak. Alasannya, tidak ingin anakanaknya mengulangi cerita pahit
orangtuanya sewaktu remaja. Semakin tinggi tingkat keberhasilan pangkat,
ekonomi, dan popularitas seseorang, semakin tinggi pula tingkat jatuhnya kalau
seseorang tidak hati-hati.
Dalam bahasa pesantren, ketika seseorang naik menjadi
jenderal, setan yang menggoda juga berpangkat jenderal. Jadi, hidup ini tak
pernah sepi dari jebakan dan godaan hidup. Orang kaya dengan kekayaannya akan
lebih mudah untuk beramal saleh,tetapi lebih mudah juga berbuat maksiat.
Orang yang memiliki jabatan tinggi akan lebih mudah
membantu rakyat dengan jabatannya, tetapi lebih berpeluang juga untuk menipu
dan menindas rakyat. Mari kembali pada topik di atas.Ketika usia seseorang
sudah semakin lanjut, berperan sebagai kepala dan anutan keluarga, wilayah
kehidupan yang paling didambakannya adalah jika keluarganya hidup tenteram,
saling mencintai, menghargai, dan saling melindungi.
Unit kehidupan rumah tangga memiliki gravitasi lebih
kuat ketimbang kehidupan politik.Untuk apa orangtua berjerih payah mencari
nafkah kalau bukan untuk membahagiakan keluarga? Tiada kebahagiaan orangtua
kecuali melihat anak-anaknya dan anggota keluarga hidup rukun, berkembang, dan
terhormat di mata masyarakat. Nah,bukankah sebuah tsunami atau hantaman petir
ketika suatu hari sosok ayah yang menjadi anutan, penyangga istana keluarga
tibatiba diseret polisi lalu dipaksa mendekam di ruang tahanan yang sempit,
pengap,dan jadi sorotan publik dengan bahasa sinis dan geram?
Repotnya lagi, media massa dan masyarakat kita senang menjatuhkan hukuman mendahului proses pengadilan,di samping kepercayaan pada pengadilan memang sangat rendah. Na’udzubillahi mindzalik! Kita mohon perlindungan kepada Allah dari kejadian yang mengerikan itu. Ketika kepercayaan dan kebanggaan kepada figur ayah sebagai kepala keluarga mengalami defisit, langit istana keluarga runtuh.
Repotnya lagi, media massa dan masyarakat kita senang menjatuhkan hukuman mendahului proses pengadilan,di samping kepercayaan pada pengadilan memang sangat rendah. Na’udzubillahi mindzalik! Kita mohon perlindungan kepada Allah dari kejadian yang mengerikan itu. Ketika kepercayaan dan kebanggaan kepada figur ayah sebagai kepala keluarga mengalami defisit, langit istana keluarga runtuh.
Keluarga bukan lagi sebagai istana yang memberikan
kenyamanan dan kebanggaan bagi warganya. Mereka pasti kalut, bingung, marah,dan
kasihan campur aduk. Bagaimana rasanya seseorang yang bertahun-tahun sebelumnya
hidup dengan penuh fasilitas dan sanjungan ketika tiba-tiba menjadi pesakitan.
Ibarat kereta yang tadinya berjalan kencang, lalu
dipaksa berhenti mendadak, pasti penumpangnya berjumpalitan dan kesakitan,
sementara keretanya pasti mengalami kerusakan berat.Tak mudah,bahkan perlu
waktu sangat lama, untuk bisa pulih dan berjalan lagi seperti sediakala.
Bahkan pasti ada korban dan sparepart yang tidak bisa
dipakai lagi. Demikianlah, begitu banyak pelajaran hidup yang terbentang di
depan mata agar kita semua, khususnya para orangtua,bersikap hati-hati. Mungkin
saja kita merasa bangga dan sukses menjalani ujian sewaktu muda ketika dihimpit
problem ekonomi.
Kini ketika sukses secara materi, jabatan dan
popularitas telah di tangan, justru ujian yang lebih besar tengah menghadang.
Semakin tinggi posisi seseorang,kalau jatuh akan semakin tinggi dan semakin
menyakitkan dibandingkan sewaktu masih jadi orang biasa-biasa saja.
Kalau memang benar-benar mencintai keluarga dan
bekerja untuk keluarga, ada tahapan tertentu di mana yang paling diperlukan
keluarga bukan lagi limpahan materi, melainkan keakraban, kasih sayang, dan
kehangatan untuk bersama-sama membina rumah tangga demi membesarkan generasi
unggul penerus kehidupan berbangsa. (*)
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia,
5 Juni 2009
0 komentar:
Posting Komentar