Mari
sejenak kita perhatikan bayi yang belum bisa berbicara. Jika merasa
sakit,bahasa yang digunakan adalah menangis dan gerak tubuhnya. Kalau senang,
dia tidur pulas, diam atau tersenyum.
Dia belum bisa berkomunikasi dengan
menggunakan ungkapan verbal.Yang primer dan penuh makna adalah bahasa tubuh
untuk mengungkapkan perasaan yang disampaikan dengan jujur, lugas, apa adanya.
Dalam masyarakat primitif yang kosa katanya terbatas–– mirip pertumbuhan anak
kecil––, mereka berkomunikasi tidak menggunakan kosa kata sebanyak masyarakat
modern. Atau perhatikan komunikasi dalam rumah tangga. Ada kalanya bahasa tubuh
lebih menonjol dan efektif ketimbang ungkapan verbal.
Misalnya pelukan, senyuman,
anggukan kepala, tatapan mata, semuanya itu lebih sampai pesannya dan langsung
mengena dibandingkan bahasa pidato para politisi atau pejabat negara. Dengan
perkembangan teknologi komunikasi yang lazim digunakan sebagai media sosial,
baik media cetak maupun elektronik, berbagai statemen verbal dan tertulis
berhamburan memenuhi ruang angkasa dan membanjiri serta menyerbu ruang batin
kita melalui pintumatadantelinga.
Dimanapun berada, kita dihadapkan
dengan kata-kata. Begitu bangun tidur, pesawat televisi sudah siap menemani dan
menyajikan sarapan kata-kata.Tinggal pilih saluran televisi yang mana dan menu
apa yang diminati. Di mobil pun siaran radio selalu setia bersama Anda.
Demikian seterusnya dari bangun tidur sampai hendak tidur lagi, kata-kata
bagaikan lalat atau tawon yang mengejar Anda. Mengapa lalat atau tawon? Karena kata-kata
kadang menimbulkan rasa risih dan bising.
Sulit menemukan ruang yang hening
untuk mendengarkan suara hati.Tentu saja tidak mungkin kita membalikkan jarum
sejarah. Perkembangan jumlah kata dan mesin cetak telah membuat loncatan
peradaban manusia. Penyebaran ilmu pengetahuan berkembang pesat. Coba saja
ambil dan kumpulkan kamus-kamus bahasa di dunia. Sungguh fantastik jumlah
perbendaharaan kata-kata yang digunakan oleh manusia. Hal ini menunjukkan bahwa
dunia manusia itu memang beragam.
Di dalam kata dan bahasa terkandung
nila-inilai dan adat-istiadat. Kedua, prestasi manusia sangat mengagumkan dalam
membangun dunia simbol berupa kata-kata. Melalui kata-kata yang dirangkai
menjadi kalimat, paragraf, dan buku, sebuah bangsa menyimpan dan meneruskan informasi
prestasi peradabannya kepada generasi berikutnya ataupun disampaikan kepada
bangsa lain melalui terjemahan.
Tapi yang menjadi catatan dan
keprihatinan kita saat ini adalah ketika kata-kata telah kehilangan makna dan
wibawa. Langit wacana politik Indonesia bagaikan mendung dengan wajah muram.
Wacana dan perdebatan politik serta hukum berlangsung tanpa nurani dan
kejujuran. Saya sendiri sering ragu ketika mendengar statemen politik dan
perdebatan hukum seputar pemberantasan korupsi.
Saya mulai hafal wajah-wajah aktor
yang produktif mengeluarkan statemen politik dan perdebatan pasal KUHP.
Ungkapan-ungkapannya pun mulai terasa klise. Apakah mereka berbicara tulus dan
lugas seperti anak kecil mengekpsresikan perasaannya ataukah sebuah akrobat
logika dan kata-kata semata mengabdi pada keuntungan uang dan permainan
panggung? Kita sadar betul, dalam kehidupan demokrasi politik dan hukum sangat
vital perannya. Tidak mungkin berdemokrasi tanpa aktor politik dan ahli hukum.
Tapi politik dan hukum tanpa
integritas justru akan menambah subur korupsi karena telah terjadi manipulasi
dan penipuan terhadap kebenaran untuk mengelabui rakyat dan negara.Jadi, ketika
terjadi korupsi lalu proses penyelesaiannya melibatkan pejabat negara dan ahli
hukum yang juga korup, yang terjadi adalah pelembagaan dan perlindungan
korupsi. Dalam kehidupan sosial sehari- hari,jika kata tak lagi bisa dipercaya,
ambruklah bangunan peradaban. Seseorang pun akan kehilangan teman.
Pintu rezeki akan tertutup. Dan
sungguh ironis ketika kebohongan itu dilakukan justru dalam ranah negara yang
tugas utamanya adalah mendidik dan melindungi warganya. Kebohongan itu
berlindung di balik institusi dan sistem sehingga rakyat sulit untuk menunjuk
langsung pelakunya. Hanya saja, akibatnya sangat terasa, kata-kata lalu
kehilangan makna dan wibawa.
Jika dalam komunitas kecil, komunikasi warga bisa langsung dan personal layaknya dalam sebuah keluarga.Tetapi dalam kehidupan bernegara dan masyarakat modern, komunikasi sosial berlangsung dalam panggung virtual lewat media massa. Realitas sosial yang dipoles dan ditampilkan dalam media massa melalui gambar dan kata-kata sudah melalui proses seleksi dan seleksi bisa juga terjadi manipulasi.
Jika dalam komunitas kecil, komunikasi warga bisa langsung dan personal layaknya dalam sebuah keluarga.Tetapi dalam kehidupan bernegara dan masyarakat modern, komunikasi sosial berlangsung dalam panggung virtual lewat media massa. Realitas sosial yang dipoles dan ditampilkan dalam media massa melalui gambar dan kata-kata sudah melalui proses seleksi dan seleksi bisa juga terjadi manipulasi.
Di situlah terletak kelebihan dan
kelemahan dunia virtual. Dalam tayangan visual apa yang buruk bisa dipoles dan
disulap jadi indah. Atau sebaliknya. Makanya tidak mengherankan kalau sebagian
masyarakat sudah tak lagi percaya pada kata-kata dan otentisitas gambar yang
disajikan dalam media massa. Dan sungguh merupakan malapetaka sebuah bangsa
ketika kata-kata dan sabda para pemimpin, pejabat, politisi, dan penegak hukum
telah kehilangan wibawa dan dianggap kurang bermakna di mata masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar