Bagaikan Batu Kerikil Ditelan Lautan



Suatu hari saya berdiri menghadap ke laut lepas. Lalu saya melemparkan sebuah batu kerikil ke tengah lautan. Dari jauh saya amati apa yang terjadi dengan lemparan tadi.
Pertama, terlihat cipratan air dan riak kecil yang berlangsung kurang dari satu menit, kemudian menghilang. Saya tidak tahu lagi kemana batu kerikil tadi. Orang pun tidak peduli bagaimana nasib batu kerikil yang saya lempar itu. Peristiwa kecil di atas membuat saya tercenung. Bukankah diriku yang terlempar ke dunia ini tak ubahnya seperti batu kerikil tadi?
Saya terlempar ke ruang semesta yang luasnya tak terjangkau nalar. Diperkirakan tidak kurang dari 250 miliar gugusan Bimasakti ada di semesta ini. Bahkan bisa jadi lebih dari itu, nalar manusia tidak sanggup mengukur bentangan ruang dan waktu tempat kita semua terlahir, tumbuh dan kemudian menghilang ditelan kematian. Jangankan diri kita, sedangkan Planet Bumi saja bagaikan sebuah kerikil di tengah taburan planet yang tak terhitung jumlahnya.
Kita terlahir, lalu menciptakan riak riak kecil yang akhirnya lenyap ditelan bumi. Kita tidak sanggup menghitung berapa sudah manusia terlahir, kemudian menghilang. Berapa banyak lagi di masa depan manusia akan singgah sebentar di planet ini, yang kemudian menghilang entah ke mana atau mau jadi apa setelahnya.
Kalau saja hidup hanya diukur dengan sukses materi, atau dengan penampilan fisik yang sehat dan menarik, dengan banyaknya uang dan kekayaan duniawi lain, maka kita perlu merenung, untuk apa semua itu? Untuk apa sesungguhnya manusia sibuk mengumpulkan harta jauh melebihi kebutuhan jika pada akhirnya malah membuat repot dan jadi beban hidup?
Kalaupun suatu saat bebatuan dan gunung berubah menjadi emas, benarkah pemiliknya menjadi lebih bangga dan bermakna untuk hidupnya? Kita tentunya ingat kisah Raja Midas dalam legenda Yunani Kuno yang hidupnya berakhir dengan tragis. Dia ingin sekali menjadi raja yang terkaya di dunia, sehingga tak seorang pun boleh menandingi kekayaannya.
Maka dia bertapa, minta pada sang Dewa agar dianugerahi tangan sakti. Dengan tangan saktinya itu dia membayangkan agar apa pun yang disentuhnya berubah menjadi emas. Pendek cerita, sang Dewa akhirnya mengabulkan permintaannya. Maka Raja Midas kembali ke istananya untuk mewujudkan impiannya memiliki istana emas dan menjadi raja terkaya di muka bumi.
Demikianlah, begitu menginjak halaman istana, pagar istana di sentuhnya sehingga seketika telah berubah menjadi emas. Dia tertawa kegirangan, lalu melangkah masuk, tiang tiang istana pun disentuhnya dan seketika itu juga berubah menjadi emas. Saking gembiranya dan untuk melampiaskan nafsunya, maka diam diam meja kursi juga disentuh sehingga semuanya berubah menjadi istana emas.
Dia ingin membuat kejutan dan hadiah termahal pada istri tercinta yang juga sangat cinta pada kekuasaan dan kekayaan. Aku adalah raja terkaya di muka bumi, pikirnya dengan bangga. Tak ada seorang pun yang mampu menyaingi kekayaan saya dan istri secantik istri saya. Tak seorang pun yang memiliki tangan sakti seperti saya.
Setelah merasa puas berhasil menyulap istana dan seisinya menjadi emas, Raja Midas memanggil istrinya untuk diperlihatkan keajaiban yang telah diciptakannya. Saking gembira serta kangennya karena sudah lama tidak bertemu dengan istrinya, maka berpelukanlah mereka. Namun apa yang terjadi? Berubahlah istrinya menjadi patung emas. Raja Midas kemudian menangis meraung- raung bagaikan orang gila.
Apa pun yang disentuh berubah menjadi emas, sejak dari makanan, minuman semuanya berubah menjadi emas. Dia kesepian, bingung, sedih merana dan penuh penyesalan. Dia lupa bahwa sumber kehidupan adalah roh dan jiwa yang sehat, yang selalu memancarkan kasih Tuhan untuk sesamanya dan suatu saat kelak ruh itu akan kembali ke haribaan Tuhan.
Andaikan hidup hanya membanggakan kehebatan duniawi dan kekayaan materi, maka manusia bagaikan kelelawar yang terbang siang, dia buta karena tak sanggup menatap cahaya matahari yang begitu menyilaukan mata.Tetapi dengan matahari,seorang yang beriman akan mampu menatap siapa pencipta matahari dan semesta alam ini. Maka dia bertapa, minta pada sang Dewa agar dianugerahi tangan sakti.
Dengan tangan saktinya itu dia membayangkan agar apa pun yang disentuhnya berubah menjadi emas. Pendek cerita, sang Dewa akhirnya mengabulkan permintaannya. Maka Raja Midas kembali ke istananya untuk mewujudkan impiannya memiliki istana emas dan menjadi raja terkaya di muka bumi.
Demikianlah, begitu menginjak halaman istana, pagar istana di sentuhnya sehingga seketika telah berubah menjadi emas. Dia tertawa kegirangan, lalu melangkah masuk, tiangtiang istana pun disentuhnya dan seketika itu juga berubah menjadi emas. Saking gembiranya dan untuk melampiaskan nafsunya, maka diamdiam meja kursi juga disentuh sehingga semuanya berubah menjadi istana emas.
Dia ingin membuat kejutan dan hadiah termahal pada istri tercinta yang juga sangat cinta pada kekuasaan dan kekayaan.Aku adalah raja terkaya di muka bumi,pikirnya dengan bangga. Tak ada seorang pun yang mampu menyaingi kekayaan saya dan istri secantik istri saya. Tak seorang pun yang memiliki tangan sakti seperti saya.
Setelah merasa puas berhasil menyulap istana dan seisinya menjadi emas, Raja Midas memanggil istrinya untuk diperlihatkan keajaiban yang telah diciptakannya.Saking gembira serta kangennya karena sudah lama tidak bertemu dengan istrinya, maka berpelukanlah mereka. Namun apa yang terjadi? Berubahlah istrinya menjadi patung emas.Raja Midas kemudian menangis meraung- raung bagaikan orang gila.
Apa pun yang disentuh berubah menjadi emas, sejak dari makanan,minuman semuanya berubah menjadi emas. Dia kesepian, bingung, sedih merana dan penuh penyesalan.Dia lupa bahwa sumber kehidupan adalah roh dan jiwa yang sehat,yang selalu memancarkan kasih Tuhan untuk sesamanya dan suatu saat kelak ruh itu akan kembali ke haribaan Tuhan.
Andaikan hidup hanya membanggakan kehebatan duniawi dan kekayaan materi, maka manusia bagaikan kelelawar yang terbang siang, dia buta karena tak sanggup menatap cahaya matahari yang begitu menyilaukan mata. Tetapi dengan matahari, seorang yang beriman akan mampu menatap siapa pencipta matahari dan semesta alam ini

Komaruddin Hidayat

0 komentar:

Posting Komentar