Ada
dua pesan pokok agama. Pertama, memberikan pesan dan ajaran agar seseorang
memiliki visi dan makna hidup yang bersumber dari kesadaran iman. Kita semua
berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan sehingga apa pun yang kita
perbuat selama di dunia ini mesti dipertanggungjawabkan kelak.
Kedua,
agar dengan pemahaman dan penghayatan agama, seseorang tumbuh berkembang
menjadi pribadi yang baik, yang senantiasa menebarkan damai dan manfaat bagi
sesamanya. Rasulullah Muhammad SAW bersabda: Aku diutus Tuhan dengan misi untuk
mengajarkan akhlak yang mulia bagi manusia. Dalam sabdanya yang lain dikatakan:
Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya dan paling banyak memberi
manfaat bagi sesamanya.
Mengingat
semua Rasul Tuhan selalu membawa misi yang sama, yaitu keimanan dan budi mulia,
semua agama mesti sepakat dalam hal urgensi pendidikan karakter dan kesadaran
akan kehadiran Tuhan.
Hanya
saja, mesti diingat bahwa karena yang beragama adalah manusia yang juga makhluk
multidimensi dan multikapasitas dengan sekian banyak keinginan, pemahaman dan
penghayatan agama senantiasa terkait dengan kepribadian seseorang dan kelompok
sosialnya. Dengan demikian, meskipun bisa dibedakan antara norma agama dan
nonagama, keduanya bertemu dan menyatu dalam diri manusia.
Dari Norma ke Perilaku dan Pembiasaan
Ajaran
agama sebagai himpunan norma dan nilai sangat mudah didapatkan. Bertaburan
dalam Kitab Suci dan bukubuku teks khotbah keagamaan yang menyajikan sederet
dalil dan kalimat suci tentang nilainilai kebaikan.
Tetapi,
jika yang hendak diraih adalah pembentukan dan pembinaan karakter, yang lebih
fundamental adalah memindahkan dan menghidupkan teks normatif itu ke dalam
”teks” berupa perilaku, keteladanan, dan pembiasaan. Dari segi jumlah, berapa
banyak bangsa ini memiliki doktor dalam bidang hukum dan perwira polisi, tetapi
mengapa korupsi tetap tumbuh berkembang?
Berapa
ribu kita memiliki sarjana teknik sipil dan ahli tata kota, tetapi mengapa
jalanan semakin macet dan banjir setiap datang hujan? Jadi, persoalannya adalah
bagaimana memberdayakan informasi keilmuan itu menjadi kekuatan riil untuk
menggerakkan transformasi sehingga melahirkan sebuah karakter sosial.
Dan
ini harus dimulai dari unit-unit dan pribadi yang mampu menggerakkan
lingkungannya secara signifikan, berlangsung secara berbarengan sebagai
gerakan, dan kebangkitan nasional. Dalam pembentukan karakter bangsa ini, peran
pemerintah sangat penting.
Himpunan
norma dan khotbah keagamaan akan efektif memengaruhi perilaku individu dan
kelompok jika pemerintah dan masyarakat turut mengondisikan sesuai peran dan
tugasnya masing-masing. Contoh riil adalah tertib lalu lintas. Pemerintah
membuat infrastruktur yang cukup, lalu dibangun rambu-rambu lalu lintas, polisi
mengawasinya, kemudian masyarakat turut menegakkan aturan.
Jika
berbagai unsur ini dipenuhi dan dijaga sehingga menjadi kebiasaan, tertib lalu
lintas akan terbentuk sehingga melahirkan sebuah kultur antre, tertib, dan
aman. Bagaimana menjadikan agama sebagai sumber dan pilar pembentukan karakter?
Dalam sebuah institusi pendidikan, akan lebih efektif kalau nilai-nilai
keagamaan itu menjadi ”living values” yang menjadi roh dan norma dari kultur
sekolah (school culture).
Konsep
ini juga berlaku bagi institusi lain. Dalam program dimaksud, diperlukan
”task-force” yang bertindak sebagai ”coach” dalam jangka waktu tertentu
sehingga terjadi proses pembiasaan. Pada awalnya memang perlu kerja
keras,pantang menyerah. Namun, kalau sudah jadi sebuah kultur, siapa pun yang
bergabung ke komunitas itu dipaksa untuk berubah, menyesuaikan diri,sehingga
pada urutannya diharapkan menjadi karakter yang built-in dalam dirinya.
Pengalaman
seperti itu bisa diamati dalam boarding-school atau pesantren yang
mapan. Di sana terdapat kultur yang dijaga bersama-sama, dan ada figur panutan
yang wibawa. Hal serupa juga ditemukan dalam lingkungan keluarga. Bagaimana
kultur keluarga akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak-anak yang
tumbuh di dalamnya.
Bagi
keluarga yang terpelajar (learned and educated family) bahkan bisa
mendesain bersama-sama dengan melibatkan semua anggotanya, kultur seperti
apakah yang hendak dibangun di rumah tersebut? Bagaimanakah sebaiknya etika dan
cara bertegur sapa serta melakukan kritik di antara mereka? Ini bisa dibangun
bersama.
Yang
diperlukan adalah sebuah konsep, tekad, dan konsistensi untuk melakukan
perubahan dan ada proses evaluasi. Dengan demikian, nilainilai agama bukan
suatu himpunan norma yang hanya disampaikan dalam bentuk ceramah, melainkan
menjadi living values yang dijaga bersama dan akan dirasakan keuntungannya jika
dilaksanakan. Proses ini yang sudah berlangsung adalah pendidikan bahasa dalam
rumah tangga.
Ada
anak yang tutur bahasanya bagus dan sopan karena keluarganya membiasakan dengan
tutur bahasa yang bagus dan sopan. Agama dan karakter pun berlangsung seperti
itu.
0 komentar:
Posting Komentar